Di taman tempat nongkrong Ara dan Hana.
"Ssst, Ana, ah tidak Ara. Ada Kak Rian tuh!" Hana berbisik, menunjuk ke jalan menuju fakultas hukum. Matahari menerpa kulit pucat Rian yang dibungkus kaus merah tua dan celana jeans.
"Mana? Mana?" Tanya Ara panik.
"Tuh, lagi jalan menuju fakultas,"
"Oh tidak! Hana, kau sahabatku kan? Tolongin aku ya? Kalau dia nanya bilang aku sudah pulang duluan, atau apa sajalah. Please!" tangan Ara yang gemetar menggenggam erat tangan Hana. Kedatangan Rian kemarin kerumahnya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya terbangun dari mimpi. Dan Ara belum sanggup untuk menemuinya lagi.
Entah dari siapa Rian bisa tahu tempat tinggalnya yang baru, karena dia sendiri sengaja tinggal di rumah yang di beli bunda untuknya demi keamanan.
Secepat kilat, Hana memutar otak seraya menoleh ke sekeliling dan gedung fakultas.
"Kayaknya terpaksa sembunyi dulu di dalam sampai dia benar-benar pergi," usulnya.
"Iya,iya." Tergesa-gesa, Ara berjalan masuk ke dalam gedung fakultas sastra yang letaknya paling dekat.
Setelah yakin situasi aman, Hana duduk tenang seakan tidak terjadi apa-apa. Dan Rian melihat Hana duduk sendiri di taman langsung datang menghampiri "hai, Kak Rian," sapanya santai.
"Eh, apa kabar? Ara mana? Aku cari di fakultas nggak ada," Tanya Rian seraya menebar pandangan ke sekliling halaman dan gedung fakultas.
"Kabar Hana sih baik-baik saja, Kenapa Kak Rian tidak menelponnya saja?"
Rian tersenyum "Aku tidak punya nomor ponselnya. Kemarin aku juga datang ke rumah Ara, tapi dia sepertinya sedang bersama seseorang!"
"Oh!.."Hana melirik ke gedung sastra dalam hati ia merutuki Ara karena tidak menceritakan apa pun padanya, kalau sudah begini dia harus bicara apa lagi dengan Kak Rian.
"Apa kau bisa memberitahuku nomor ponselnya?," Tanya Rian kemudian.
"Oh! Nomor ponsel Ara ya.." Hana kembali melirik ke gedung fakultas sastra berharap sahabatnya itu mendengarnya "Kemarikan ponsel Kak Rian! Tapi jangan sering-sering telpon Ara ya Kak," Kata Hana.
Rian bingung "Kenapa begitu,"
Hana menatap Rian lama "Aku tahu Kak Rian mencintai sahabatku Ana! Tapi Kak, dia bukan Ana tapi Ara! Kenapa Kak Rian terus mengejarnya dan Kakak tidak malu terus mengejarnya?" Hana tersenyum tipis "Bukan maksud aku mengatai tapi di mataku kalian seperti the handsome and the ugly, kakak nggak lihat dandan dan wajah, Ara?"
Mata Rian memicing menatap Hana membuat gadis bermata sipit itu merinding "Kau yakin dia jelek?" Rian terkekeh "Berhenti berbohong aku sudah melihatnya tanpa atribut jeleknya itu! Dia adalah Ana dan aku sangat yakin itu!"
Hana melongo dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak percaya dengan pendengarannya. Dalam hati dia kembali merutuki sahabatnya karena tidak mengatakan apa-apa. Jadi sekarang apa lagi yang bisa di katakan pada Rian karena sepertinya dia tidak akan percaya apa pun.
"Jadi, Ara sekarang di mana?"
"Wah, dia sudah pulang duluan tadi, katanya mau pergi ke suatu tempat."
Sorot mata Rian kembali muram "Dia bilang akan pergi ke mana?"
Hana menggeleng.
"Baiklah, titip salam buat Ara. Aku pergi dulu,"
***
Beberapa kali Rian berusaha menemui Ara di kampus, tapi hasilnya nihil. Sms, telepon juga tanpa jawaban. Sore ini Rian mencoba menemuinya di rumah. Ara ternyata ada, sedang duduk sendirian, melamun di ayunan halaman belakang. Kedua tangannya saling mendekap, mencoba mengusir dingin setelah hujan turun hampir seharian, seakan cardigan merah maroon yang membalut tubuhnya belum cukup memberinya kehangatan.
