"Persetan!" Rian tiba-tiba mengumpat seraya melepaskan tangan Ara, menghempaskannya ke pangkuan. Dengan cepat, dia berlutut di hadapan Ara, mencengkram bahu kecilnya dan mengguncang-guncangkannya.
"Kau terlalu naïf! Terlalu polos! Tapi juga keras kepala! Hubungan kita terlalu berharga untuk berakhir sia-sia begitu saja! Memang brengsek dasar brengsek dia! Setan!"
Rian terus menceracau seperti orang kesetanan. Menyumpah-nyumpah gusar dengan wajah merah karena amarah. Entah memaki-maki siapa. Tidak tahu marah pada siapa. Seluruh tubuh Ara mulai gemetar ketakutan karena belum pernah melihat Rian marah seperti ini kepadanya.
Namun sikap keras kepala telah menguasai Ara. Terlupakan sudah semua niatnya untuk meminta maaf dan memaafkan Rian.
"Brengsek!" Rian masih terus mengumpat-umpat " Mereka tahu banget kenaifan mu. Dan mereka berhasil manfaatin kelemahan mu yang satu ini tanpa perasaan sama sekali!"
"Apa maksudmu dengan mereka!"
"Mereka memang brengsek! Dan kau anak bodoh!" Teriak Rian emosi.
Ara sontak mengibaskan dengan kasar kedua tangan Rian. "Bodoh! Aku saja tidak tahu siapa yang kau maksud dengan mereka bagaimana kau bisa mangatakan aku bodoh!? Sudahlah, Kak! Mendingan kau pergi dari sini sekarang! Jangan datang-datang lagi!" teriaknya dengan sorot mata penuh kebencian.
Teriakan itu langsung menyentak seluruh kesadaran Rian sehingga amarahnya sekonyong-konyong menguap. Bahunya mendadak lunglai, kepalanya tertunduk, seiring dengan kedua tangannya yang terlepas dari bahu Ara dan langsung terkulai ke bawah.
"Maafin aku, aku enggak bisa nahan emosi…"
Mendengar permintaan maaf penuh penyesalan itu, sebagian amarah Ara juga ikut tersapu hingga mata coklatnya mulai membasah. Ingin rasanya Ara memeluk bahu Rian yang terkulai, dan mengatakan kalau dia tetap menyayanginya. Bahwa dia tidak bermaksud sungguh-sungguh mengusirnya. Tapi semuanya sudah tidak mungkin.
Bagai prajurit yang kalah perang, Rian mencoba berdiri dengan kedua kakinya, menggunakan segenap tenaga dan harga diri yang masih tersisa.
"Kalau memang kau ingin aku pergi, aku akan pergi. Selamat sore. Ara."
Angin malam berhembus. Pelan. Membelai pori-pori di wajah pucat Ara. Mengusap rambut yang tergerai lepas di bahu kurusnya. Cardigan merah maroon membalut tubuhnya yang terduduk bersandar di ayunan taman berbentuk bangku panjang di lapis jok coklat tua bergaris-garis putih. Kepalanya bersandar di tiang ayunan.
Ara termenung. Melamun. Sesekali menghela nafas. Bergumam sendiri. Kepergian Rian sore tadi membuat hatinya sakit dan sekarang dia sendiri tidak punya tenaga untuk beranjak masuk ke dalam rumah sampai langit gelap.
Wajah pucat Ara menengadah ke langit. Bintang-bintang yang di sukainya terlalu malas untuk berpendar malam ini. Membuatnya merasa sangat kesepian. Bulan juga begitu. Tampak samar tertutup awan tipis. Ara menghela nafas kecewa. Malam ini dia ingin mengadu. Tapi mereka terlalu malas untuk menemani.
Kepalanya kembali bersandar di tiang penyangga ayunan, dengan mata terpejam. Lututnya bergerak pelan. Suara ayunan menembus sepinya malam.
***
Matahari yang begitu terik siang itu menjatuhkan bayangan dedaunan di tanah tak berumput, di bawah pohon rindang ada meja dan kursi yang terbuat dari semen permanen, tempat biasa Hana dan Ara nongkrong. Beberapa hari ini terasa damai untuk Ara tapi tidak untuk Hana yang terus menerus di terror oleh pesan dari Rian yang menanyakan kabar Ara sembunyi-sembunyi.
