"Kallien bangun, eh, sekolah!"
Erina---sang bunda---menggoyangkan tubuh Kallien yang sedari tadi tidak menimbulkan tanda-tanda akan bangun.
"Lima menit lagi, Bun. Masih ngantuk!"
Menarik selimut berwarna peach menutupi wajah. Bahkan rambutnya yang diikat rapi kemarin, sudah acak-acakan lupa dilepas.
Erina menggeram lirih, 10 menit dia berusaha, anak bungsunya malah membalas dengan santai seperti itu, "KALLIENARA BANGUN, GAK!? UDAH JAM ENAM LEWAT!" Erina tidak bisa sabar lagi.
Seperti ditarik sesuatu, Kallien refleks terbangun, "ALLAHUAKBAR, DEMI APA?!" langsung melesat masuk ke kamar mandi.
Lagi-lagi dia merutuk, mengingat akan terlambat untuk kedua kali.
Memikirkan saja sudah membuat dia pusing. Hah, sial!
Apakah dia harus menangis lagi hari ini?
*****
Setelah menuruni beberapa anak tangga, Kallien langsung menuju dapur.
Menemukan Rizky---sang ayah---yang sedang membaca koran pagi dengan secangkir kopi di atas meja makan, Erina yang sedang memasak, juga Nasywa yang memainkan ponsel.
"Lho, dek? Tumben udah siap jam segini. Biasanya juga jam setengah lima," Rizky terheran akan kedatangan Kallien dengan raut panik.
Disisi lain, Erina menahan tawa.
Kallien mengernyit bingung, memang sekarang pukul berapa?
Diliriknya jam dinding yang menggantung di atas kulkas.
Sial!
"BUNDAAAA! TEGA BANGET, IH!" jam dinding ternyata masih menunjukkan pukul 05.10.
Tawa Erina langsung memenuhi dapur, "siapa suruh di bangunin susah banget."
"Ya, tapi jangan di bohongin juga kali, Bun!" tahulah! Kallien kesal, kemudian duduk di samping Nasywa yang terkekeh.
"Maaf, atuh, Dek," Erina menghampiri Kallien dengan sepiring roti tawar di atasnya.
Mengelus surainya, namun baru berapa waktu, di tepis begitu saja. Erina menghela napas, "yaudah, habisin rotinya."
Rizky berdeham memecah suasana canggung, "mau di anterin ayah, atau jalan kaki?"
Kallien tidak merespon---sibuk mengunyah dengan wajah tertekuk.
Nasywa berdecak, "kalo di tanya, tuh, di jawab, Dek! Gak sopan, banget."
"Di anter ayah."
*****
Tawa Firly dan Devin terdengar saat Kallien berhasil duduk setelah membeli minuman.
"MV Harry kemarin bagus banget, anjir, gak kuat!"
"Emang, oh, begonya gue, baru tau ternyata Harry pernah main film," Firly melirik Kallien lalu menyeruput Nescafenya.
"Anjir? Beneran? Judulnya apa, dong?" Devin terlihat menahan suara antusiasnya agar tidak begitu keras.
Kallien hanya diam menyimak, sudah tidak pernah mengikuti berita tentang Harry Styles semenjak One Direction bubar. Yang dia tahu, hanya rumor tidak pasti bahwa mereka akan comeback.
Berbeda dengan kedua sahabatnya, yang memang tidak pernah kudet soal artis-artis hollywood terutama One Direction, Little Mix, ah, bahkan, berita-berita keluarga kerajaan inggris.
Saat sibuk menikmati makan siangnya, Kallien tertarik dengan suara sendok jatuh di meja sebelah. Yang ternyata ... itu meja Alvin.
Kallien mendengus saat tahu yang menjatuhkan sendok itu adalah---katanya---sahabat Alvin, Marsha. Lagi-lagi dia harus melihat dua manusia itu bersama, dia kesal, tidak di sekolah, di instastory, di mana-mana Marsha pasti selalu ada bersama Alvin.
Dan juga, dia kesal mengapa hanya bisa melihat mereka dari jauh dan tidak bisa apa-apa.
"Udah kali, liatinnya, kasian hati lo berapa kali gue denger ada suara retak-retak, gitu," Devin menyindir.
"Wajar, sih, manusia kadang gak sadar suka nyakitin diri sendiri," Firly menambah.
Membuat Kallien berdecak kesal, "diem!"
*****
"I just wanna see ... i just wanna see how, beautiful you are ... you know that i see it, i know you're a star, when you go i follow, no matter how far ... if life is a movie, then you're the best part," cowok itu mengakhiri nyanyian dengan gitar yang masih di pegang.
Dia Zidan, kakak kelas Kallien yang menyukai salah satu sahabatnya---Firly.
Mereka sedari tadi sedang latihan persiapan LTUB yang tinggal menghitung hari. Sekarang, beberapa menit ke depan mereka diperbolehkan Rizky untuk istirahat sejenak.
Firly hanya terdiam kaku di tempatnya, tidak bisa berkata-kata saat melihat bagaimana kakak kelasnya itu berjalan menghampiri, lalu menyanyikan sebuah lagu dengan arti 'kau adalah bagian yang terbaik'.
