Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar dan mudah bagi Ara. Selama satu tahun itu pula dia berlatih taekwondo lagi di tambah karate, menari dan belajar pun tetap harus yang utama dengan begitu dia akan mendapatkan apa yang ingin di capainya. Dan hasilnya memang tidak pernah mengecewakannya.
Dua bulan lalu dia kembali dengan penampilan baru tanpa seorangpun yang tahu. Setiap pergi kuliah dia harus berdandan lebih dari satu jam untuk membuat penampilan yang memuaskan dan hasilnya memang luar biasa. Rambut hitam panjangnya di kepang dua, kaca mata besar bulat yang hampir menutupi saparuh wajahnya dan tompel sebesar biji kacang hijau tertempel di pipinya.
Selama dua bulan itu pula dia masih sendirian tidak memiliki teman karena tidak ada yang mau mendekatinya mungkin karena penampilannya yang jelek. Cara berpakaiannya pun jauh dari kata modis itu sangat sederhana dan culun. Ara tidak peduli dengan pandangan orang lain karena tujuannya kembali ke kota itu adalah untuk menyelidiki tentang kecelakaan yang menimpa keluarganya hingga membuatnya terpisah dari orang tuanya bertahun-tahun.
"Hei.. boleh aku duduk di sini?"
Ara yang sedang membaca novel menengadah melihat ke asal suara yang tidak asing di telinganya. Ya, itu sahabatnya Hana. Tapi saat ini dia sedang dandan jelek tentu saja Hana tidak akan mengenalnya lagi pula Hana hanya tahu jika Ana sudah meninggal, jika dia melihat wajah yang sama di depannya seperti ini kemungkinan sahabatnya itu akan mengutuknya lalu pingsan karena terkejut.
"Ya, tentu saja!"
Ara menatap Hana dari ujung kepala sampai ujung kaki, senyum tipis terukir di bibirnya. Sahabatnya masih cantik seperti sebelumnya.
"Aku baru melihatmu.."
Pertanyaan Hana menyadarkan Ara "Hm, aku baru pindah dua bulan lalu!"
Hana mengangguk "Aku Hana.. kau?"
Tanpa sadar Ara terkekeh, Hana mengerut kening bingung "Ah! Maaf.. Aku Ara." Hana tidak tahu jika yang membuat Ara terkekeh adalah pertemuannya sekarang tidak jauh berbeda dengan pertemuan pertama mereka saat ospek. Waktu itu Hana juga datang menghampirinya dan memperkenalkan dirinya, dan sekarang dia merasa Dejavu.
"Aku perhatikan kau sering duduk di sini sendirian? Kau tidak pergi ke kantin? Di sana ada makanan yang sangat enak, kau-.."
Sekali lagi Ara terkekeh membuat Hana menghentikan ucapannya gadis bermata sipit itu menatap Ara bingung "Maaf! Aku hanya sangat senang kau mau bicara denganku di saat semua orang menghindariku!"
Sebenarnya bukan itu yang membuat Ara tertawa tapi karena perkataan Hana juga masih tidak jauh berbeda dengan kata saat pertama mereka kenal.
"Kau sendiri kenapa tidak pergi ke kantin!"
Hana menggeleng "Sekarang bukan senin, aku tidak bisa pergi ke sana!"
"Kenapa dengan hari senin!"
Hana terdiam, tatapannya berubah sendu ia menghela nafas berulang kali "Tidak ada yang istimewa!"
Ara menutup novel bacaannya, dia beralih menatap Hana serius dia masih berpikir haruskah memberitahu kebenaran tentangnya kalau Ana masih hidup? Tapi melihat ekpresi kesedihan di wajah Hana membuat hati Ara bimbang antara memberitahu atau menyembunyikannya.
"Kau… merindukannya,bukan?"
Tanpa sadar Hana mengangguk "Sangat rindu! Sampai aku tidak sanggup untuk-.." Hana terkejut kepalanya tegak matanya melebar "Kau.. bagaimana kau bisa tahu? Siapa kau?"
Ara tersenyum hangat dia menguatkan hatinya untuk memberitahu Hana meskipun itu sangat berisiko untuk rencana selanjutnya "Lama tidak bertemu…Hana.."
Hana hampir terjungkal dari tempatnya duduk, tangannya gemetar menunjuk pada Ara ,bibirnya pucat "K-ka-kau.."
Ara mengangguk "Sahabatmu! Qiana Nafeeza dan sekarang berganti nama menjadi Fata Arabella!"
