Chereads / Sebuah Kata Kerinduan / Chapter 34 - 34. Ada Apa dengan Rian

Chapter 34 - 34. Ada Apa dengan Rian

Sudah tiga bulan ini Rian istirahat untuk memulihkan kondisinya yang kurang sehat. Setelah Ana meninggal, selama lebih dari tiga tahun Rian langsung tenggelam dalam penyesalan. Banyak hal yang telah ia coba lakukan untuk merelakan hatinya melepas Ana pergi dengan damai.

Tapi, penyesalan dan ke kecewaan pada dirinya sendiri membuat semuanya menjadi semakin sulit. Belum lagi mengejar revisi skripsi dan ujian akhir, begitu banyak yang harus dikerjakan dan waktu istirahatnya tersita di tambah beban pikiran yang terus menekannya, hingga fisiknya menyerah. Dan berpikir jika mengakhiri hidupnya adalah pilihan terbaiknya. Tapi, tuhan sepertinya masih belum mau menerima jasadnya untuk di kubur.

Hana teman Ana adalah yang paling rajin menjenguknya. Pertemuan di rumah sakit membuatnya lebih akrab dengan Abe. Rian juga merasa senang dengan keberadaan Hana karena adanya gadis itu Abe mulai mau bicara lagi padanya. Tapi, saat Rena datang menjenguk Abe kembali mendiamkannya hanya sesekali melihatnya di kamar untuk mengantarkan makanan dan obat setelah itu ia lebih memilih sibuk di kafe.

Selama ini Rian memang tidak pernah menceritakan pada Abe bagaimana hubungannya dengan Arin yang bermasalah.

Rian menajamkan telinganya, menebak-nebak dalam hati.

'Ada apa sih di luar kamarnya? Berisik banget?'

Tapi karena demam dan pusing di kepalanya belum hilang, Rian tidak berminat untuk melihat siapa yang datang. Dia kembali memejamkan mata.

Terdengar suara langkah kaki berjalan ke kamar tidurnya bersamaan dengan suara pintu dibuka. Langkah itu berhenti tepat di samping tempat tidurnya. Lamat-lamat, menguar harum bedak beraroma jeruk dan chamomile, menyentuh indera penciuman.

Tangannya yang hangat menyentuh pipinya. Lembut.

Kening Rian seketika mengernyit. 'ya tuhan, aku pasti lagi mimpi' desisnya dalam hati dengan perasaan kacau. 'dia nggak mungkin ada di sini'.

Jemari halus itu berpindah menyentuh punggung tangannya. Menggenggamnya. Lama.

"Ara, kapan-kapan saja kita ke sini lagi. Kalo Kak Rian sudah bangun," Sebuah suara berbisik dengan nada rendah. Itu suara Hana.

'Ara? Siapa Ara? Kenapa aromanya begitu mirip dengan Ana? Dan kenapa Hana membawa Ara itu menjenguknya?'

Lagi-lagi Rian merasa kehilangan akal sehat,sukar mempercayai bahwa harapannya sekarang sangat besar , dia ingin yang berada di dekatnya adalah Ana, dan menggenggam tangannya juga Ana. Kenapa keberadaan Ara terasa begitu mirip dengan Ana.

Perlahan-lahan tangan itu melepas sentuhannya. Kemudian langkah kaki berbalik kembali ke pintu kamar. Seperti ada kekuatan yang mendadak menyadarkannya Rian membuka mata, menoleh ke pintu.

"Ana!" panggilnya serak.

Langkah kaki Ara terhenti. Tatapan mereka beradu.

"Hai.."sapa Ara, tersenyum ia tidak tahu harus bicara apa pada Rian karena ia datang sebagai Ara bukan Ana.

Lama, Rian memandanginya sebelum menjawab, "Hai juga!"

Dengan langkah tenang, Ara berjalan mendekatinya, duduk di sisi tempat tidur. Tersenyum "Salam kenal, Ara.. temannya Hana!"

Rian menatap tangan yang terulur padanya, kondisinya yang lemah membuat gerakannya sangat lambat ia menjabat uluran tangan Ara. Hati Rian tersentak jantungnya yang dulu layu sekarang seakan mulai bertunas lagi.

Rian masih menatap Ara yang tersenyum manis padanya, meskipun gadis itu berdandan sangat jelek tapi mata yang indah dan aktif itu sangat indah Rian bisa menebak jika di balik dandanan jelek itu ada sosok yang indah.

"Ehm.. ya? Aku Rian.. Terima kasih sudah datang menjengukku!" suara Rian serak.

Ara mengangguk dan menunjuk ke atas meja di samping tempat tidur "Ya, aku.. ini ada beberapa buah-buahan nanti di makan ya?"

Rian masih memandangi Ara, semua yang ada padanya sangat mirip dengan Ana kecuali dandannya yang sangat mencolok itu "Ya, terima kasih lagi,"

"Hm.." tatapan mereka kembali beradu "Kau.. bagaimana perasaanmu sekarang apakah merasa lebih baik?"

Rian menjawab "Baik"

"Lagi sakit gini kok dibilang baik?" Ara tanpa sadar mulai cerewet.

