"Mau ke mana, Kal?"
"Toilet, jangan dikerjain dulu tugasnya, tungguin gue!" Kallien memperingati keduanya lalu keluar kelas setelah izin didapatkannya dari bu Agnes.
Setelah menyelesaikan masalah 'kebelet' nya, Kallien keluar dari toilet, celingak-celinguk dan memutuskan untuk berkeliling sekolah sebentar, melewati taman mini serta ruang guru, lalu area kelas 7.
"Kak Kallien!"
Kallien tersenyum saat beberapa adik kelas kenalannya menyapanya, "hai, Rena!"
Kebetulan jika kelas sedang Jamkos, banyak dari mereka---kakak kelas, adik kelas, bahkan seangkatannya---memilih menghabiskan waktu untuk duduk-duduk di depan kelas-kelas 7 yang memang tersedia banyak bangku.
Kallien melewati area itu, dan tiba-tiba berhenti dari langkahnya.
Ada Alvin di sana.
Otaknya berpikir, memilih putar balik atau lanjut jalan saja dengan maksud 'modus'.
Kallien tidak peduli, dengan jantung yang berdegub tidak dari biasanya, dia terus melangkah, dagunya sedikit ia angkat.
"Hai, Kallien."
Kallien merasa perutnya mulas, dia menengok dan memberi senyum canggung pada orang yang menyapanya, "kak Malvin."
Dia tidak tahu jika keponakan pemilik sekolah itu mengetahui namanya, tentu saja dia kaget, apalagi cowok yang berada di samping Malvin ikut serta memperhatikannya dan tersenyum.
Sial, Kallien yakin ini bukan mimpi, jantungnya bertalu-talu lebih keras, Alvin melengkungkan bibir untuk dirinya!
*****
"---dan yang terakhir, kelas 7B penanggung jawabnya, Kallienara Zemira."
"Sampai di sini ada yang mau bertanya?" tanya Dio, si ketua OSIS.
Hening, yang berarti tidak ada sedikit pun yang ingin bertanya.
Semua Anggota OSIS beserta anak kelas 9 yang melatih siswa untuk lomba LTUB berkumpul di satu ruangan. Mengadakan rapat untuk membagi tugas mereka masing-masing di hari-H nanti.
Tidak terkecuali Kallien yang saat ini masih mencerna perkataan Dio.
Dia tidak salah dengarkan? Kelas 7B kan, pelatihnya itu ... Alvin.
Kallien terdiam melongo, sial, setelah tadi mendapat senyumnya, dia akan bisa mengobrol bersama dengan Alvin juga nanti.
Dio, terima kasih, terima kasih!
"Kalo gak ada, sampai di sini rapat hari ini, terima kasih untuk yang menyempatkan hadir! Semoga hari-H besok bisa berjalan lancar."
Setelah mengucap beberapa kata, Dio melenggang pergi dengan Sinta---sekretaris OSIS---di belakang. Semua orang yang berada di ruangan ikut membereskan barang mereka. Segera keluar.
Begitu juga Kallien yang masih tersenyum sendiri.
Segera melangkah keluar dari gerbang sekolah. Berjalan ria seraya bersenandung kecil.
*****
Tidak di rasa, dia berjalan melewati warung di mana banyak pria yang sedang berkumpul.
Langkah Kallien tiba-tiba terhenti saat salah seorang menghalangi jalannya.
"Udah sore gini, baru pulang, neng?" basa-basi pria itu. Tidak lupa memasang senyum. Senyuman mesum.
Kallien refleks berjalan mundur, "maaf, bapak mau apa, ya?"
"Mau main bentar, boleh, kan?" senyumnya masih bertahan di wajah.
Kallien tidak bodoh, dia tahu arti kata 'main' itu, "g-gak," baru saja dia berniat lari, tubuhnya tertahan karena tarikan paksa pria mesum itu.
Kallien berteriak, "tolong!"
"Ayolah, bentar aja, cantik."
"Lepas!" Terdengar erangan kesakitan beberapa saat setelah Kallien menyiku keras perut pria itu. Kallien gemetaran, dia takut, takut tidak akan bisa lagi bertemu Erina dan teman-temannya.
"Gak, jangan mendekat, tolong, tolong!" Kallien mulai terisak saat dua orang pria lain mendekatinya.
Tidak, dia tidak mau hidupnya berakhir seperti ini, Kallien tidak mau!
'DUK!'
Pria tersebut tersungkur dengan kepala yang jatuh duluan.
Kallien menganga tidak percaya.
Kak Alvin!?
"Bisanya mesumin orang lo, kurang ajar!"
'Bugh!'
'Bugh!'
'Bugh!'
Alvin memukul kedua pria yang menahan tangan Kallien dengan balok panjang.
Saat menurutnya punya kesempatan yang bagus, Alvin melempari mereka balok itu dan langsung sigap menarik Kallien untuk kabur.
Kallien tentu saja menurut, dia lemas, pertama kali di hidupnya mengalami hal itu dan Tuhan masih berbaik hati mengirimkan Alvin untuk menyelamatkannya, "ayo, cepet!"
Nafas mereka tersengal-sengal, Kallien terkejut saat merasa tubuhnya melayang dan langsung terduduk di atas jok motor, "rumah lo di mana?"
"Hey," tegur Alvin dengan menarik tangan Kallien melingkari pinggangnya saat merasa tidak ada sahutan, "lo gapapa?"
Gadis itu mengangguk kecil, "kak Alvin lurus aja, ke sana," lirihnya.
Tidak lama, Kallien yang sedari tadi menatap tangannya yang melingkar di pinggang Alvin, menoleh ke samping, "udah, di sini aja, kak."
Dengan perasaan campur aduk, melepas pelukannya dan turun dari motor, dia tidak berani menatap Alvin, "thanks a lot, I don't know what would happened if you hadn't saved me."