Firly mencubit pelan pinggang Kallien yang ikut terbawa suasana membuat gadis itu melotot menahan perih---kalian tidak tahu saja seberapa sakit cubitan Firly.
Devin, gadis itu berdiri di samping Kallien dan merangkul tangannya, canggung, padahal baru saja dia bertingkah jahil dengan melorotkan resleting rok kedua sahabatnya.
"Iyak, pepet teroos!" sindir Rizky, "tunggu apa lagi? Sikat, Dan!" dan, heboh sendiri.
Firly hanya diam mendengar pekikan Rizky. Tersirat rasa kecewa dibenaknya. Dia kan, maunya Rizky yang menyanyikannya.
Zidan memutar bola mata malas, lalu menatap Firly kembali, "Fir, boleh ngomong bentar?"
"Oh?" memandang Kallien dan Devin yang ada di sampingnya---meminta izin.
Mereka yang kadar kepekaannya memang tidak di ragukan lagi, langsung mengangguk. Meninggalkan mereka berdua.
"Fir?"
"Ya, kak?"
*****
"Firly yang ditembak, kok, gue yang baper, ya?"
"Udahlah! Gak sanggup lagi gue ngeliat yang uwu-uwu!"
"Heran, bisa-bisanya si Firly gak suka sama kak Zidan?"
"Apalagi gue, daripada nunggu kak Rizky yang gak peka, mending sama kak Zidan yang udah pasti,"
Dua orang gadis sedang duduk di lapangan sembari memandang pemandangan penuh ke-uwu-an itu. Siapa lagi kalau bukan Kallien dan Devin.
Mereka terus memandangi Firly yang asik ngobrol bersama Zidan.
"Dih, siapa bilang gue gak peka?" ketus seseorang yang kini duduk di samping Devin.
"KAK RIZKY?!" keduanya terkejut.
"Ck, teriak itu pelan-pelan, bisa?" Rizky menutup kedua telinga.
"Teriak berarti suaranya harus keras, kak!" bahu Kallien tiba-tiba disenggol oleh Devin yang menjadi kikuk. Percayalah, ini lebih mencanggungkan dari saat memperhatikan Zidan bernyanyi tadi.
"Lo ... denger omongan kita, kak?" tanya Devin.
"Iya, kenapa?"
"S-semuanya?"
"Iya, kenapa?"
"G-gak, gapapa," Devin menggeser sedikit posisi duduknya---Rizky terlalu menempel dengannya.
"Gue sebenernya cuek, sih, kalo misalnya tau ada orang yang suka sama gue, hak dia, kalo mau ngungkapin gapapa, siapa tau gue bisa pertimbangin," Rizky meluruskan pandangannya pada di mana Firly berada.
Kallien tahu arti ucapan Rizky, cowok itu bisa saja menerima ungkapan suka Firly jika dia juga memliki perasaan yang sama.
Jadi, intinya, "lo emang suka sama Firly, kak?"
"Suka? Pasti, Firly menarik, siapa, sih, yang gak suka sama temen lo?" Rizky mengalihkan atensi pada Kallien, "maksud lo pasti sayang atau lebih dari itu, kan? Kalo itu ... gue belum tau," lalu menggedikkan bahu.
Kallien mangut-mangut, "bukannya lo udah punya pacar ya, kak?"
"Hah? Kata siapa?"
Kontan, Devin dan Kallien saling berpandangan, "kak Nayla?"
"Alasannya apa sampai kalian bisa nyimpulin hal itu?" Rizky memasang raut serius.
"Firly pernah ngomong kayak gitu, soalnya kalian keliatan suka lengket mulu, kayak nasi," Devin mengikuti apa yang Firly ucap saat bercerita saat itu.
"Nggak, dia sepupu gue," kedua gadis itu membulatkan mulut.
Dasar Firly, gadis itu punya kebiasaan malas untuk memastikan suatu hal, langsung saja mengklaim sesuai opininya.
*****
Kallien merebah diri di kasur. Membiarkan dirinya menerawang. Memikirkan kejadian tadi sore, tepatnya saat latihan.
Firly sangat beruntung, pikir Kallien. Banyak sekali kakak kelas lawan jenis yang akrab padanya, padahal, gadis itu terlampau cuek, hingga Rizky saja bilang dia menarik.
Kallien memainkan kuku-kukunya, jujur saja, ia merasa iri pada Firly. Kallien mengagumi Rizky diam-diam.
Jangan kaget, Kallien punya banyak gebetan sebenarnya.
Ya, dari sikap cowok itu yang sangat ramah dan tidak pelit ilmu pada ia dan teman-teman, wajah yang manis juga tinggi yang memang tipenya. Apa yang tidak dapat membuatnya kagum?
Seakan tersadar, ia menggelengkan kepala. Ya, hanya rasa kagum biasa. Namun, dari semua yang ia kagumi, entah kenapa yang berhasil membuatnya jatuh adalah Alvin seorang.
Kallien teringat kejadian di kantin, saat dirinya melihat Alvin bersama Marsha.
Lalu bergumam, "gak bisa gitu, ya, sehari aja bareng kak Alvin?" mengacak-acak rambutnya, "kenal aja kagak, Kallien bego!"