Mata Hana masih menunjukkan keterkejutannya namun jauh dari dalam hatinya dia benar-benar berharap sahabatnya hidup. Sejak awal sudah merasa kematian sahabatnya memang janggal, pemakaman yang terkesan terburu-buru, bahkan jasadnya juga telah di masukkan ke dalam peti mati tanpa bisa melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.
Mata Hana mengembun, perlahan-lahan air mata mengalir di pipinya, kedua tangannya menutup bibirnya menahan teriakan yang siap lepas kapan saja jika dia tidak menahannya.
"Kau… sungguh.." Hana merasa lidahnya keluh dia benar-benar tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dadanya sesak oleh perasaan terkejut, haru, dan bahagia. Semuanya menyatu menjadi satu.
Ara mengangguk "Ya ini aku!"
Akhirnya tangisan yang Hana tahan tumpah seketika dia menangis seperti bayi, tersedu-sedu sesekali menghembuskan ingusnya pada tisu yang di berikan Ara padanya. Beberapa mahasiswa yang melewati mereka berhenti lalu bertanya pada Hana dan menatap Ara tajam seakan-akan ia telah menindasnya.
Tentu saja mereka akan memihak Hana karena di lihat dari segi apapun sahabatnya itu sangat sempurna, sedangkan dirinya sendiri… sangat mengganggu mata.. sangat jelek.
Setelah membiarkan Hana menangis dan menenangkan diri sepuasnya, mereka mencari tempat yang sedikit sunyi karena tidak ada yang boleh tahu keberadaannya.
Hana masih tersedu-sedu meskipun air mata tidak mengalir lagi, tangannya meraba kepala, wajah, tangan dan badan Ara. Seakan ingin memastikan kalau sahabatnya yang selama ini di kabarkan meninggal benar-benar ada di hadapannya, duduk dan tersenyum padanya.
"Ini.. benar-benar kau?" Hana memperhatikan dandan Ara yang menurutnya sangat berlebihan tanpa bisa di tahan dia tertawa.
"Akhirnya kau tertawa juga! Kenapa, apa wajahku sangat cantik?"
Hanan mengangguk penuh semangat matanya kembali memerah air mata siap tumpah lagi tapi di tahan sekuat mungkin "Aku masih tidak percaya!" lirih Hana.
Ara tersenyum pasrah dan akhirnya memang harus menceritakan semuanya pada Hana apa yang telah terjadi padanya. Hana yang mendengarkan semua cerita tidak bisa menahan sumpah serapahnya tapi sesaat kemudian tersenyum lebar seperti psikopat.
Ara beringsut sedikit menjauh dari Hana saat melihat senyum jahat di bibir sahabatnya "Kau kenapa"
"Aku tidak bisa menahan rasa bahagiaku! Kau jangan khawatir soal playboy itu! Kau tidak akan bisa melihatnya lagi setelah wisuda kelulusan dia tidak pernah nampak lagi! Hanya sesekali update status…" Mata Hana bergerak gelisah tidak ingin melihat Ara.
"Kenapa kau berhenti? Ada apa dengan status?"
Hana menggigit bibirnya hingga putih,matanya bergerak gelisah tidak ingin membuat sahabat yang baru ia temui merasa bersalah.
"Katakan!"
Hana menelan ludah gugup suara tegas Ara mengingatkannya pada Ana saat mereka pertama kali bertemu. Saat Ana tegas itu tandanya ia tidak ingin di bantah "Dia… selalu Update foto makam mu dengan kata-kata penyesalan dan kerinduannya padamu! Dan terakhir aku melihat status adiknya yang mendoakan semoga kakaknya cepat sembuh!"
Ara mengerut kening bingung "Aku tidak mengerti!"
"Ya.. itu, kau tahu karena menyesal dia ingin mengakhiri hidupnya dan menyusulmu!"
"Apa!!"
Ara terdiam. Lama.
"Besok! Bisakah ku menemaniku menemuinya?" tanya Ara serius.
Hana mengerjabkan matanya gelisah "Itu, apa yang harus aku katakan! Abe tidak akan membiarkan siapa pun mengunjungi kakaknya lebih dari satu menit!".
Kening Ara berkerut "Lho! Kenapa begitu?".
Hana tertawa pasrah "Ya, dia tampan dan identitasnya tidak sederhana! Banyak yang mengejarnya! Abe tidak ingin sesuatu yang merugikan kakaknya terjadi lagi!".
"Merugikan? Aku tidak mengerti!"
Hana tersenyum misterius "Kau akan mengerti nanti! Baiklah, aku akan membawamu ke sana dan mengatakan yang sebenarnya pada Abe kalau kau adalah Ana!".
Ara mengangguk "Terserah kau saja!".
***