Sejak kedatangan Ara tiga hari yang lalu, dengan cepat kesehatan Rian pulih. Ekpresi murungnya berganti cerah, juga banyak tertawa dan bercanda, napsu makannya juga meningkat.
Kemarin, sepulang dari kampus, untuk kedua kalinya Ara datang menjenguk, masih bersama Hana. Kadang ikut membantu Abe mengurus kafe dan merapikan konsol game yang berserakan setelah pengunjung bermain. Menemani Rian makan, mengingatkan untuk minum obat dan vitamin, serta menemani hingga Rian jatuh tertidur.
Tapi, seperti hari pertama, selama merawatnya Ara lebih banyak diam sembari menyibukkan diri melakukan apapun yang bisa dilakukan. Entah membaca majalah otomotif yang di taruh di rak buku di kamar Rian, atau membereskan buku-buku yang berantakan di meja belajar.
Hari ini Ara kembali menjenguk dan merawat Rian. Setelah itu dia duduk diam-diam di samping tempat tidur, melempar pandangan jauh ke luar jendela yang berukuran besar berjajar tiga. Sesekali memainkan jemarinya. Itu semua membuat Rian semakin curiga dengan identitas Ara.
"Ara.."
Ara tersentak dia menatap cowok itu tanpa ekpresi.
"Terimakasih banyak, sudah mau datang ke sini," Ucap Rian, tersenyum.
"Udah sore. Aku pulang dulu," ucapnya datar.
"Jangan."
Ara menatap lurus sepasang mata Rian dan kembali berkata "Aku harus pergi."
Sebelum sempat menyadari apa pun, tahu-tahu dia sudah berada di pelukan Rian. Bersandar di dada bidangnya. Dilingkari sepasang lengan kokoh yang melingkupi tubuh mungilnya. Membiarkan cowok ini mencium rambut hitamnya.
"Jangan pergi, Ana.." Rian berbisik lirih.
Ara memejamkan mata, menikmati setiap detik momen dalam dekapannya. Dia tidak pernah menyangka jika pelukan Rian akan terasa begitu nyaman dan terasa di lindungi. Kemudian, pelan-pelan, dia mencoba mencerna kalimat yang barusan terucap.
Tadi Rian memintanya jangan pergi dan memanggilnya Ana. Benarkah? Bukannya Rian tidak pernah sungguh-sungguh menyayangi Ana?
Ara mencoba melepaskan diri dari pelukan itu, tapi gagal karena Rian memeluknya sangat erat sekaligus lembut. Seluruh tubuh Ara tenggelam. Seolah-olah Ara adalah gadis kecil yang tidak akan dilepaskannya begitu saja.
"Tapi aku mau pulang, dan namaku Ara..,"bisik Ara.
Sunyi senyap. Lama…
Mendadak Rian melepaskan pelukannya, agak kasar. "Kalau begitu, buat apa kau ke sini! Dan apa tujuanmu! Dan Abe tidak akan membiarkanmu berada di kamarku dalam waktu lebih dari satu menit! Jika bukan Ana lalu kau siapa?" desaknya tajam seraya memegangi kedua lengan Ara.
Ara membisu. Bingung harus bilang apa.
"Dan buat apa jengukin aku? Merawat aku? Padahal aku selalu menyakiti Ana, katakan kalau kau bukan Ana siapa lagi yang lebih peduli padaku! Aku tahu sifat Ana meskipun dia memberi jarak tapi kasih sayang yang tak terucap darinya itu sama persis denganmu!" Rian menatap Ara lama-lama "Sejak awal aku selalu percaya kalau kau masih hidup! Ana, tolong.."
Mata itu menatap dengan sorot putus asa bercampur ekpresi keras kepala.
Berdebar-debar Ara menutup bibirnya rapat. Terpaksa membuat Rian menelan kekecewaan karena Ara memilih tetap bungkam.
"Benar-benar cewek keras kepala," Gerutu Rian jengkel, melepaskan cengkramannya lalu mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya mengeras.
Ara menundukkan kepalanya sementara jarinya memainkan ujung cardigan-nya.
Sekonyong-konyong, Rian tertawa pelan. Matanya memicing menatap wajah yang tertunduk gugup itu. Kemenangan membayang di matanya. Juga kegelapan. Meskipun Ara bungkam dan berdandan sangat jelek tapi Rian sangat yakin jika sosok yang selalu merawatnya itu adalah Ana. Cinta yang dulu dia sia-sia kan.
"Orang bilang, hati cewek susah di tebak. Dimulut dan hatinya saling bertolak belakang. Seharusnya aku tidak bertanya lagi."
Wajah Ara sontak memucat.
