"Papa pulang dulu. Kalian akur-akur di sini. Cepat berikan kabar bahagia untuk papa," seloroh Oman.
"Iya, Pa." Julia menjawab dengan senyum malu-malu. Mereka belum pernah berhubungan badan. Jadi, bagaimana bisa mereka memberikan kabar bahagia itu? Namun, Julia tidak ingin menunjukkan hubungan mereka yang bermasalah.
Julia menyempatkan diri untuk membeli sesuatu di mall tadi siang. Ia membeli satu set perhiasan untuk ibunya. Tentunya, ia meminta izin terlebih dulu pada suaminya.
Ia menitipkan hadiah itu kepada Kimo. Sore itu, Oman dan Kimo kembali ke kampung dengan senyuman cerah. Mereka pikir, hubungan Julia dan Damian berjalan sesuai harapan mereka.
Kenyataannya, setelah mereka pergi, Julia segera merapikan barang-barang. Ia meminta tolong kepada Imas untuk membawakan barang-barang miliknya kembali ke kamar tamu. Damian hanya bisa melihat mereka bolak-balik mengangkat dan memindahkan baju serta barang-barang lainnya.
"Sudah semua, Nyonya. Apa masih ada lagi yang dibutuhkan, Nyonya?"
"Tidak, Bi. Terima kasih sudah membantu saya."
"Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu, saya kembali ke belakang," pamit Imas.
Julia merapikan baju-baju itu ke dalam lemari. Ia ingin mengisi waktu menjelang tidur dengan membersihkan kamar. Bahkan, ia juga membersihkan kamar mandi, padahal waktu sudah malam.
"Kamu baru pulang dari rumah sakit. Jangan sampai sakit lagi," ucap Damian cemas. Ia ingin menunjukkan pada Julia, bahwa ia peduli pada istrinya. Namun, wanita itu mengusirnya keluar dari kamar.
"Aku sakit atau tidak, bukan urusan Anda, Tuan. Aku tahu, aku hanya menumpang hidup di rumah ini. Tapi … biarkan aku memiliki tempat pribadi untukku sendiri."
Julia bicara dengan tubuh membelakangi suaminya. Hatinya sakit saat melihat wajah sang suami. Ia takut, keinginannya untuk dicintai oleh laki-laki itu kembali membara.
Ia tak sanggup menahan rasa sakit karena keinginan yang tidak akan bisa terwujud. 'Biarkan aku kembali kepada kenyataan. Salahku sendiri, kenapa harus mengikuti saran Aldo. Sekarang, aku telah jatuh cinta pada suamiku. Suami yang tidak akan pernah membalas perasaanku.'
"Aku minta maaf. Aku akan mengambil kunci kamar," ucap Damian. Ia pergi meninggalkan Julia dengan wajah muram. Sementara sang istri masih sibuk membersihkan kamar mandi.
"Hah …." Julia menghela napas. Ia duduk di atas kloset sambil menangis. Sebelah tangannya meremas bagian depan baju tidur yang dipakainya.
'Ini sangat sakit, Ma,' lirih hati Julia menahan rasa sakit yang mengoyak perasaannya.
"Nyonya! Saya simpan kuncinya di atas nakas."
"Iya, Bi."
Suara parau Julia, membuat Imas merasa iba. Ia sampai meneteskan air mata saat keluar dari kamar itu. Di depan pintu, Aldo tiba-tiba muncul, dan mengagetkan Imas.
"Bi!"
"Astaga! Den Aldo! Bibi hampir jatuh karena kaget," gerutu Imas sambil memukul bahu pemuda itu.
"Maaf, Bi. Bagaimana keadaan Julia?"
"Nyonya sepertinya sedang menangis di kamar mandi. Suaranya serak-serak begitu, saat menjawab Bibi tadi."
Imas pergi setelah menjawab pertanyaan Aldo. Pemuda itu tampak memikirkan sesuatu. Dengan langkah cepat, ia masuk ke kamar Julia.
Damian yang baru keluar dari kamar, melihat Aldo masuk ke kamar istrinya. Darahnya seolah mendidih. Cemburu, marah, telah menguasai pikiran laki-laki itu.
Ia berjalan menuju kamar Julia, lalu mendengar percakapan Aldo dan wanita itu. Kakinya seperti tertanam di lantai. Kaku, tak mampu melangkah masuk, dan hanya berdiri di depan pintu kamar yang tertutup.