"Sama-sama," melirik bedge kemeja Kallien, "Kall-ie-nara?"
Kallien tersenyum, "gue Kallien."
"Nama yang bagus, gue pamit, ya?"
Kallien hanya mengangguk kaku, lalu membiarkan dirinya untuk terus memandang punggung yang semakin lama, semakin jauh.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam, kamu kenapa pulang nya telat, hah? Bunda khawatir tau, gak?" Erina langsung memeluk anaknya, "Baru aja tadi mau nyusul kamu ke sekolah!"
Kallien membalas pelukan itu, "hey, kenapa? Habis dari mana?"
"Kallien ... tadi nungguin Devin dijemput, Bun."
Gadis itu berdusta. Ia tidak ingin Erina khawatir padanya.
Lagipula, yang penting dari ini semua; dia selamat, bukan?
"Kamu ini, ya! Lain kali bilang dulu!"
"Iya, Bunda ...."
*****
Kallien menutup pintu kamar, menjatuhkan ranselnya begitu saja, lalu menggigit bibirnya, "anjir!"
Entahlah perasaannya campur aduk sekarang, senang iya, takut pun juga iya.
Hey, bagaimana tidak takut, dia hampir saja kehilangan masa depan!
Dia tidak tahu apa yang terjadi jika saja Alvin tidak ada, mungkin dia akan diperbudak dan tidak pernah kembali menginjak rumah ini, kamar ini.
Kallien sangat-sangat bersyukur hari ini.
'Ting!'
Tiba-tiba saja sebuah notifikasi masuk di ponselnya.
Dengan segera dia mengambil, membuka lockscreen. Ternyata, notifikasi dari Whatsapp. Gadis itu membacanya sembari berjalan dan duduk di kasur.
Adriel Athala: Nara? Hai!
Kallien tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
Adriel? Ternyata Whatsappnya masih aktif? Setelah hampir 2 tahun dia baru menge-chatnya? Dari mana saja cowok itu?
Me: ha?
Adriel Athala: ini Adriel! Riel kangen Nara:(
Kallien terdiam lama sembari terus memandang chat itu.
Seperti tanpa dosa, ia berkata hal itu padanya? Menyebalkan sekali cowok ini!
Me: Setelah hampir 2 thn gada kabar? Otak lo gak berfungsi buat mikir lagi apa gmn?!
Adriel Athala: Nara...
Adriel Athala: Jangan gitu, dong.
Adriel Athala: Gue juga gak bakal mau kayak gini, kalo bukan karna papa. Maafin gue, ya?
Memutar bola mata kesal. Tentu saja tidak semudah itu!
Me: Gila lo, ya? Tiba-tiba nge-chat minta maaf setelah lo ngilang gitu aja.
Me: Marah banget gue sama lo!
Kallien tak mendapat balasan lagi. Membuat dia ingin menangis saja rasanya.
Namun, belum ada lima menit, ponselnya berdering nyaring. Roomchat itu berganti menjadi id caller orang yang men-chat nya barusan.
Menghela napas. Ia menekan tombol hijau itu.
"Halo?"
"Nara? Nara masih disitu, kan?"
Kallien tidak bisa lagi menahan kekesalannya.
"Kalo gue gak ada disini, trus yang angkat telpon nya siapa, bego?!"
Hening.
Membuat Kallien lantas mengernyit. Menjauhkan gadget itu dari telinga, dan ternyata, telepon itu masih terhubung.
"Ini ... beneran suara Nara?"
Terdengar suara Adriel bergetar di sana.
"KOK, UDAH BEDA BANGET SUARA NYA?!"
IA HAM--maaf.
Ia hampir saja terjungkal saat mendengar teriakan tidak manusiawi itu masuk ke gendang telinganya.
"Gak usah sok akrab! Gue masih marah sama lo!"
Jujur, Kallien juga ikut tertegun dengan perbedaan suara Adriel sekarang. Lebih berat. Ah, lupakan!
"Ihh ... Naraa! Gue punya alasan tersendiri untuk itu. Please ... ngertiin gue, ya? Maaf, gue gak pernah bermaksud buat bikin lo kesel kayak gini."
"Nara?"
"Hm. Iya."
"Beneran?!"
"Hm."
"Yang ikhlas kek, Ra,"
Adriel merengek. Membuat Kallien terkekeh. Mengesampingkan egonya untuk sang sahabat.
"Iyaa, Adriel bawel Athala!"
"Nah, gitu, dong! Lanjutin lewat chat, ya? Riel tutup!!"
"Eh-!"
Mendengus. Dasar, cowok tidak tahu diri ini, seperti ini! Sudah di maafkan, malah seenaknya langsung menutup telepon!
Adriel Athala: Kangen banget, tau! Gimana kabar Nara?!
Adriel Athala: Rasanya pengen cepet-cepet balik, terus meluk Nara sampe sesek napas. Biar mati sekalian.
Adriel Athala: Canda mati. AHAHAHAHAHA
Me: Bego lo gak pernah ilang, emang.
Kallien terkekeh, sahabatnya ini tidak pernah berubah semenjak 3 tahun berpisah berbeda negara alias Indonesia-London.
Semasa Adriel masih di Indonesia, mereka selalu bersama.
Dan, kedekatan itu menghilang disaat Adriel pindah ke tempat kelahirannya.
Sebab, sang papa harus mengurus pekerjaan. Hal itu membuat Kallien sedih. Di tambah rasa kecewa karena setelah 2 tahun kepergian Adriel, cowok itu sudah jarang memberi kabar.
Adriel Athala Indrajaya.
Dapat dia tebak, ke depannya, hari-harinya pasti akan lebih menarik dari sebelumnya.