Gadis 14 tahun itu menyeberang dengan hati-hati di zebra cross. Sejuknya angin Kota Bandung ternyata tidak mampu menghilangkan peluh di tubuhnya sehabis berlari.
Di waktu sekarang, sudah banyak kendaraan yang berlalu. Tidak sedikit yang memperhatikannya saat menyeberang tadi.
Wajah sembab dan gurat kesal tidak luput dari gadis itu. Asal kalian tahu saja, dia sebenarnya sudah terlambat, tapi tetap berusaha untuk sampai ke sekolah.
Ya, setidaknya saat dia sampai, gerbang sekolah belum di tutup. Karena memang gerbang itu tidak pernah di tutup sebenarnya.
Jika terlambat? Tinggal masuk saja, tapi bagi anggota OSIS seperti gadis itu pasti harus menahan malu.
Ditambah ini pertama kalinya dia terlambat seperti ini, benar-benar baru seumur hidupnya.
"Eh, telat kamu, téh?"
Dia mengangguk malu-malu, "iya, pak Dedi, gak sengaja bangun kesiangan," katanya, menyalami punggung tangan satpam sekolah yang sudah dia kenal baik itu.
"Yaudah, cepet masuk, atuh, neng."
Dia menuruti ucapan satpam itu tentu saja, buru-buru melangkahkan kaki seray merapikan rambut yang sudah mulai berantakan.
"Bangun telat, masuk telat, kaki pegel. Ini gue mau sekolah, apa kena apes, sih?" Gadis itu menggerutu, meremas tali ranselnya, "aish ... sial banget!"
Memasuki koridor yang sudah sepi, hingga dapat terdengar samar-samar suara air terjun kecil di taman mini sekolah dan satu-dua siswa yang berjalan melewatinya---gadis itu pikir mungkin mereka ingin mengambil buku absen di ruang piket.
Saat berhasil menemukan pintu kelas berwarna abu-abu---kelasnya---dia berlari kecil. Ragu-ragu, dia membukanya.
Beberapa teman sekelasnya tertarik perhatian karena hal tersebut, beberapa hanya menoleh lalu melanjutkan kembali aktivitasnya.
Bahunya merosot lega. Senangnya meletup-letup, mengingat kebaikan-kebaikan yang dia lakukan, sehingga Tuhan masih berpihak padanya. Belum ada guru ternyata.
Dengan senyum lebar, gadis itu berjalan dengan langkah pelan.
"Anjir, Kallien, gue kira gak masuk lo hari ini."
Kallien mendudukkan diri dibangkunya. Wajahnya tiba-tiba ditangkup, "ck, apa, sih?" tanggapnya kesal.
"Mata lo kenapa bengkak, gini, Kal?
"Abis nangis gue."
"Kenapa, coba?" tanya Firly.
Dia menunduk, menggaruk kepala, "gara-gara telat bangun, sama ke sini."
"Pfft---" sontak saja Devin menyemburkan tawa, mendorong wajah Kallien lalu tertawa lebih keras.
Tawa nya itu menggelegar, bercampur dengan suara-suara berisik lainnya yang dibuat teman sekelas Kallien.
"Sia-sia lo nangis, pelajaran aja belum di mulai pas lo nyampe, goblok," Firly menggeleng, ikut terkekeh sinis, lalu menampar kepala Devin untuk berhenti tertawa, berisik.
Firly Septiastira itu judes dan bermulut tajam. Tapi menurut Kallien kadang omongan gadis itu ada saja yang bermanfaat. Jika ingin melihat Firly not being Firly, bahas saja soal cowok tampan atau tidak, pertemukan dengannya.
Ciri khas Firly itu selalu pakai masker, masker yang berwarna hijau tosca yang biasa dijual di minimarket isi 12. Kallien punya alasan tidak masuk akalnya, karena cewek-cewek di SMP Negeri 14 ini semua tukang gosip, jadi harus pakai masker, biar tidak ketularan, katanya.
"Kallien, Kallien, kasian banget gue sama lo," Devin mengelus bekas tamparan Firly setelah tawanya reda.
Kalau Devine Safira, mungkin bisa dibilang badutnya 'circle' mereka. Menurut Kallien, Devin itu absurd, tidak mudah dekat dengan orang lain, dan terkadang suka canggung. Devin juga orang yang tahu diri dan itu yang Kallien suka.
Ciri khas Devin itu poni rambutnya, Devin tidak bisa hidup tanpa poni, katanya. Karena itu untuk menutupi keningnya yang terlalu 'maju'.
"Eh, gue nangis wajar, ya! Gak pernah banget telat kayak gini."
