"Ih, ke Kantin nya jadi gak ini, tèh?" Devin menenteng novel Tere Liye yang baru kemarin dia beli. Gadis itu merengek kesal.
"Ck, gak sabaran banget, lo!" Firly berdiri dari bangku nya. Di susul Kallien yang menghela napas.
Ketiga gadis itu berjalan keluar menuju kantin.
Namun, saat melewati lapangan basket, pandangan mereka tertuju pada 2 orang berbeda jenis yang terlihat saling melempar canda.
Kontan, Firly dan Devin menoleh pandang pada Kallien.
"Kenapa?"
"Itu, ada kak Alvin."
"Emang, males gue liatnya."
Kallien berjalan mendahului mereka, dan berjalan di koridor, tempat yang sama dengan 2 orang yang baru saja jadian kemarin itu.
Ya, 'masih hangat-hangat nya', jika disamakan dengan gorengan pinggir jalan.
"Eh, partner?"
Kallien tersentak, sial, padahal dia sudah mengira Alvin tidak akan menyapanya, ya, karena mereka berdua sudah tidak ada urusan sejak lomba tata upacara kemarin selesai.
Wajar Kallien terkejut, Alvin walaupun ramah, cowok itu biasa hanya sering berinteraksi pada adik kelas yang 'terkenal' di sekolah ini. Dan Kallien bukan termasuk salah satu dari mereka.
Jadi, wajar juga 'kan? Kalau Kallien senang?
Gadis itu membalas sapaan Alvin dengan tersenyum, tapi, walaupun seperti itu, dia harus pergi cepat-cepat menyingkir dari sekitar mereka.
"Mau kemana? Sini, deh!" ajak cowok itu yang langsung mendapatkan kernyitan heran Marsha.
"Oh ... kenapa, kak?"
Firly menarik Devin dan berjalan cepat meninggalkan Kallien sendiri. Kallien diam-diam berdecak.
Lihat saja nanti kedua gadis laknat itu!
"Gue mau kenalin pacar gue, namanya Marsha."
Mati-matian Kallien menahan kesal yang sudah bercampur dengan rasa cemburu di hatinya, berusaha melakukan pencitraan sebaik mungkin dengan memasang senyum manis.
"Udah tau, kak."
"Oh?"
Kallien melirik reaksi Marsha saat dia berhasil memberi Alvin satu pukulan di lengan, "si kakak pura-pura gak tau atau lupa? Kak Alvin 'kan anak pemes di sini."
"Siapa, sih, yang yang gak tau kak Marsha? Anak jurnal yang latteringnya bagus banget, mantan sekretaris OSIS, sahabat baik yang sekarang jadi pacar kesayangan kak Alvin, mantap bangetlah!" Kalimat puji-pujian itu tidak lupa dia tambahkan tawa di akhirnya.
Marsha tersenyum masam, melirik Alvin yang juga melakukan hal yang sama. Kallien tidak tahu saja, suasana menjadi canggung karenanya.
Kallien meremat rok biru nya, beriringan dengan umpatan-umpatan yang dia rapalkan dalam hati, "eh, kak Marsha katanya suka banget sama NCT, ya? Gue lumayan suka Jeno, tuh."
"Oh? Lo suka sama yang kalem-kalem berarti, ya?"
"Ngga, gue sukanya yang kayak kak Alvin."
*****
Semilir angin menerpa wajah Kallien yang nampak kusut. Sudah kesal dengan Alvin dan Marsha, dia juga kesal dengan dirinya sendiri.
Apa-apaan lelucon itu dia keluarkan dari mulutnya?
Ah, tidak, perasaan dan ungkapannya tadi itu bukan lelucon, walau berhasil dia pelesetkan sehingga kedua kakak kelasnya itu hanya bisa tertawa canggung.
Dasar, Kallien bodoh!
Kallien tidak menyusul Firly dan Devin ke kantin, dia memilih menenangkan diri di sini. Dalam green house.
