Setelah mempoles wajah dengan sunscreen, Kallien melangkah turun ke bawah untuk mengisi perut.
"Pagi, bunda!"
"Pagi juga kesayangan, bunda!" Erina yang kebetulan sudah menyelesaikan masakannya, berjalan dan memberikan sepiring nasi goreng itu pada Kallien.
Kallien tersenyum, masakan Erina memang tidak pernah mengecewakan, baik dari segi penampilan, apalagi rasa, "oh, ya, Bun, Ayah sama kak Nasywa mana?" Dia bertanya sebelum memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut.
"Ayah ada di kamar, gak enak badan jadi makanya bunda buatin bubur," Erina mematikan kompor, "kalo kakak kamu itu lagi jogging sama Revo di Gazibu."
Kallien mangut-mangut, segera menghabiskan sarapannya.
"Kamu pulangnya sore lagi?"
"Iya, Kallien ada acara OSIS, Bun."
Sang bunda mengangguk, "pulangnya sama cowok itu lagi?"
Kallien yang sedang meminum susunya, tersedak, "bunda liat?"
"Iyalah, bunda, kan, ngintip di jendela kemarin," Erina tersenyum, "siapa?"
"Kak Alvin, temen OSIS doang, kok, Bun," Kallien berdiri dari duduknya, "bunda jangan kasih tau ayah, atuh, ya?"
Erina mengernyit, "emang kenapa?"
"Kallien takut, ayah kalo liat aku sama cowok bisa berubah jadi Hulk, ngeselin banget."
"Seharusnya kamu seneng ayah kayak gitu, kamu, kan, perempuan, wajar, itu artinya ayah sayang sama kamu, Kallien."
"Ya, tapi---" Erina memeluk anaknya, "iya-iya, bunda gak kasih tau, kok, udah sana pergi."
Kallien mencium punggung tangan Erina, "aku pulang sama Devin, entar."
"Hm, iya."
Gadis itu berjalan menuju ruang tamu dan keluar dari rumah, saat tengah sibuk memakai sepatu, Kallien di kejutkan dengan suara klakson motor, "eh, kak Revo!"
"Hey, mau kakak anter?" tawar Revo saat Nasywa sudah turun dari motornya.
"Udah sana, gih, keburu telat," Nasywa menepuk pundak adiknya lalu masuk ke dalam rumah.
"Oke, deh!"
*****
Saat ini Kallien berada di ruang ganti. Mengenakan almamater OSIS nya yang berwarna maroon.
Setelah dirasa rapi, Kallien berjalan keluar bersama teman dekatnya---OSIS di bidang kesenian---Selin Ranata.
"Lo sekarang mau ke mana, Kal?"
"I wanna go to the library ambil kertas absen, and then, langsung ke kelasnya buat ngondisiin," Kallien tersenyum.
"Oh, gue ikut, deh."
"Kuy!"
"Eh, Kallien!"
Langkah keduanya terhenti saat Kallien di panggil seseorang. Kallien menoleh untuk memastikan, dan ternyata itu Dio.
Dio memberikan kertas selebaran padanya, "ini, jadwal lomba kelas 7B, siapa tau butuh," katanya, ngos-ngosan, "capek banget, anjir! Lari-lari ke tempat fotocopy terus balik lagi."
Kallien tersenyum dan menepuk pundak ketua OSIS itu, "lo udah bekerja keras, great job!" memberi acungan jempol, "eh, minta satu lagi dong, buat kak Alvin."
Tentu Dio memberikannya, "oh, iya, Dio."
"Apa?"
"Thanks, ya, lo emang ketos terbaik, gak salah emang pilih lo," Kallien melengkungkan bibir lebih lebar.
Dio yang tahu arti ucapan terima kasih itu hanya mengangguk, dia memang tahu Kallien suka dengan Alvin, dan melihat kesempatan yang ada, tidak ada salahnya untuk diberikan pada sahabat baiknya itu.
"Udah sana, kerja lagi lo pada!"
"Yo, duluan, Dio!" kata Selin, pamit.
"Hm."
Sesampainya di tempat tujuan, kedua gadis itu mengambil apa yang mereka butuhkan lalu keluar setelah pamit pada penjaga ruangan tersebut.
"Sel, udah bel masuk gue duluan, ya!" Mereka saling ber-tos, "thanks, udah nemenin, fighting!" Kallien berlari menjauh.
"Oh, oke, sama-sama!" balas Selin. Melambaikan tangan pada Kallien.
*****
"K-kak Alvin?"
