"Aku Febri. Tante masih ingatkan?"
Febri menggenggam tangan Seva erat, matanya memancarakan kilauan berharap Seva mengingatnya.
Seva memutar kembali ingatannya yang lalu, sekuat tenaga mengingat siapa pemuda yang ada di hadapannya, barang kali ia pernah bertemu dengan pemuda berseragam SMA itu di jalan. Tapi hasilnya nihil, Seva tidak mengingat apapun, terlalu banyak anak SMA yang ia temui di jalan.
"Kau punya keponakan?" Tanya Jan berbisik ke telina Seva dan sobatnya itu hanya menggeleng kepala dengan ekspresi yang aneh.
"Lalu mengapa bocah ini memanggilmu tante? Apa kau yakin bibimu itu tidak memiliki anak?" Tanya Jan berulang-ulang membuat Seva sedikit kesal.
"Sudah ku bilang bukan, aku tidak memliki keponakan dan bibiku juga tak memiliki seorang anak."
"Hey bocah, pangil aku paman!"
"Aku bukan bocah dan kanapa aku harus memanggilmu paman?"
"Karena aku suami tantemu ini" Ucap Jan sembrono dan dengan cekatan Seva menyikut perut Jan keras, memberi pelajaran akan tingkah bodoh orang di sampingnya.
"Aku kira tante tidak percaya dengan apa yang dinamakan cinta? Tapi mengapa kau memiliki suami?" Tanya Febri memasang ekspres heran
"Apa jangan-jangan dia membayar tante?" Tanya Febri lagi yang langsung ditepis oleh Seva.
"Jaga bicaramu! Dia miskin mana mungkin sanggup membayarku." balas Seva disusul sebuah protesan dari Jan.
"Lihat saja, jangan harap aku mau mentraktirmu lagi."
"Namamu Febri kan? Bisakah kau berhenti memanggilku tante? Karena aku bukan kaka dari ayah atau ibumu. Lagipula aku tidak mengenal mereka." pinta Seva lembut.
"Ya memang, tapi mengingat usiamu yang sudah 32 tahun, jadi aku hanya berusaha berprilaku sopan kepada orang yang lebih tua" balas Febri yang membuat Seva terkejut bukan main, tak menyangka disebut tua.
Jan yang sedari tadi berdiri disamping Seva kini tengah tertawa terbahak-bahak hingga berlinangan air mata. Seva kesal dengan jan, dalam hati dia terus mengutuk teman laknatnya tersebut, berharap Jan jomblo seumur hidup.
"Apa aku terlihat setua itu?"
"Tentu saja, karena kau telalu banyak bergadang dan marah-marah."
"Aku tidak bertanya kepadamu Jan!"
Seva mendengus kesal sambil menatap sinis ke arah Jan. Mulai sekarang Seva akan mengurang-ngurangi bergadang dan akan membeli semua poduk perawatan kulit. Biar saja dompet Jan yang menjadi korban, ini sebagai balasan karena Jan sudah berani menghinanya.
"Tidak, kau terlihat cantik dan muda" jawab Febri membuat Seva yang mendengarnya melirik kearah Jan dengan tatapan penuh rasa bangga.
"Kau dengar itu jan?"
"Oh lihat siapa yang terlena dengan pujian disini" balas Jan sinis sembari memutar bola matanya.
"Ngomong-ngomong ada perlu apa kau disini?" Tanya Jan kembali ke inti pembicaraan.
"Aku datang untuk menemui tante dan menyatakan cintaku padanya" Jawab Febri percaya diri tanpa rasa malu sedikitpun.
"Kau menyatakan cinta? Bocah ingusan sepertimu?"
"Sudah kubilang jangan panggil aku bocah!"
"Biar ku beri tau ya, dia itu tidak pernah sekalipun berpacaran atau bisa dibilang jomblo sejak lahir, jadi percuma saja kau menyatakan cinta kepadanya apa lagi bocah sepertimu" Jan berbisik keras kearah telinga Febri sengaja agar Seva mendengarnya. Gadis bersurai panjang itu tak segan untuk memukul Jan berulang kali, bahkan seribu kalipun ia tak masalah. Namun saat ini kepalanya sangat pening dan tak bergairah untuk menghabisi nyawa jan, jadi satu pukulan keras pun sudah cukup.