Tersedia bangku, di depannya ada pagar berjaring yang mengarah langsung ke lapangan basket---yang banyak kakak kelas pakai untuk berkegiatan atau sekedar bermain-main.
Kallien sebenarnya jarang ke sini, karena, lagipula memang jarang orang-orang sekolah ke sini selain guru, penjaga sekolah, atau duta kebersihan yang mampir untuk memilah sampah botol plastik dan menyiram tanaman.
Tapi, Kallien butuh ketenangan, dan bisa dia dapatkan di sini, ditemani wangi-wangi dari makhluk hidup berwarna hijau itu.
Gadis itu bermonolog, "kalo tau dia mau nembak itu kakel, gue gak bakalan ngarep lebih apalagi setuju buat jadi partner dia kemarin!"
Ya, lebih baik memang begitu. Lebih baik Amanda yang tahu segala nya tentang Alvin. Dan biarkan Alvin yang hanya tahu dia seorang anggota OSIS saja. Tanpa perlu tahu namanya.
Biarkan dia melihat senyum itu dari jauh saja. Karena, jika dari dekat itu menyakitkan. Apalagi jika senyum itu bukan karena dia.
Kallien terus berdecak. Sesekali terlihat memukul kepala nya.
"Seharusnya gue 'tuh move on, bukan malah deketin dia, ah, bego!"
"Tuhan ngirim orang-orang untuk masuk ke hidup lo dengan banyak tujuan---"
'Deg!'
Gadis itu terlonjak.
Menoleh ke kanan tepat pada sumber suara. Dan ya, seorang cowok berdiri tepat di sampingnya dengan kedua tangan berada dalam saku celana.
"---salah satu nya termasuk buat nyakitin lo."
Kallien tersenyum masam mendengarnya.
"Kallienara Zemira, kelas 8G, anak bahasa di OSIS, bener 'kan?"
"Kak Malvin, kelas 9, anak eskul badminton, bener 'kan?"
Malvin tertawa, "kita belum kenalan baik, mengulurkan tangannya, "Malvin Gewarld."
Kallien membalas, "kakak udah tau nama gue, hehe ...."
Malvin tertawa lagi, lalu, setelahnya membiarkan keheningan menyelimuti mereka, ah, dia dudsh di bangku yang sama dengan Kallien
Memperhatikan teman sekelasnya yang sibuk bermain basket di lapangan. Dia tidak ikut karena saat atensi nya mengarah pada Kallien, dia lebih tertarik untuk mengikuti kata hati nya.
"Lo ... ada masalah, ya, sama Alvin?"
Kallien bungkam. Wajar Malvin tahu, kan, Alvin adalah sepupunya---yang pasti tidak lepas dari pantauannya---, Kallien terlihat tersenyum lalu menunduk. Menatap sepatu hitam yang membaluti kedua kakinya.
"Wanna tell me? Siapa tau gue bisa bantu," ucap Malvin. Dengan senyuman.
"Ya ... mungkin cuma gue yang anggap ada masalah sama dia," mengangkat kedua bahu.
"Masalah ...?"
Kallien tersenyum, "perasaan."
Malvin mengangguk mengerti. Tidak ingin bertanya lagi. Sadar jika itu adalah sebuah privasi. Sebenarnya.
"Ih, rambut gue berantakan, kak!" Amanda protes saat Malvin secara tiba-tiba mengacak surai nya.
"Biarin. Lagian lo lucu, sih."
"Dari lahir, sih!"
"Iya lucu, kayak Pennywise."
Gadis itu sontak melayangkan pukulan keras pada lengan Malvin. "Gausah ngadi-ngadi deh, kak!"
"Gue gak bohong. Lo tampang nya aja lucu, tapi aslinya monster, mukul pake tangan aja kayak mukul pake koper nya Harry Potter. Sama, kan?"
"Mending lo diem deh, kak. Sebelum gue panggil Elsa buat jadiin lo patung hiasan depan gerbang!"
Malvin tergelak. Konyol!
"Emang lo punya nomer telpon nya?"
