Dari terminal Ulak Karang , rombongan kecil itu naik bus yang menuju Bukit Tinggi. Rian mengenakan kaos katun putih bergambar, di balut kemeja flannel kotak-kotak kombinasi putih biru muda-biru tua, celana gunung warna beige dan bandana burgundy bermotif print geometris.
Lian yang memiliki rambut cepak. Mengenakan pakaian serba hijau bermotif loreng keabu-abuan, mirip tentara NATO dengan sandi operasi badai gurun yang berkulit hitam legam. Sebenarnya dia ingin memakai sepatu bot model tentara, tapi apa mau di kata, demi kenyamanan mendaki, tak ada kompromi selain mengenakan sepatu gunung.
Ezhar..? jangan di tanya gayanya tidak berbeda jauh dari Rian. Meseka seperti anak kembar siam. Dan Ara masih jengkel padanya.
Ara mengenakkan kaos warna krem, celana gunung warna khaki, topi merah maroon, sepatu gunung merah dan ransel bertengger di punggungnya. Mirip anak mami yang kabur dari rumah. Dia menutup sebagian wajahnya menggunakan masker. Entah apa tujuannya.
Aisyah juga mengenakan kaos warna hitam, celana gunung warna army, topi hitam, sepatu gunung warna army.gayanya lebih lumayan dari pada Ara yang terlihat imut dan kecil.
Ditto tetap setia dengan gaya uniknya. Sepatu kulit pantofel, kemeja ungu dangdut, celana jins ketat lengkap dengan ikat pinggang kulit. Ini juga pendakian pertamanya. Jadi harap maklum kalau dia belum fasih-fasih amat, entah dalam kostum atau hal lainnya. Sebenarnya Rian sudah pernah memberi saran padanya, toh Ditto tidak ngerti-ngerti juga. Rian juga tidak tahu apa motifasinya untuk mendaki gunung dengan gaya seperti itu.
"Hei, cewekmu mana? Katanya mau ikutan naik?" Tanya Lian pada Ditto saraya duduk di kursi bus. Di liriknya tas ransel ransel Ditto yang terlihat sangat berat.
Ditto ngos-ngosan meletakkan ranselnya di lantai bus, menusap peluh di dahi dan duduk di sebelah Lian. Rian duduk bersama Ara. Ezhar duduk bersama Aisyah.
"Sesungguhnya diriku dan dirinya janjian ketemu di pos pendakian," sahutnya setelah menarik napas panjang berkali-kali.
"Kok gitu? Emangnya cewekmu tinggal di mana?"
"Sesungguhnya dirinya tinggal di Padang, tapi untuk liburan ini dirinya tinggal di rumah neneknya di Bukit Tinggi. Demikianlah."
"Oooh…" Lian mengangguk-angguk. "Eh, kayaknya kepayahan bawa ranselnya? Berat ya?"
"Berat? Eh, iya, eh, enggak… eh, sebenarnya… sesungguhnya iya…"
"Sabar saja semua ransel pendaki gunung memang berat gitu, kalau nggak berat, ya bukan pendaki gunung namanya, tapi anak TK."
"Begitu ya sesungguhnya?"
"Kalau nggak percaya lihat tuh ranselnya Rian sama Ezhar. Bukan berat lagi seperti yang kau bawa, tapi berat asli nggak pake nawar, hehehe…" Lian nyengir lebar, di ikuti anggukan Ditto yang tetap percaya seratus persen.
***
Mereka tiba di Pasar Koto Baru, menjelang tengah hari. Mereka bisa saja naik angkot desa tapi angkot itu terisi penuh semua. Akhirnya sebuah mobil Pick Up melewati mereka Rian meminta tolong untuk menumpang sampai di depan Rumah Tenun Pusako Pandai Sikek. Sepanjang jalan mereka juga melihat teman-teman lain yang akan mendaki, ada yang naik ojek ada juga yang berjalan kaki sambil menikmati pemandangan perkebunan jagung yang membentang luas. Mereka turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih, pada supir.
Dari sana mereka harus berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju posko pendakian. Menulis nama serta nomor yang bisa di hubungi ke dalam buku registrasi. Setelah itu membayar retribusi.
"Lukisan alam itu akan kita masuki sebentar lagi. Anggap saja kayak berpetualang ke negeri dongeng yang belum pernah kau bayangin," Ujar Rian.
Ara menatap Rian takjub. Inikah Rian yang dulu dia kenal kenapa perbedaan nya sangat jauh. Perhatian Ara beralih pada gunung yang tertutup asap putih, udaranya juga sejuk "Bagus banget…" desis Ara takjub, menahan napas. Mengagumi keindahan yang baru kali ini diamatinya sungguh-sungguh walaupun dia sering ke puncak dan acara fakultas saat dia masih kuliah di jawa.