Seva lelah, rasanya dia ingin cepat-cepat kembali ke kosan dan meringkuk di kasurnya yang tidak begitu empuk tapi nyaman untuk ditiduri.
"Sudah lah, aku mau pulang." ucap Seva berlalu meninggalkan Jan dan Febri sambil menjinjing banyak paper bag di tangan.
"Tapi tante aku serius menyukai tante. Saat pertama kali bertemu aku langsung jatuh cinta dengan tante" ucap Febri sedikit berteriak menghentikan langah kaki Seva.
"Maaf sepertinya kau salah orang" balas Seva melanjutkan perjalanannya disusul Jan dibelakang.
"Kau yakin tidak mengenalnya?"
"Sudah kubilang berkali-kali bukan? Jika aku tidak mengenalinya"
"Tapi kasihan anak itu"
Seva menghentikan langkahnya lagi, menengok ke arah Febri yang wajahnya tertekuk murung di belakang. Seva menghela nafas panjang lalu kembali berjalan.
"Mau bagaimana lagi, aku tak bisa mengatakan 'ya' pada orang yang tidak aku kenal, itu sama saja dengan mempermainkan hatinya bukan?" balas Seva mengangkat kedua bahunya, dia pun tak tau harus berbuat apa dengan Febri.
*****
Perjalanan mereka tak lama karena indekos tempat Seva tinggal bersebelahan dengan kampus, hanya dengan berjalan memasuki sebuah gang sempit di samping kampus, sedikit terpencil di ujung gang, lalu mereka akan sampai.
indekos yang tidak terlalu besar namun layak huni. Terdapat dua lantai, lantai pertama untuk laki-laki dan lantai kedua untuk perempuan. Ya memang indekos Seva adalah indekos campuran, tapi tenang saja lantai satu dan dua di batasi dengan pagar di bagian tangga hingga penghuni laki-laki tidak dengan mudah memasukinya.
Jan tidak menyewa kamar kost seperti Seva, ia tinggal di dibandung, jadi dia lebih memilih untuk pulang pergi dari rumah walau harus menempuh perjalanan selama hampir satu jam.
Jan menatap handphone-nya, mengecek sebuah pesan dari temannya. Tertulis di layar sebuah ajakan untuk nongkrong di sebuah kafe sore ini. Ia pun mengajak Seva untuk turut serta, namun sobatnya tersebut malah menolak dan lebih memilih untuk tidur dan berencana mengerjakan tugas di malam harinya.
"Va, mau ikut nongkrong?"
"Tidak, aku mau tidur, nanti malam aku mau menyelesaikan tugas."
"Kan bisa nanti"
"Nanti kapan? Sudah aku mau masuk, berikan paper bag itu"
Jan menyerahkan tumpukan paper bag di tangannya dan langsung berpamitan pergi. bukan Jan tidak mau membantu membawakannya ke kamar Seva, tapi mengingat adanya larangan bahwa laki-laki tidak diperbolehkan untuk naik ke lantai dua. Jan tidak mau sampa di tegur lagi oleh ibu penjaga seperti yang lalu.
*****
Malam sudah larut, jam sudah menunjukkan pukul 10.00 waktu dimana lampu-lampu gedung dan kendaraan menyala menghiasi setiap sudut kota.
Jan berjalan menyusuri beberapa toko bersama beberapa teman-temannya sambari bercanda ria. Tangan Jan dimasukkan kedalam jaket karena angin malam yang berhembus terasa dingin.
Dari jarak yang tak begitu jauh, Jan menangkap sesosok yang ia kenal sedang berjalan sempoyongan menghampri sebuah mobil mewah yang terparkir di jalan. Sosok gadis yang ia kenal sedang di bopong oleh seorang pria tua berjas mahal.
Jan memicingkan matanya berusaha melihat wajah sang gadis dengan lebih jelas. Ia tau dan ia sangat mengenal gadis itu.
Jan berlari meninggalkan teman-temannya yang keheranan. Berlari menghampiri gadis berpakaian mini dress merah dengan tergesa-gesa, lalu menarik tangan ramping sang gadis sebelum dia berhasil masuk kedalam mobil.
"Seva!"
Yang dipanggil memutar pandangannya ke arah sumber suara dengan tatapan setengah sadar, memicingkan mata berusaha memfokuskan pandangannya yang berbayang.
"siapa?"