"Antar aku ke rumah Sultan, Al. Kamu, bisa 'kan?"
"Ini sudah malam. Mungkin, kak Sultan sudah tidur. Besok siang saja, ya." Aldo menolak mengantar wanita itu. Ia memikirkan perasaan kakaknya, Damian, jika ia tahu istrinya pergi menemui laki-laki lain di malam hari.
"Janji, ya?"
"Janji. Besok, Al antar ke sana," jawab Aldo sambil mengacungkan dua jari tanda janjinya.
Aldo membuka pintu dan menyuruh Julia beristirahat. Namun, langkahnya terhenti saat melihat kakaknya berdiri di depan pintu. Julia tidak ingin melihat wajah suaminya.
Ia memalingkan wajah saat Damian memandang ke arahnya. Seperti ada ribuan semut yang menggerayangi hati laki-laki itu. Rahangnya mengeras, kedua tangan mengepal, dan matanya mengkilap.
"Apa kau tidak takut ada orang yang berbicara buruk tentang kalian?" Damian bertanya pada Aldo. Namun, matanya memandang wanita yang berdiri di belakang Aldo.
"Maaf, Kak. Al, ke kamar dulu," pamit pemuda itu.
Setelah Aldo berjalan melewatinya, ia melangkah mendekati istrinya. Jarak antara mereka sangat dekat, bahkan Damian bisa mencium harum aroma shampoo dari rambut coklat sang istri. Debar-debar di dadanya seperti alunan musik klasik romantis.
"Aku tidak peduli jika kau membenciku, tapi jangan menjalin hubungan dengan adikku! Apa kau mengerti?" Damian bertanya tepat di telinga istrinya.
"Dia memiliki sifat yang baik, tapi kau, sangat berbeda darinya, Tuan. Jika dulu, dia yang pertama pulang ke rumah ayahmu, mungkin dia …."
"Stop! Suka atau tidak, sekarang aku adalah suamimu. Jangan pernah berandai-andai untuk menjadi istri adikku!"
Damian pergi dengan emosi yang memuncak. Ia memukul dinding hingga tangannya mengeluarkan darah. Rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan rasa marah yang naik sampai ke ubun-ubun.
Julia terpaku melihat noda darah di dinding kamarnya. Air mata meluncur mulus di kedua pipinya. Ia seakan merasakan sakit di tangannya.
"Itu … sangat sakit 'kan? Dasar bodoh!" Julia menggumam pelan sambil menghapus sisa air mata di pipinya.
***
Damian pergi pagi-pagi sekali. Bahkan, langit pun masih gelap saat ia pergi dari rumah dengan mobil hitamnya. Saat Julia bangun untuk membantu Imas memasak, laki-laki itu sudah tidak ada di kamarnya.
"Al, jangan lupa ya!"
"Oke. Sesudah sarapan, kita berangkat."
*Semalam, Damian mendengar suara panggilan telepon dari ponsel. Ia yang sedang duduk di ruang keluarga, menajamkan pendengarannya. Ternyata suara ponsel itu berasal dari kamar istrinya.
Karena merasa aneh dengan suara ponsel itu, ia mencoba masuk ke kamar Julia. Ia pikir, wanita itu mengunci pintunya. Namun, Damian dapat masuk dengan mudah karena pintunya tidak dikunci.
Damian tidak membelikan ponsel untuk istrinya, juga tidak pernah mendengar Julia membeli ponsel. Saat ia melihat layar ponsel, matanya melebar sempurna. Terpampang nama Sultan di sana.
'Bahkan, aku yang menjadi suaminya saja tidak tahu nomor ponsel Julia. Kenapa Sultan bisa tahu nomornya?'
Ia mengambil ponsel itu dan menolak panggilan dari Sultan. Mungkin, wanita itu terlalu lelah, hingga tidak mendengar suara telepon. Dengan hati-hati, Damian membuka ponsel yang tidak memiliki kunci khusus.
Hanya ada satu nama di dalam kontak telepon. Damian semakin meradang. 'Brengsek! Laki-laki itu ingin mengejar istriku? Jangan harap aku akan diam saja.'*
Damian tidak dapat memejamkan mata setelah melihat ponsel Julia. Hingga, begitu pagi tiba, ia bergegas pergi. Ia ingin menemui Sultan sebelum Julia menemui laki-laki itu.
*BERSAMBUNG*