Sebelum lapor ke posko pendakian, mereka makan siang di warung penduduk sekitar sembari istirahat. Setelah itu Rian akan melapor ke pos pendakian, sementara Ara, Aisyah, Ezhar, Lian dan Ditto membawa seluruh ransel untuk di periksa oleh petugas dan volunteer di pintu masuk. Ditto ketemu sama pacarnya yang langsung di kenalkan ke teman-temannya. Namanya Disa.
Pos pendakian tidak terlalu besar. Berupa bangunan sederhana, dengan beberapa meja dan kursi untuk tempat pendaftaran dan pemeriksaan. Sembari melapor, Rian, mengobrol akrab dengan beberapa orang yang berjaga di situ. Waktu kuliah tingkat satu, dia pernah menjadi volunteer sebelum memutuskan mengundurkan diri.
"Hei, kau apa kabar? Mau jadi volunteer lagi?" sapa seseorang berbadan kurus berambut jabrik yang selalu ramah melayani para pendaki.
"Aku cuma mau nemenin temen naik," jawabnya seraya menyerahkan fotocopy KTP dan sejumlah uang untuk membeli tiket.
"Nggak mau nongkrong di sini lagi? Hampir tiga tahun aku tidak melihatmu kau semakin gagah saja!" Goda si jabrik.
"Rian terkekeh "Pengen, sih… sayangnya waktu ku sekarang tersita oleh seseorang. Mungkin nanti saja kalau semua sudah berjalan lancar."
"Oooh… seseorang? Siapa itu? Apakah cinta pertama mu? Apakah kau sudah menemukannya?"
Rian menatap Ara yang sedang ngobrol riang bersama teman-temannya. Sedangkan Ezhar berdiri di belakang Ara seperti menjaga gadis itu sebaik mungkin. Kadang dia sendiri merasa cemburu karena perlakuan Ezhar pada Ara.
"Ya, aku menemukannya…tapi aku masih harus berjuang untuk mendapatkannya?" Ujar Rian pelan.
"Loh, kenapa begitu?" tanya si jabrik lagi, sembari memeriksa kembali semua berkas pendaftaran dengan cermat, lalu mengamati dengan seksama profil Ditto yang sedari tadi menarik perhatiannya. Tentu bukan karena kegagahan atau kegarangan Ditto.
"Rian, makhluk itu…, temen mu?" mata si jabrik tertawa.
"Yup. Kenapa?" Rian menoleh mengikuti arah pandangan si jabrik.
"Lalu yang seperti anak mami kabur dari rumah itu siapa?"
"Itu dia.. orang yang selama ini aku cari.." jawab Rian lembut.
Mata si jabrik melebar kaget, mulutnya melongo, pandangan tidak percaya ketika menatap Rian "Kau yakin tidak mengguna-gunai dia?" Alis Rian berkerut. Bingung. "Seingat ku…, kau itu sangat playboy dan berpenapilan kacau. Kenapa gadis imut dan manis sepertinya mau dengan mu!"
Rian melotot "Kau salah. Aku sangat tampan. Dan tidak playboy…. Lagi…"
Si jabrik mengangguk-angguk saja "Terus terang, aku tuh iri banget sama kalian-kalian ini."
Rian mengerutkan kening, menatap si jabrik. Agak bingung.
"Kayaknya fakultas kalian tuh asik banget. Berani tampil beda plus berani malu," kata si jabrik lai. "Kau pernah lihat, sendiri kan, klub pecinta alam kampus ku seperti apa? Wuiih, serius semua orangnya! Bosenin, seperti mau bertempur di medan perang saja. Kalau sekedar serius dalam artian melakukan cara mendaki yang benar aku tidak masalah, masih bisa di terima. Eh, masak dandanan dan sikap juga sama seriusnya? Padahal bagiku, mendaki gunung harus ada unsur kesenangannya juga."
Rian tersenyum lebar, kembali memandangi sosok Ditto.
"Nah, temanmu yang seperti itu kan, pasti enak banget buat ngilangin stress," si jabrik terkekeh. "Baru lihat bentuknya saja udah buat kita ketawa. Masak naik gunung seperti mau pergi kondangan? Pakai sepatu pantofel gitu? Terus temanmu Lian kayak Buto Ijo. hanya cowok yang berdiri itu dan kau yang terlihat sedikit normal. Ganteng tapi nyentrik. Di bilang anak band, bukan. Anak jalanan, bukan. Anak gunung sepertinya tidak cocok juga. Anak setan, ah…kalau dulu mungkin tapi sekarang kau terlihat jauh lebih baik. Apakah karena dia?"
