"Aku lapar, kita makan dulu yuk!" ajaknya.
"Oke!." Ara mengusap-usap perutnya yang keroncongan. "Dimana kita akan makan."
Rian menunjuk warteg yang terletak cukup dekat dengan pasar sayur di pinggir jalan, sebuah warung yang hanya di tutupi dengan terpal warna biru dan kain. Ara menatap tajam pada Rian. Dia merasa cowok itu mulai menjahilinya tapi dia tidak akan menyerah begitu saja.
"Di sana..?!"
Sambil bermuka lempeng, Rian menarik tangan Ara dan berkata. "Asal kau tahu aja, di perjalanan naik gunung nanti kita makannya di warteg. Malah kalau udah di gunung lebih-lebih lagi kita hanya bisa makan dari bekal yang kita bawa."
Ara mengerut kening. Rasanya setuasinya telah jauh melenceng dia hanya ingin memastikan perasaannya dan mencari bukti kecelakaan yang menimpa dirinya. Kenapa sekarang dia berdiri di depan warteg dengan Rian yang terus saja memprovokasinya.
Melihat Ara diam dengan tenang, Rian tersenyum penuh arti "Pendaki gunung sejati terlahir bukan untuk jadi orang manja."
"Aku tidak manja! Makan di warteg seperti ini sudah biasa untuk ku!" gerutu Ara kesal.
Rian tersenyum lebar. Di dalam warteg mereka duduk berdampingan di bangku kayu.
"Pak, minta nasi satu, telor balado, tempe dan sayur kacang. Ra, kau mau apa?" Tanya Rian.
"Mmm…eh, itu aja deh. Nasi sama tempe goreng minta bakwan goreng juga," kata Ara asal-asalan karena menu lauknya semua sangat bertentangan dengannya. Dia tidak punya pilihan selain tempe dan bakwan.
Pemilik warteg mengambil pesanan mereka dan menaruhnya di piring, lalu meletakkannya di atas meja.
Ara menghela nafas menatap nasi di depannya. Kening Rian berkerut "Ada banyak pilihan. Ayam goreng, udang bakar, telor ceplok, sayur bening, sayur asem, tumis pare, telur balado, ayam balado. Kenapa kau hanya memesan nasi,tempe goreng dan bakwan goreng!"
"Kalau kau ingin aku mati dengan cepat aku bisa memesannya sekarang!" ujar Ara datar. Menyuapi nasi kedalam mulutnya. Mata Rian bebinar-binar menatap Ara makan dengan lahap meskipun lauknya sangat sederhana.
**
Sesudah acara makan selesai, mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju pantai. Mereka bercakap-cakap meskipun Rian lebih banyak bertanya sedangkan Ara hanya menjawab singkat dan seadanya saja.
Ara akan menyeberang jalan tapi tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dari belokan ke arahnya. Wajah Rian pucat dengan cepat dia menarik tangan Ara dan memeluknya dengan erat. Tubuhnya bergetar nafasnya memburu. Ara yang terjepit dalam pelukan kuat cowok itu juga terdiam karena terkejut ia merasa teringat kembali dengan kejadian tiga tahun lalu saat dia kecelakaan.
Rian memeluknya sangat erat membuat Ara sulit bernafas. Dia menepuk punggung Rian pelan-pelan "Aku tidak bisa nafas…" Bisik Ara.
Tubuh Rian masih bergetar ketakutan masih terlihat jelas di wajahnya. Dia tidak bisa membayangkan jika terlambat satu detik saja maka Ara akan kembali terbaring di aspal dengan bersimbah darah seperti tiga tahun lalu. Tidak. Dia tidak ingin melihatnya lagi.
Rian melepas pelukannya pelan-pelan. Memegang bahu Ara erat-erat menatapnya lekat-lekat "Kau… baik-baik saja, kan? Apakah ada luka?" Rian memeriksa. Tangannya bergetar.
Ara melepaskan pegangan tangan Rian pada bahunya. Untuk sesaat hatinya sakit melihat ketakutan di mata Rian. Dia menoleh ke arah mobil yang hampir menabraknya itu terlihat sama dengan mobil yang menabraknya tiga tahun lalu. Ara menggelengkan kepalanya membuang segala pikiran negatifnya, karena yang memiliki mobil seperti itu bukan hanya satu.
"Hari ini sebaiknya kita pulang! Firasatku buruk tentang ini.." Pinta Rian.
Ara hanya mengangguk. Mereka akhirnya pulang masih menggunakan angkot dan berhenti di depan masjid raya di pasar raya. Mereka berjalan lumayan jauh menuju permindo Toko buku Sari Anggrek. Karena biasanya di sana angkot banyak mangkal. Benar saja mereka akhirnya sampai tepat waktu sebelum angkot itu berangkat, penumpangnya lumayan tidak banyak seperti sebelumnya. di perjalanan angkot yang mereka tumpangi mendadak berhenti. Kepala Ara melongok melihat ke jalan di depan. Dia melihat sebuah angkot warna merah berhenti mendadak di tengah jalan, sementara supirnya berteriak-teriak mencari penumpang, beberapa mobil yang memiliki bentuk yang sama dan warna berbeda berdiri di pinggir trotoar seperti tempat itu adalah parkiran khusus untuk mereka,
"Rian, kenapa sih berhentinya di tengah jalan? Lihat tuh sampai macet gini," celetuk Ara. Lagi-lagi keheranan.
