Chereads / Sebuah Kata Kerinduan / Chapter 38 - 38. Rencana Awal

Chapter 38 - 38. Rencana Awal

Ara menjadi gugup beneran, seharusnya dia tidak mendengarkan kata-kata Hana tapi dengan bodohnya dia mendengarkan dan pergi ke toko perlengkapan mendaki dan sekarang di pergoki oleh Rian. Kepala tertunduk, menggerak-gerakkan kaki gelisah.

"Ajak-ajak aku dong," Akhirnya Cowok itu memilih untuk menggoda Ara dari pada bertengkar lagi. Rian tersenyum matanya berkilat penuh makna.

Tapi bibir kemerahan itu malah mengatup rapat, lantas pergi beranjak melihat-lihat model tas yang lain diiringi tatapan Rian yang setia mengikuti.

Hari ini Ara begitu manis dan segar tanpa atribut mengerikan di wajahnya. Memakai cardigan hijau apel melekat di tubuhnya yang kecil. Serasi dengan kulitnya yang putih bersih dan rambutnya yang hitam. Harum samar bedak wangi jeruk terhirup indera penciuman Rian, menanamkan kesan mendalam.

"Sama siapa nanti naik?" Nada suara Rian terdengar serius, membuat Ara menoleh, menatapnya dengan kening berkerut heran.

"Sendirian… atau aku bisa mengajak Ezhar!"

Alis Rian berkerut mendengar nama Ezhar di sebut " Jangan. Bahaya."

"Bukan urusan mu!" sambar Ara jengkel, mengibaskan sebelah tangan. Tanpa di sadari, dia mulai memanggil Rian tanpa embel-embel 'kakak'.

Rian menatap lurus. "Kau pasti punya alasan kuat."

"Alasanku hanya satu. Aku ingin naik gunung! Titik!"

"Dasar keras kepala,"gerutu cowok itu pelan seraya melayangkan pandangan ke arah jalan raya, berpikir sejenak. Antara ingin mencegah niat Ara tapi juga tidak tega membiarkannya pergi tanpa ada yang menemani. Dia sendiri juga memang akan pergi naik gunung tapi waktunya belum di tentukan "Kapan kau kira-kira akan naik gunung?" tanyanya.

Ara terdiam sebentar. Menimbang kalimat yang kira-kira aman untuk di ucapkan. Supaya Rian tidak tahu alasan sebenarnya dia mendaki adalah untuk membuktikan hatinya pada cowok itu apakah benar-benar cinta atau hanya sekedar suka. Dia ingin membandingkan perasaan itu antara Rian dan Arka. Dia samping itu dia juga baru tahu kalau Rian selain playboy ternyata punya hobby naik gunung.

"Kapan?" Tanya cowok itu lagi.

"Liburan semester nanti."

Rian menghela nafas. "Kau harus punya persiapan khusus, bukan sekedar modal nekat atau bawa badan," ucapnya dengan nada serius. Di pandanginya sekali lagi Ara yang berdiri tenang.

"Pertama harus siap mental," lanjut cowok itu. "Karena mental itu pengaruh banget. Kalau mental jatuh maka gagallah semuanya. Kedua, kau harus siap secara fisik. Jadi mental dan fisik saling berkaitan. Khusus untuk fisik… ehem, aku ragu apa kau yang terbiasa hidup enak sanggup mendaki gunung… eits, jangan marah dulu. Begini, aku bersedia nemenin asalkan kau mau ikutin semua aturan aku."

"Aku nggak butuh di temenin!" seru Ara gusar.

"Oh! Kalau itu nggak bisa di tawar-tawar lagi," sergah Rian tegas. "Seorang pendaki tidak akan pernah bertindak sendirian atau berpikir bisa menolong dirinya sendiri. Naik gunung itu kerja tim. Saling tolong menolong, saling mendukung, saling mengingatkan. Gunung, semudah apa pun untuk di daki, tetap menyimpan potensi tersembunyi yang berbahay. Bahkan di gunung Singgalang pun benyak pengunjungnya dan jalurnya sudah ada, tetap saja ada larangan untuk mendaki sendirian."

"Kau Cuma nakut-nakutin aku kan?" suara Ara bergetar sedikit.

"Dengar baik-baik ya, boneka kecil! Banyak pendaki amatir yang suka nganggap enteng atau kurang persiapan matang, mulai dari perbekalan, peralatan sampai ketahanan fisik. Misalnya, mereka udah berani atau lebih tepatnya, nekat mendaki, peraturan mendaki minimal bertiga di harapkan akan meminimalkan resiko. Asumsinya, kalau terjadi kecelakaan, misalnya pada satu orang maka yang lain bisa nemenin, dan satunya satunya lagi akan pergi mencari bantuan, "Suara Rian yang begitu mantap dan serius mulai menancapkan pengaruh.

Ara menelan ludah susah payah, mulai di landa kengerian.

"Kalau kau maksa, yaaah, apa boleh buat," Ucap Rian acuh tak acuh sembari berlagak hendak pergi.

"Tunggu." Panggil Ara tanpa pikir panjang lagi "I-iya deh, aku mau."

Sesaat dirinya di landa perasaan heran. Kenapa dia begitu saja mempercayai cowok yang dulu pernah menyakitinya itu? Agak aneh sebenarnya, namun toh selama ini dia selalu mengikuti nalurinya menuntunnya ke arah itu. Sebuah kepercayaan yang datangnya begitu alamiah hingga dia menerima sepenuhnya keyakinan. Sama seperti saat mereka menjadi sepasang kekasih. Kepercayaan tanpa sarat.