Dedaunan kering yang belum sempat di sapu pegawai kebersihan universitas gemerisik di bawah kaki mereka berdua. Ada satu sosok berdiri memperhatikan dari jauh tanpa mereka sadari. Sosok yang menatap Ara dengan pandangan jahat.
"Ra, sebenarnya kau kenapa?" Tanya Hana.
"Aku juga tidak tahu!" Ara terdiam. Tangannya bermain pada pensil di atas meja entah mencoret-coret apa. Sunyi. Hanya suara angin yang mengayun dedaunan di ranting pohon "Aku tidak mengerti bagaimana perasaanku pada Rian!"
"Oh! Lalu bagaimana denga Arka! Bukankah dulu kau bilang menyukainya, bagaimana sekarang?"
Ara menggeleng "Hampa! Setelah bertemu dengan Rian lagi perasaan pada Arka perlahan-lahan terasa hambar! Dan aku mulai memikirkan Rian," Ara menatap Hana mengguncang bahu sahabatnya pelan "Katakan padaku apakah aku benar-benar mencintai Rian?"
"Hm.. bagaimana jika kau membuktikannya dengan tindakan! Mungkin dengan begitu kau akan mengerti bagaimana perasaanmu pada Rian," Hana memberi saran.
Ara terdiam "Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya!"
"Ya, begini. Aku mendengar dari Abe kalau Kak Rian akan pergi mendaki beberapa bulan lagi, mungkin kau bisa pergi!"
Beragam pikiran berkecamuk dalam kepala Ara setelah mendengar saran Hana. Haruskah dia pergi tapi setelah itu apa yang akan dia lakukan. Bertanya kenapa kau tidak melupakan Ana atau rahasia apa yang di sembunyikan Arka. Jika benar semua kejadian yang menimpanya berhubungan dengan Arka sungguh dia tidak bisa menerima semuanya.
Sekonyong-konyong Ara merasa hatinya sakit bercampur marah. Tapi dia tidak sudi untuk menyerah sebelum mendapatkan jawabannya. Mungkin dia memang harus mencoba ikut naik gunung bersama Rian. Paling lambat waktu liburan semester beberapa bulan lagi. Tapi, kenapa dia merasa semua telah di atur sangat tepat dengan waktu libur setelah ujiannya.
"Baik! Aku akan pergi!"
Tanpa Ara sadari senyum penuh kemenangan terukir di bibir Hana. Dia segera mengirim pesan ke seseorang. Sesekali dia terkikik geli ketika menerima balasan pesan juga.
"Kau temani aku pergi membeli peralatan untuk mendaki!"
"Oi.. aku nggak bisa! Aku harus pergi kencan dengan Abe,"
Mata Ara melotot kaget "Kau!"
Hana membereskan buku di atas meja batu memasukan kedalam tas dan mengedipkan mata pada Ara. Senyum terukir dibibirnya membuat mata sipitnya semakin kecil "Usia bukan halangan untuk mencintai, bukan? Karena cinta tidak ada aturan! Aku pergi!"
Mulut Ara ternganga. Dia melongo melihat kepergian Hana yang melompat-lompat seperti kelinci Ara juga merasa bisa melihat ada ekor pendek di belakang Hana. Sahabatnya itu terlihat sangat lucu saat bahagia. Mungkin dia juga harus berani seperti Hana. Tidak terus terpaku pada satu kesalahan karena setiap orang pernah melakukan kesalahan. Tidak ada yang sempurna termasuk juga dirinya sendiri.
Ara menghela nafas. Merapihkan bukunya dan memasukan kedalam ransel dia harus pergi ke toko peralatan mendaki. Untuk membeli beberapa perlengkapan.
ara berhenti di depan sebuah ruko bercat krem muda terletak tidak jauh dari universitas. Hembusan mesin pendingin ruangan, menyejukkan para pengunjung yang ingin membeli atau sekedar melihat-lihat.