"ELSAAAAAA!"
Tawa kedua nya menggelegar di taman jarang dikunjung itu.
"Gue ke kelas dulu kalo gitu, mau bareng?" Malvin berdiri dari duduk.
"Gak, deh. Masih ada sepuluh menit lagi istirahat nya."
Malvin membalas dengan anggukan, segera berdiri berniat beranjak dari tempat.
Saat baru satu langkah ia berjalan---
"Tunggu," ia bergumam yang masih terdengar oleh Amanda.
"Kenapa, kak?"
"Kal?"
"Iya, kak?"
Malvin menghembuskan napas, lalu melengkungkan bibirnya hingga menunjukkan lesung---yang Kallien baru tahu.
"Bilang kalo hati lo udah kosong, biar gue yang isi."
*****
"KALLIENNN!!"
Kallien meringis karena teriakan itu.
"Woy! Itu suara bisa kecilin dikit gak, syaiton?
"Gak bisa! Udah begini adanya! Kenapa? Iri? Bilang bos! Pa pale pa pale!" Devin bergoyang ala tiktok.
"Gak waras," gumaman Firly masih dapat dijangkau telinga Devin.
"Lo mau-maunya aja lagi temenan sama orang yang gak waras!"
"Lo bukan temen gue."
"Yaudah, gelut, yuk?"
Firly berdecak kesal saat Devin melepas maskernya, "balikin Devin sialan!" Tidak, Devin tidak se-penurut itu, hingga akhirnya masker itu masuk ke dalam tempat sampah.
Kurang ajar, Devin, "beliin yang baru!"
"Lo kenapa pake masker mulu, sih, anjir? Muka gak buluk-buluk amat ngapain di tutupin?"
"Bukan urusan lo! Pulang, beliin gue yang baru."
"Eh, kata Tuhan lo, gak baik kalo di nasehatin bilangnya kayak gitu, dosa!"
Kallien yang sedari tadi menyimak, mengernyit, "lo tau dari mana?"
Devin menggaruk pipi, "ehe ... kemaren iseng baca bukunya om gue, apa itu, namanya? Ha--had ...." Devin mencoba mengingat judul yang tertera di buku tipis berwarna hijau punya pamannya yang iseng dia baca kemarin.
"Oh, buku hadist?"
"Bah, bener, selamat, anda mendapatkan Taehyung BTS, jangan lupa dipotong pajak," Devin terlihat berbisik, "pajaknya, poto sixpack nya aja," lalu tertawa sendiri.
Firly memutar bola mata malas, "lo tadi abis dari mana? Kok, gak ke kantin?"
"Oh, gue tadi ...," Kallien tiba-tiba mesem-mesem sendiri, "biar gue yang isi," lalu bermonolog dan menyembunyikan wajah di balik telapak tangan, menahan pekikan.
Devin---dengan iseng---menarik tali dalaman Kallien, "heh, ngisi apaan lo? Air galon?"
Firly tidak habis pikir dengan keisengan Devin pada Kallien, suaranya itu, lho, anak-anak cowok jadi mengalihkan pandangan ke arah mereka---karena tahu itu suara apa, "dasar, bisa-bisanya gue punya temen gak waras semua."
Kallien mengambil novel Firly dan melayangkannya pada Devin, "anjir, sakit Devin! Gabut banget gue sampe ngisi air galon!"
"Ya, siapa tau!"
"Lo ngapa, sih?!"
Firly bertanya dengan nada yang kesal, merebut kembali novel 500 halamannya dari Kallien.
"Gue abis ke green house, tadi,"
"Ngapain?"
"Suntik Vaksin! Lo ada masalah apa, sih?" Kallien ikut kesal. Mengapa orang-orang selalu menanyakan pertanyaan retoris?
Devin menggaruk kepala, "ya, kali aja lo beneran suntik Vaksin disana,"
"BEGO!"
"Ah, udahlah!"
Mereka menyerah. Sudah pasrah dengan spesies seperti Devin.