Rian agak tergagap. Ketika tangan hangat Ara meraba keningnya dengan punggung tangan.

"Masih panas," gumamnya datar. "Udah makan obat?"

Rian menggeleng pelan.

Sebelum Ara bertanya lagi, Abe datang mengantar nampan berisi makan siang. Ada susu, air putih, nasi hangat dan ayam goreng bumbu, telur ceplok, sayur bening..

"Kak Rian harus di bujuk supaya makannya banyak. Biar cepat sembuh," Ujar Abe.

Ara menatap nampan yang di pegang Abe lalu beralih menatap Rian yang terbaring pucat di tempat tidur, selang infus masih menancap di punggung tangan kirinya. Jujur saja Ara merasa benci melihat Rian dalam keadaan seperti sekarang. Tidak seharusnya ia menyiksa tubuhnya hingga parah seperti ini.

Perlahan Ara menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan dadanya yang sesak oleh kecewa. Ia mengambil nampan di tangan Abe. Tersenyum menenangkan "Jangan Khawatir! Kalau nggak nanti aku jewer kupingnya biar kapok," Sahut Ara.

Abe tersenyum dia menatap Ara penuh kerinduan dan syukur "Aku tinggal ke bawah, ya?"

Ara mengangguk. Sedangkan Hana , setelah memberi kode pada Ara, berjalan keluar, sengaja membiarkan mereka berdua di dalam.

Tanpa banyak bicara, Ara membantu Rian duduk bersandar di kepala tempat tidur dan meletakkan bantal di belakang punggungnya. Lalu membantu Rian makan dengan menyuapinnya sampai semua makanan itu habis.

Setelah itu Ara menyuruhnya berbaring kembali, menarik selimut hingga menutupi dadanya. Dan duduk diam di sisinya, di pinggir ranjang, sampai Rian jatuh tertidur. Semuanya tanpa percakapan sedikit pun.

Di bawah sudah menunggu Hana, dan Abe yang duduk santai di ruang samping yang memang di khususkan untuk tempat istirahat pelepas penat. Mereka duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu beralaskan jok warna krem. Kursi yang dulu ia lihat saat Rian memeluk Rena di depan kafe itu.

"Kak Rian sudah tidur?" Tanya Abe sambil menyeruput jus wortel dengan nikmat.

Ara yang baru duduk bergabung dengan raut lelah, mengangguk samar dan meminum segelas air putih untuk menenangkan perasaan. Ara menyandarkan pungungnya ke kursi, dari celah jendela kaca langit di luar sana mulai terang dan panas. Ia terpaku dalam duduknya.

"Apa yang terjadi? Aku masih tidak bisa mempercayai mataku sendiri saat ini?" Abe menatap Hana dan Ara silih berganti.

Hana menatap Ara dia ingin sahabatnya itu sendiri yang menjelaskan.

"Ya, bagaimana menurutmu?" Ara bertanya balik.

Abe bingung menatap Ara dari ujung kepala sampai ujung kaki menyelidik berharap menemukan petunjuk. Kekehan lembut keluar dari bibir tipis Ara ia berkata " Berhenti menatapku seperti itu!"

"Maaf," sahut Abe malu.

Ara menggeleng pelan "Tidak apa-apa! Tapi tolong rahasiakan selain keluargaku hanya kalian berdua yang tahu kalau aku masih hidup! Dan tolong biasakan memanggilku Ara! aku ingin bertanya padamu!" Tunjuk Ara pada Abe.

Abe menelan ludah gugup sikap tegas ini memang milik Ana dan itu selalu membuatnya takut karena itu pula ia menghormati dan menyayangi Ana melebihi ia menyayangi kakaknya sendiri.

"Katakan,"

Pandangan Ara jatuh pada tangga menuju lantai dua kemudian beralih menatap Abe "Bagaimana kondisinya bisa seperti itu?"

Abe menghela nafas. Kepalanya tertunduk menatap lantai keramik dan berujar "Sejak mendengar kabar Kak Ana meninggal dia mulai bersikap aneh. Awalnya aku berpikir dia berubah karena menyesal telah menyia-nyiakan Kak Ana. Tapi semakin hari semakin parah. Dia bertengkar dengan selingkuhan barunya, beberapa gadis yang pernah menjalin hubungan dengannya juga datang mengambil kesempatan untuk mendekatinya tapi semuanya di usir kemudian beberapa kali aku menemukan dia sering termenung, aku pikir dia mulai tenang tapi ternyata dia mencoba minum obat tidur. Sekali. dua kali aku masih bisa menghentikannya sampai beberapa bulan lalu dia mengunci diri di kamar dan saat aku membuka pintu kamarnya. Aku melihat dia telah memotong pergelangan tangannya beruntung luka itu tidak dalam dan dia masih bisa di tolong! Tapi kondisi mentalnya semakin memburuk beberapa kali aku juga membawanya untuk terapi ke psikiater tapi tidak ada hasil dan sekarang seperti yang di lihat! Untuk menambah cairan di tubuhnya ia masih harus di infus! Dan selama tiga tahun lebih, hari ini adalah makanan pertama yang ia habiskan,"