Ara melangkah masuk sembari melihat-lihat, bergerak pelan dari satu barang ke barang lain. Berbagai model tas dan ransel dengan macam-macam kombinasi warna, dari ukuran sebesar badannya sampai terkecil, di pajang di pojok khusus dekat pintu masuk. Beragam model kaos dengan gambar dan teknik sablon yang menarik dipajang di sebelahnya. Juga sepatu dan sandal gunung.
Ternyata untuk mendaki gunung pun perlu peralatan yang banyak. Ara melongo 'bagaimana bawanya'. Dia mengambil sebuah tas ransel berukuran kecil warna merah maroon. Melihatnya sambil membolak-balik tas itu penuh minat. Di kembalikannya tas itu dan melempar pandandangan ke sekeliling toko. Ara tertegun, memandang ke arah pintu masuk.
Seseorang yang di kenalnya bahkan yang dia usir dari rumahnya beberapa hari lalu. Sosoknya yang tinggi, tegap berjalan mantap memasuki toko. Rian, jika di perhatikan dengan baik ternyata lebih tampan dari Arka.
Melihat Rian memasuki toko. Karuan saja Ara terserang gugup, takut kalau-kalau cowok itu memergokinya, lalu nanya-nanya kenapa bisa nyasar di toko seperti ini. Benaknya belum bisa melupakan sepasang mata hitam yang menatapnya penuh kerinduan dan ke kecewaan beberapa hari lalu.
Perlahan-lahan, dia beringsut perlahan dari pojok toko ke arah pintu keluar.
Satu…dua…tiga…
Dia berjalan sambil berlagak melihat-lihat barang pajangan, dengan posisi membelakangi Rian yang sibuk berbincang dengan temannya di counter yang memajang berbagai emblem, kompas, tali pinggang, pisau, topi dan bandana.
Satu…dua…ti…
"Lho? Ara?"
Ampuuuun…!! Bundaaaa…!! Kedua kaki Ara sontak terpaku di tempat, beku.
"Ngapain di sini?" Tanya Rian, berjalan menyongsong sambil tersenyum senang sekaligus heran.
"Eh, anu…, ehem.., yaaaah, pengen lihat-lihat aja," sahut Ara terbata-bata, mukanya memerah, memucat dan kembali memerah lagi. Beberapa hari tidak melihat Ara hatinya di rundung rindu. Kini gadis bertubuh kecil itu berdiri di depannya terlihat sedikit berbeda, lebih pendiam dan pemalu.
"Oh ya?" Rian berhenti tepat di depannya, menatap dengan tatapan menyelidik.
"Beneran. Sumpah!" Ara mencoba meyakinkan Rian sambil menggelengkan kepala kuat-kuat hingga kuncir rambutnya ikut bergoyang ke kanan dan ke kiri.
"Oooh…" bola mata hitam itu terus menatap Ara, serasa mengobrak abrik isi kepalanya. Di mata Rian tindakan Ara saat ini sangat menggemaskan sangat ingin dia memeluk cewek mungil itu erat-erat.
Ara menunduk gugup, tanpa sadar menarik ujung cardigannya.
"Lagi nyari ransel?" Tanya Rian lagi, melirik sekilas deretan tas di dekat Ara berdiri.
Karena kehabisan alasan Ara pun mengangguk kaku.
"Buat kuliah atau naik gunung?"
"Buat kuliah.."
"Mmm…" Mata hitam itu tertawa sedikit.
Ara mengigit bibir, kehilangan kata-kata.
"Baguslah," Ucap Rian, memicingkan mata, memandang Ara dari ujung rambut sampai ujung kaki " Cewek mungil sepertimu nggak cocok jadi pendaki. Bisa nyungsep melulu nanti…"
"Eeeh, jangan ngeremehin aku ya?! Akan aku buktikan kalau…" Ups! Ara terburu-buru menutup mulut.
Rian tertegun, menatap Ara dengan mata tajam seraya menyilangkan kedua tangannya di dada. Kenapa Ara tiba-tiba ingin pergi mendaki gunung dengan siapa dia akan pergi? Dia tidak bisa membiarkan Ara pergi karena itu terlalu berbahaya.