"Sorot mata Rian berbinar penuh kemenangan . alisnya terangkat. "Yakin?"

Terlanjur keceplosan, Ara mengangguk.

"Oke kalau begitu kita naik Gunung Talang aja!".

"Tidak aku mau Gunung Singgalang." Ara keras kepala.

Alis Rian berkerut "Kau baru pemula untuk naik gunung kenapa kau memilih Singgalang! Gunung Talang lebih cocok untuk mu."

"Tidak.!"

"Baik! Tapi kau harus menuruti perkataanku! Tanpa bantahan atau protes!"

Agak ragu Ara mengangguk lagi sambil memantapkan hatinya untuk tetap maju dengan rencananya karena dia tidak akan bisa fokus jika hatinya bercabang dan pikiran kacau.

"Oke! Yang penting, hal pertama yang harus dilakukan adalah melatih mental, pergi kuliah jangan naik mobil pribadi tapi cukup angkot saja, sampai kau benar-benar tahan banting."

Ara tersenyum miring. Jika hanya naik angkot pulang pergi kuliah dia sudah terbiasa bahkan lebih dari itu juga dia tidak akan kesulitan. Karena kehidupan sebelumnya sebagai Ana dia sudah lebih dari tahan banting.

"Tapi, apa hubungannya dengan angkutan umum?" Ara penasaran.

"Karena kita pergi ke Pasar Koto Baru tidak jauh dari Padang Panjang arah ke bukit tinggi. Kau pilih mana berjalan kaki atau naik angkutan umum sejauh dua jam hingga ke posko, kalau kau ragu batalin aja."

Sesaat Ara di serang ragu. Ia lupa jika kondisinya spesial bagaimana jika terjadi sesuatu selama persiapan atau saat perjalanan naik gunung? Tapi bayangan saat dia mengetahui keinginan hatinya yang sebenarnya semangatnya kembali bergelora.

"Jangan kira aku takut ya! Akan aku buktikan kalau aku bisa!" tantangnya.

Sejenak Rian terperangah "Ya, ya. Aku percaya kok," katanya salut. "Tapi, sejak kapan kau memiliki minat untuk naik gunung?"

Ara terdiam, bibirnya mengerucut tidak ingin mengatakan apa pun "Oke! Aku tidak bertanya lagi!"

"Nah, habis itu apa lagi" Tuntut Ara, mengangkat dagu.

"Minimal seminggu dua kali kau harus olahraga, selain berenang tentunya. Aku akan menemanimu lari pagi atau sore ke GOR, juga sit-up, push-up, pull-up. Karena untuk mendaki, kau butuh VO2 max yang baik…."

"V… apa?"

"VO2 max itu volume oksigen maksimum, buat ngatasin peredaran kadar oksigen pada ketinggian tertentu, supaya kita kuat bawa beban berat pas mendaki."

"Ooooh…." Ara melongo, diam sebentar, lalu berkata dengan nada mantap, "Oke!"

"Hmm… ralat sedikit," ucap Rian seraya mengerutkan kening sejenak, berpikir-pikir. "Aku rasa, olahraga lari aja udah cukup buat mu. Tidak perlu pake sit-up, push-up, atau pull-up segala. Akan aku atur supaya beban ranselmu ringan dan perjalanan pendakiannya lebih santai."

Ara mengangkat bahu. "Terserah pada mu."

Mereka bersalaman erat, tanda kesepakatan telah terjalin.

Rian menatap Ara lembut. Gadis itu terlihat semakin kurus dan pucat dan sekarang lebih sering memakai cardigan. " Kau mau pulang?"

Ara melihat jam di pergelangan tangannya, berpikir "Mmm… sebenarnya aku ingin menonton film di bioskop…"

"Oke! Aku ikut. Ayo pergi film apa yang akan kau tonton." Tanya Rian sambil menarik tangan Ara menuju mobil sedan putih yang terparkir di depan toko. Rian membuka pintu mobil meminta Ara untuk masuk ke dalam mobil "Masuklah!"

"Mmm.. terima kasih."

Ara merasa bingung dan heran dulu dia tidak begitu dekat dengan Rian jadi tidak tahu seperti apa sifatnya yang sebenarnya selain hangat dan perhatian. Dia tidak ada kesempatan untuk melihat sisinya yang lain. Karena waktunya habis hanya untuk memikirkan Arka saat itu.

"Film apa yang akan kau tonton?" Tanya Rian.

"Now You Can See Me atau GI Joe:Retaliation juga boleh?" Jawab Ara santai sambil memakai sabuk pengamannya.

"Kau suka film seperti itu?"

Ara mengangguk "Yaah.. secara teori aku menyukai film apa pun selama itu menarik! Kecuali horror dan film yang terlalu ektrem!"

"Oke akan aku ingat!"

Ara menatap Rian bingung "Kenapa kau harus mengingatnya?"

"Karena aku masih ingin mengajakmu untuk menonton bioskop di lain waktu! Dan aku harus mencarikan genre film yang kau suka."

"Kau sangat percaya diri kalau aku akan pergi dengan mu di lain waktu?" alis Ara terangkat dengan senyum tipis di bibir.

"Tentu saja!"