Rian mengulurkan tangan, menyentuh ujung rambut Ara yang tergerai di pundak. Memainkannya. Ara membiarkannya walaupun kejengkelan mulai melanda, hingga tanpa sadar jemarinya menarik-narik keras bagian bawah cardigannya.
"Aku percaya itu kau Qiana Nafeeza! Aku tidak tahu kenapa kau memalsukan kematianmu! Tapi aku ingin kau percaya kalau aku sungguh-sungguh mencintaimu! Dan aku juga ingin kau mengetahui siapa Arka yang sebenarnya!" Ucap Rian mantap.
Wajah Ara semakin memucat meskipun ia bingung kenapa Rian menyebutkan nama Arka, dia cepat-cepat bangkit dari sisi tempat tidur, berjalan ke pintu meninggalkan Rian yang tersenyum lebar.
"Aku sayang kamu, Qiana! Karena kau keras kepala dan naïf!"
Ara terus berjalan tanpa menoleh lagi, dan membanting pintu kamar.
***
Di hadapan Rian, berdiri rumah berlantai dua dengan halaman luas dan pagar besi warna putih. Sebuah tempat di mana Ana yang kini berganti nama menjadi Ara menetap. Rian memejamkan mata membayangkan profil Ana di balik dandanan Ara yang menyakitkan mata itu. Matanya yang bening, tawa lepasnya, dan senyumnya.
Rian menghela nafas untuk sekarang dia hanya bisa memanggil Ana dengan nama Ara jika tidak gadis keras kepala itu akan marah dan menjauh lagi darinya.
Apakah Ara pernah memikirkannya? Atau bahkan sebaliknya, masih memendam kemarahan dan sakit hati?
Pelan-pelan, ia membuka pagar dan berjalan ke arah ruang tamu yang pintunya terbuka. Di dengarnya lamat-lamat suara tawa. Rian pun tertegun.
Ya, itu suara Ana! Tertawa lepas. Riang. Seperti dulu. Terima kasih ya tuhan..
Tapi, ada suara laki-laki...
Langkah Rian sontak terhenti. Darahnya berdesir keras.
Penasaran, dia terus berjalan masuk, dan berhenti tepat di depan ruang tamu. Lalu terlihatlah pemandangan yang membuatnya bergolak.
Ara duduk di sofa ruang tamu, gadis itu tidak memakai dandanan anehnya lagi dan jelas itu adalah wajah Ana. Dia mengenakan kaus putih yang membuat wajahnya terlihat cerah. Ngobrol berdua dengan sorang pemuda yang tidak ia kenal.
Tubuh Rian sekonyong-konyong mengigil hebat. Dia tahu, dia bisa saja telah kehilangan cinta Ara tanpa sempat berbuat apa pun untuk mencegah. Inilah resiko terbesar dari keputusannya.
Rian telah memutuskan untuk kembali mengejar Ana yang sekarang akan dia panggil Ara, dia ingin Ara tetap di sisinya memberinya kesempatan kedua. Apa pun halangan akan dia hadapi. Namun di tengah kekalutan itu, Rian menguatkan hati untuk tetap menemuinya.
"Hai, Ara. Apa kabar," sapanya tenang, berdiri tegak di depan pintu, menatap nyaris tanpa berkedip.
Ara menoleh, tertegun agak lama.
"Hai juga, Kak Rian," sebuah suara keluar dari bibirnya, hingga Ara sendiri merasa asing. Terdengar tenang penuh kendali dan seakan tanpa beban. "Apa kakak sudah sehat sepenuhnya?" tatapan Ara jatuh pada pergelangan tangan kiri Rian yang meninggalkan bekas luka. Hatinya sakit. Matanya beralih pada pemuda yang sejak tadi menatap Rian. "Hm, kak kenalkan dia Ezhar temanku! Dan Ezhar dia Rian,"
Gantian Rian yang tertegun.
'ini bukan Ana,' pikirnya kalut. Ana meskipun selalu tenang tapi suaranya tidak pernah setenang ini. Seakan dirinya memang hanya orang asing.
Ara tersenyum tanpa ekpresi menatap Rian, lalu mengambil tangan Ezhar. "Kau janji mengajak ku pergi nonton! Ayo pergi nanti kita terlambat," ajaknya dengan manis.
Rian tertegun. Memandang tajam pada Ezhar yang tersenyum . tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah Ara.
"Oke! Ayo kita pergi!" tangannya merangkul bahu Ara "Apa sih yang nggak buat kamu,"
Sebelum Ezhar bicara lebih banyak, sebelum Rian mencegahnya pergi, Ara buru-buru manarik tangan Ezhar meninggalkan Rian terpaku sendirian.