"Iya, deh, yang gak pernah telat, nangis lagi sono, kaos kaki lo pendek," Devin lagi-lagi menahan tawa, takut digampar Firly yang sedang baca novel.
Praktis, Kallien menarik rok biru panjangnya, memperlihatkan kaos kaki putih yang hanya berukuran satu jari dari mata kaki. Dia meringis, tindakan 'kriminalnya' ini pasti masuk buku OSIS, sial!
"Haaaaaaaaa ... bundaaaaa!"
*****
'KRING!'
Bel istirahat berbunyi, bak suara merdu bagi para penghuni sekolah terutama untuk siswa-siswinya.
"Ayo, ges, kita go to the canteen!"
Kallien mendelik, sedangkan Firly tidak menggubris apa-apa.
"Udahan aja, napa. Kalian 'tuh, gak masuk akal, waktu istirahat malah ngerjain tugas, giliran udah masuk, ngeluh, istirahatnya cuma bentar. Padahal siapa yang buang-buang waktu?" Devin mulai meracau.
"Ck, lo mending diem, gue ngerjain cepet kayak gini pada akhirnya lo minta buat disalin ke catatan lo!" Firly menarik maskernya ke bawah dagu.
Devin memutar bola mata, tidak terima, ucapan Firly membuatnya malas karena itu adalah fakta.
*****
Mereka berjalan beriringan, melalui koridor yang cukup penuh hingga sedikit menghambat langkah mereka ke kantin.
Kallien menghela napas saat rangkulan tangan Devin padanya mengerat, gadis absurd itu tengah berjuang dari senggolan tubuh siswa lainnya.
"Ih, jangan dorong-dorong, woy!" tegurnya yang tentu tidak digubris.
Sesampainya di kantin, mereka berpencar sebentar mengambil apa yang mereka mau, lalu lagi-lagi harus mengantri untuk membayar.
Ya, beginilah SMP 14 saat waktu istirahat, para siswa nya selalu membudayakan antri walau kadang beberapa ada yang 'curang'.
Kallien berdiri canggung di belakang kakak kelas, yang tingginya-terlalu tinggi untuk anak kelas 9, pasti anak basket. Nampak Kallien lihat cowok itu mengeluarkan dompet dan-wow, uang nya banyak juga. Ah, Kallien juga banyak, sih.
"Ini aja?" Kallien tersenyum pada ibu kantin saat giliran nya. Kallien sebenarnya tidak tahu siapa namanya, tapi dia kenal baik dengan ibu yang selalu mengenakan syar'i ini, "iya, bu."
Ketiga nya bertemu lagi dan memutuskan untuk makan di pinggir lapangan basket-disitu memang ada tempat duduk.
"Kallien ikut LTUB, kan?" tanya Firly.
"Kalo soal ikut, kan, emang satu kelas ikut, Fir."
"Nggak, maksudnya jadi petugas, gak?" koreksinya.
"Emang lo jadi petugas?"
"Jadi, pengibar bendera, Devin juga, butuh satu lagi, lo aja lah, ya?"
"Terserah," Kallien menggedikkan bahu.
"Oke."
LTUB merupakan singkatan dari 'Lomba Tata Upacara Bendera'.
Dilakukan satu kali dalam satu tahun yang dikhususkan untuk kelas 7 dan 8. Sedangkan yang melatih mereka menjelang lomba adalah siswa-siswi kelas 9 yang tak lain dan tak bukan adalah alumni OSIS tahun lalu di sekolah tersebut.
Terakhir, lomba tersebut dilakukan seperti upacara pada umumnya.
"Lo tau pelatihnya, siapa?" sekarang Devin yang bertanya.
"Tau, untuk kelas kita, sih, dapet kak Rizky sama kak Dhyta."
"Kak Rizky? Kak Rizky yang ketos tahun lalu?"
"Iya, Firly, kak Rizky yang lo suka."
"Heh, jangan buka kartu!" Firly mengkode Kallien dengan melirik Devin. Kallien menepuk jidat, "eh, maap."
"Wah, cerita nya masa sama Kallien doang, sih, Fir? Jadi sahabat lo cuma si Kallien doang, gitu?" Devin mendramatisir keadaan.
"Kalo cerita di lo mah, yang ada satu sekolah tau semua, anjir!" Firly mendengus, "ah, Kallien sialan, si Devin jadi tau, kan!"
"Kan gak sengaja, lo sendiri yang mancing, lagian!" Kallien membela diri.
"Awas aja lo kalo kak Rizky tau! Gak usah jadi temen gue!"
Devin meneguk salivanya, Firly kalau mengancam tidak pernah main-main, memang.