"Maklum yang punya jalan," sahut Rian santai.
"Maksudnya?"
"Yang punya jalan kan mereka ini. Pokoknya kalau berhenti dan ngetem seenaknya, orang lain nggak boleh marah."
Sekali lagi Ara melongo.
"Nah salah satu angkutan umum yang akan kita naiki dalam perjalanan naik gunung, ya, kayak ini," tambah cowok itu dengan sinar mata jenaka.
Ara semakin terpojok. Dirabanya rambutnya yang di kuncir satu, seolah-olah mendadak beruban. Di usapnya keringatnya untuk kesekian kalinya dengan menggunakan sapu tangan kecil merah maroon bermotif bunga . samar-samar tercium wangi jeruk campur stroberi dari sapu tangan tersebut. Agak menenangkan emosinya yang meleduk-leduk dari tadi.
Syukurlah si angkot di depan bergerak membuat angkot yang mereka tumpangi juga bisa berjalan. Membuatnya bernafas lega.
"Rian, kayaknya naik ojek rada lumayan di bandingkan naik angkot! Bagaimana kalau nanti kita cater ojek aja buat ngantar kita ke…."
Belum selesai dia berkomentar, angkot yang mereka naiki mengerem mendadak sekuat tenaga, menghindari motor yang memotong seenaknya dari arah berlawanan.
CIIIITTT….!!!
"Waaa…!!!"
Ara yang tidak berpegangan nyaris terguling ke lantai angkot, kalau saja Rian tidak gesit memeluk bahunya. Rian sendiri terpecah kosentrasinya, antara menjaga Ara sebaik mungkin sekaligus menjaga dirinya sendiri untuk secepatnya kembali duduk tegak di kursi setelah sebelumnya hampir tersungkur juga.
"Rian, semua angkutan umum suka gini ya?" bisik Ara sambil menggerutu. Mengusap-usap dadanya yang berdegup keras.
"Baru tahu?" seloroh Rian.
"Huh, baru juga aku puji-puji, eeeh, langsung gedubrak gini!"
"Namanya juga angkutan rakyat jelata. Bayarnya murah, servisnya juga kayak tadi. Kalau mau enak ya naik taksi."
"Harusnya memang gitu, kau aja yang kegatelan ingin naik angkot!" semprot Ara jengkel.
Rian tertawa pelan, melempar pandangan ke arah jalanan yang di padati kendaraan bermotor. Sebenarnya dia ingin sekali menggenggam tangan mungil yang memegang erat-erat sapu tangannya. Memeluknya selama mungkin badannya yang tadi hampir tersungkur di lantai angkot . atau mengusap keringat di keningnya. Semenjak pertemuan mereka saat dia sakit, semenjak itu pula dorongan itu semakin hari semakin kuat. Keinginan untuk menyentuh, memeluk, menghibur dan bersikap manis. Padahal sikap Ara nyaris tidak pernah baik padanya. Cenderung menjaga jarak, bahkan kerap jutek. Namun semakin Ara bersikap menjauh semakin ingin Rian menggapai dan merengkuhnya.
Untuk ke sekian kalinya Rian terpaksa menahan dorongan hatinya sekuat tenaga. Menekan rasa bersalah ketika melihat Ara kepayahan. Tapi dia juga ingin tahu sebenarnya tujuan Ara naik gunung karena saat dia masih menggunakan nama Ana, gadis itu benci kegiatan yang menguras tenaga dan panas. Tapi, sekarang dia sangat bersemangat Rian sendiri tidak bisa mencegah, untuk mengutarakan pendapat saja dia sudah tidak memiliki ruang. Ara terlalu keras kepala.
"Besok sabtu. Aku akan membawamu pergi marathon! Kau harus bangun pagi-pagi sekali! Setel alarm mu dengan benar, kalau kau terlambat naik gunungnya batal!" Ancam Rian.
Kepala Ara langsung berputar menatap Rian tajam dia melotot. pipinya mengembung. Hati Rian semakin gatal ingin merengkuh Ara erat-erat. Gadis itu selalu bertingkah imut di depan matanya. Ana yang dulu dengan Ana yang sekarang sangat berbeda apakah karena pengaruh nama yang di milikinya. Jujur saja dia menyukai versi kedua Ana itu. Baik itu kalem dan tenang atau cerewet dan keras kepala. Pada kenyataan mereka masih lah orang yang sama.
Ara adalah Ana.
Dan Ana adalah Ara.
Tidak ada yang bisa mengubahnya. Dia hanya memiliki dua nama yang berbeda di waktu yang berbeda.
"Apakah tidak bisa minggu saja! Aku ingin pergi ke suatu tempat besok."
"Kemana? Aku bisa mengantarmu.."
Ara menggeleng. Dia tidak bisa membiarkan Rian tahu kemana dia akan pergi. Dia hanya ingin menyelesaikan semuanya dengan lancar dan setelahnya dia bisa pergi secara diam-diam.