"Ara…" suara lembut Rian menyadarkannya.
Ara menengadah, bertemu pandang dengan Rian yang berdiri tegak di hadapannya. Untuk beberapa detik, tanpa suara, Ara memandangi cowok itu. Seorang playboy gila yang suka berganti-ganti kekasih, berubah menjadi seperti mayat hidup, kemudian mengejarnya tanpa henti.
Pada awalnya niatnya hanya untuk menolong supaya Rian sembuh lebih cepat tapi dia tidak pernah menyangka jika kejadian beberapa tahun lalu itu membuat perasaan Rian semakin dalam pada Ana sampai cowok itu bisa langsung mengenalinya meski saat itu dandan nya sangat jelek.
Dia juga ingin melupakan semua tentang Rian, melepaskan perasaan cintanya dulu tapi setelah bertemu kembali entah kenapa perasaan cinta itu kembali menunjuk kan warna yang cerah dan Ara menjadi takut untuk menerima semuanya. Dan dia sendiri juga ingin mengetahui kebenaran tentang Arka. Rahasia seperti apa yang di ketahui Rian dan apa yang di sembunyikan Arka darinya.
"Aku boleh duduk di sini?" sebelum Ara mengiyakan, Rian sudah duduk di sampingnya. Melirik jari-jari kecil Ara yang pucat. Tangan Rian kemudian bergerak menggenggam tangan Ara, menelusuri satu persatu jari-jari tangan Ara yang dingin.
Ara memalingkan wajah. Mencoba menyembunyikan perasaan. Tapi gagal menyembunyikan tangannya yang gemetar.
"Apa kau ingin mendengar ceritaku?" Tanya Rian sembari memainkan jari-jari tangan Ara.
Ara membisu.
Rian menghela napas, berat. "Beri aku kesempatan untuk ngebuktiin kalau hanya kau yang aku sayangi!"
Ara hendak menarik tangannya yang di genggam tapi Rian menggenggamnya lebih erat "Aku tidak tahu kenapa kau melakukan itu, memalsukan kematianmu dan menghilang! Meskipun kau mengatakan ribuan kali kalau kau adalah Ara tapi dihatiku juga mengatakan lebih dari ribuan kali kalau kau adalah Ana."
Bibir hangat Rian mengecup punggung tangan Ara. Menangkupkan ke pipinya, lalu ke dadanya. Seakan menyuruh Ara mendengarkan degup jantungnya. Mendengar sendiri kata-kata yang terucap di dalam hatinya.
"Jangan berikan kesempatan itu untuk siapa pun, Ara."
Ara menelan ludah. Ekpresinya keras kepala mulai membayang. "Memangnya kenapa? Kau nggak berhak apa pun lagi pada ku!" sahutnya gemetar.
Rian membisu. Lama. Menatap Ara dengan mata membulat kaget.
"Kau.. Sungguh Ana!" Ujar Rian tertahan. Rasa bahagia di hatinya membuncah.
Sedangkan Ara mengigit bibir dengan kening berkerut bibirnya tidak bisa menahan ucapannya hingga akhirnya Rian mendengarkan pengakuannya sendiri tanpa di sadari. Mengakui kalau dia memang Ana.
"Itu bukan sesuatu yang penting! Karena kita hanya orang asing!" sahut Ara dengan suara serak.
"Secepat itu kau melupakan aku?" Ujar Rian kecewa. Sunyi sebentar.
"Iya, sama seperti secepat itu kau berpindah-pindah ke lain hati," tukas Ara, pelan.
Ara sudah tidak peduli lagi dengan identitasnya yang terbongkar. Dia hanya ingin memastikan perasaannya pada Rian dan Arka itu memang sesuatu yang berbeda. Meskipun Rian terkenal dengan ke playboy-an nya tapi hatinya seakan terisi dengan suka cita yang tidak bisa dia mengerti, dia juga merasa marah ketika Rian bersama dan dekat dengan cewek lain, dan bahagia saat Rian mengantarkan bekal makan siang dan makan malam untuknya. Berbeda dengan perasaannya saat bersama Arka meskipun bibirnya mengatakan menyukai, mencintai Arka tapi setiap kali Arka memintanya untuk menjadi kekasihnya dia terus saja menolak.