Kallien merasa jantungnya akan copot saat Alvin membalikkan tubuh.
"Oh, Kallien?" Alvin menepuk jidat, "lupa, lo kan, penanggung jawab kelas ini, ya?"
Alvin mengulurkan tangannya, mempersilahkan Kallien masuk, "silahkan masuk, partner gue yang terhormat."
Sial, perut Kallien jadi mulas melihat senyum itu lagi, "terima kasih, partner Alvin," lalu terkekeh.
Kallien memberikan 2 kertas yang tadi dia ambil di perpustakaan pada Alvin, "ini jadwal mereka lomba, sama ini, kakak absen dulu siswanya pake kertas ini, kalo udah, kasih ke gue lagi ya, kak?"
"Oke," Alvin memperhatikan kertas absen itu, "terus, sekarang lo mau ke mana?"
"Oh? Gue keluar bentar dulu," memperbaiki earphone yang terhubung pada aplikasi walkie-talkie di ponselnya, "baru aja disuruh ke lapangan sama Dio, kak."
"Kirain mau ke hati gue."
Kallien setengah mati mengontrol detak jantungnya, dia tertawa, membalas lelucon yang menurutnya serius itu, "badan besar gini mana cukup masuk ke hati lo, kak, ngawur!"
Alvin ikut tertawa, "semangat kerja, partner!"
"Makasi, kak Alvin."
Kallien buru-buru keluar dari kelas, tidak baik berdekatan dengan orang yang membuat jantungnya terus berdetak kencang.
*****
Entah sudah gerutuan yang keberapa kali, Kallien tidak lelah mengucap.
Melihat jam yang bertengger di tangan; menunjukkan pukul 16.15, sekolahnya yang tadi ramai pun sekarang menjadi sunyi.
Kallien menyesal tidak memberitahu lebih awal pada Devin untuk pulang bersama.
Ya, dia terlalu sibuk, sampai-sampai seharian tidak bertemu kedua sahabatnya, bahkan dia tidak masuk kelas---tasnya dia taruh di ruang OSIS.
Dan, sekarang, dia dilanda bingung, sudah sore, Kallien ingin pulang sendiri tapi mengingat kejadian hampir dilecehkan itu terjadi di jam yang sama dengan saat ini. Dia takut pria-pria itu kembali menganggunya.
Namun, jika seperti itu, lantas dia pulang sama siapa?
"Ekhem!"
Mendengar suara deheman, kontan dia menengok kebelakang dan mendapati--- "hai!"
"Oh, kak Malvin?"
"Lo gak pulang?"
"Belum, kak. Gue ... mah pulang sama temen tapi temennya pulang duluan," Menatap iris mata itu.
"Pulang sama gue aja kalo, gitu." ucapnya ramah membua Kallien menjadi kikuk.
"G-gak usah, kak, takut ngerepotin."
"Tanpa lo repotin orang, lo gak akan bisa pulang sampai kapanpun," Malvin memutar bola mata, "nebeng sama temen lo artinya lo repotin dia juga."
Lalu berjalan melewati Kallien begitu saja, Kallien memperhatikan kakak kelasnya itu yang mengambil motor, lalu menjalankannya menuju posisinya.
"Naik, gih."
Sejenak Kallien menghela napas, memainkan kukunya.
"Kemarin aja lo gak ragu, tuh, nebeng sama Alvin."
Kallien melotot, "kakak tau dari mana?"
Malvin berdecak, "lama, naik aja, Kallienara."
Baiklah, berusaha tidak peduli dengan pikirannya yang berkecamuk, Kallien naik ke motor itu.
"Udah?" tanya cowok itu memastikan Amanda sudah nyaman duduk atau belum.
"Udah, kak," kemudian, motor itu melaju dengan kecepatan normal.
Hening, tak ada seorang dari mereka yang berbicara. Hanya suara deru motor yang mendominasi.
Kallien turun dengan hati-hati dari motor setelah sampai depan rumahnya, "makasi, ya, kak."
"Sama-sama, Kallien."
Setelah memastikan motor cowok itu menjauh, Kallien memasuki rumahnya. Sepi, tidak ada tanda-tanda orang tuanya dan Nasywa.
Dia langsung melenggang pergi menuju kamar, melempar tasnya asal lalu ngacir ke kamar mandi.
Setelah selesai menyegarkan diri kembali, Kallien merebahkan tubuhnya di kasur.
"Gila, gue dua kali di bonceng cogan, anjir!"
Kallien pusing, tidak pernah dia tahu hal itu akan terjadi.