Rian tertawa lepas namun sekonyong-konyong tawanya terhenti dan mengangguk "Mmm…" tatapannya beradu dengan seorang cewek berbadan ramping yang tersenyum padanya, berdiri tidak jauh dari pintu masuk lengkap dengan ransel dan topi yang menutupi rambutnya yang panjang sebahu.
"Hai, Rian, apa kabar?" sapa si cewek ramah.
Masih terkejut, Rian hanya mengangguk tanpa melepaskan tatapan. Si cewek berjalan menghampiri, lalu menepuk pelan bahunya.
"Kau, tambah keren saja," pujinya seraya melepas topi, memperlihatkan dengan jelas wajah manisnya yang kemerahan terkena sinar matahari "Pantesan, Kak Rena tergila-gila pada mu!"
"Hehehe,, Ketemu ex-adik ipar, ceritanya.?" Ledek si jabrik, cengar-cengir jahil. "Reuni keluarga bakalan terjadi lagi, sepertinya."
"Lagi liburan?" tanya Rian datar, mengabaikan ledekan si jabrik, matanya sesekali melirik pada Ara yang juga menatapnya. Hati Rian gamang takut gadis kecil itu kembali menghindarinya.
"Yep…. Kak Rena juga memberitahu ku kalau kau naik hari ini,"
Rian tersenyum singkat, meraih ranselnya sambil berkata, "Selamat bersenang-senang."
"Rian, tunggu!" cegah si cewek sambil menyusul Rian "Kapan-kapan naik gunung bareng yuk! Ajak Kak Rena juga, aku bisa mengajak Arka.."
Air muka Rian berubah "Sorry, jadwalku padat."
Si cewek menghela napas kecewa. "Please, kita hampir tidak pernah ngumpul bareng lagi.."
Rian menggeleng sambil meninggalkan cewek itu tanpa menoleh lagi, langsung menyapa seorang volunteer yang berdiri dekat pintu masuk pendakian dan terlibat percakapan serius. Sementara itu Ara yang sempat mengamati perubahan sikap Rian, berbisik-bisik ke Ezhar.
"Ezhar, tuh cewek sama Rian terlihat akrab? Tapi, Rian sepertinya bête gitu?"
"Tentu saja! Itu masalah lama sebenarnya. Itu Amel satu kampus juga sama kalian, hanya dia sudah alumninya." Ezhar tersenyum tipis.
"Tapi kenapa waktu itu kau seperti tidak mengenalnya?" tanya Ara penasaran.
Ezhar menatap Ara "Kapan itu? Apakah waktu kita liburan di Pare?" Ara mengangguk-angguk kepala "Oooh… itu, aku mengenalnya tapi dia tidak mengenalku!"
Ara memicingkan matanya pada Ezhar meminta penjelasan lebih "Yaaah… intinya Rian dan Amel pernah menjadi teman waktu kecil, tapi Rian lebih akrab dengan kakaknya. Banyak yang berharap saat dewasa mereka menikah. Tapi Rian menolak karena dia mencintai adiknya Rena."
"Amel,"
"Bukan." Ezhar menggeleng "Adik satunya lagi.." ucapnya sembari menatap Ara penuh arti.
"Kenapa ceritamu sama persis dengan Rian? Kalian janjian ya untuk menceritakan hal serupa saat aku bertanya." Ara marah.
"Terserah.."
"Hoooiii… apa kabar, Mel?" Lian menyapa riang sambil menghampiri cewek itu. "Tumben di sini, liburan juga ya? Bareng siapa?"
Si cewek melirik sebentar pada Rian. Matanya berbinar-binar bahagia "Yup. Itu sama mereka.." tunjuk Amel pada rombongan kecil yang tidak terlalu jauh dari mereka.
Ara juga melihatnya. Seketika matanya melebar kaget di antara rombongan itu juga Ada Arka. Cowok itu terlihat berbeda, Ara merasa asing. Ezhar mendekati Ara dan berbisik.
"Sepertinya cowok itu akhirnya menyerah. Jika tidak kenapa sikapnya berubah begitu cepat?"
"Bukan urusanku!" ketusnya.
"Masih cinta?" Ezhar masih tidak berhenti, hingga sebuah pukulan mendarat di kepalanya. Membuat cowok itu meringis kesakitan.
"Berhenti meracuni pikirannya! Keberadaanku sudah cukup! Dia tidak butuh yang lain!" ujar Rian serius dan merangkul bahu kecil Ara.
Amel yang melihat Rian bersikap mesra dengan gadis lain di depannya merasa marah. Dia melotot pada Ara, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia merasa akrab dengan Ara tapi tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup masker.
"Siapa dia?"