Chereads / Tira dan Angga / Chapter 19 - Tawa Pemecah Sunyi

Chapter 19 - Tawa Pemecah Sunyi

Hari ini Angga sedang berada di kampusnya. Dia belajar dan mengobrol dengan teman-teman barunya. Namun, Angga tidak banyak bicara dan hanya mengikuti arah pembicaraan yang lain.

Suatu hari Dosen dari Mata Kuliah Bahasa memberikan Tugas untuk membuat sebuah puisi.

"Tugas Kalian adalah membuat Puisi temanya terserah genrenya terserah... sebagai anak tehnik kalian bukan hanya butuh logika namun, kalian semua juga membutuhkan insting..."

"Dan lewat tugas puisi ini saya ingin mengukur seberapa tinggi kepekaan kalian... tidak boleh mencontek atau menjiplak dari Internet... Deadlinenya minggu depan sekian terima kasih!" perintah Dosen itu lalu pergi meninggalkan Ruang Kelas.

Sebagai anak dari Falkuktas Tehnik, tentu mereka semua kelagaoan dengan tugas yang proses pembuatannya harus menggunakan perasaan termasuk Angga. Yang perasaannya sudah lama mati dan hancur oleh mantan istrinya.

Sejak kematian Diana, Angga jadi menjauh dari para wanita. Padahal dengan wajah tampan dan tubuh tingginya perempuan mana yang tidak bisa dia dapati.

Namun, setiap ada yang bertanya apakah kamu sudah memiliki pasangan dirinya selalu menjawab. Jika, dia terlalu nyaman dengan kesendirian dan perasaan sudah mati.

"Hm... puisi ya, Tira bisa tidak ya.. membantuku" bantin Angga memikirkan ejekkan apa yang akan diberikan gadis kecil itu kepadanya, dan hal itu membuatnya menjadi senyum-senyum sendiri.

di saat sedang senang-senangnya seorang teman menegur Angga dan mengajaknya untuk mengobrol.

"Eh! Kamu Angga kan yang... gila itu hahaha.." tegur para anak kampus itu.

"Maaf! Apa!?.." tanya Angga kikuk.

"Kau itu Angga anak SMA Dua Kencana kan? Yang mendadak nikah sama cewke penyakitan... nama... siapa tuh"

"Diana!" sahut anak lainnya.

"Ah.. iya gimana kabarnya perempuan itu, denger-denger jadi sikopat sekarang hahaha..." Anak-anak itu tak berhenti-hentinya merudung Angga.

"Kau itu angkatan 3 tahun di atas kami kan.. aku mendengar kisahmu dari kakakku... hei jawab dong!" ucap salah seorang anak sambil mendorong badan Angga hinga terjatuh di lantai.

Angga merasa sangat kesal dengan semua pernytaan yang dia dengar. Namun, disatu sisi dia juga terlalu lelah itu melakuka perlawanan.

Dan bahkan rasa trauma itu kembali mendatanginya. Suara tembakan saat Diana menembak dirinya sendiri dan orang tua measih terdengar jelas di telinganya.

Tubuh mulai bercucuran keringat dingin, jantung terus berdetak dengan cepat. tanganya mulau gematran begitu juga dengan sekujur tubuhnya. Dia bahkan tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

"Kok diam.. sih takut ya..." ejek salah satu anak disana.

"Hahahaha!" Anak-anak yang lain pun mulai mentertawakan Angga. Di samping itu angga yang sudah hilang kendali hanya bisa diam mematung tanpa tindakan.

"6 tahun sekola dasar, 3 tahun SMP... lalu, 3 tahun sekolah menengah. Dan setelah 12 tahun sekolah kalian masih tidak tahu bully adalah tindak kejahatan. apakah kalian bolos pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selama 12 tahun..." tiba-tiba terdengar celutkan suara seorang pria. Dengan tubuh tinggi besar yang gagah, suara serak-serak basah. Dan tatapan yang tajam membuat setiap anak yang berada di kampus menunduk ketakutan.

Pria tua itu berjalan menuju Angga dan anak-anak itu. Dan terlihat dari sorot mata anak-anak itu mereka terlihat sangat ketakutan dengan sosok pria tua yang ada di hadapan mereka.

"Pak Tjhokro, sa... saya.." ucap salah satu anak ketakutan.

"Mau saya drop out silahkan lanjutkan..." sahut pria tua itu sembil menyilangkan tangannya ke tubuhnya yang besar.

"Kalau tidak silahkan pergi! Ke ruangan saya sekarang!" tegas pria tua itu sambil, menatap tajam anak-anak itu.

Anak-anak itu pun segera berlari ke ruang pria tua itu tanpa sepata kata pun, sedangkan Angga masih berusaha keras untuk bangun. Namun, kakinya yang lemas membuatnya terjatuh berkali-kali.

"Kalau kakimu lemas tidak apa-apa, bukan kamu biang keroknya... jadi tenangkan diri dulu..." ucap pria tua yang setadinya marah itu berubah menjadi lembut. Bahkan, dirinya mendakti Angga dan belutut dengam satu kakinya lalu mengusap lembut pungung pria muda itu.

"Sa... sa... ha... sa.. bruk!!" Angga yang mulai kehabisan nafas dan terjatuh pingsan di lantai.

"Nak Angga!" pria tua itu pun panik dan menyuruh mahasiswa lain membawa pria muda itu ke ruang kesehatan.

.....

....

...

..

.

Angga berada di sebuah ruangan dengan kegelapan yang sangat pekat dan kesunyian di dalamnya. Bahkan, saking tenangnya tempat itu dia dapat mendengar sura detak jantung dan aliran nafasnya.

Angga begitu takut, kejadian ini persis seperti keadaan dirinya setahun setelah bercerai dengan Diana.

"Hahaha..." Tiba-tiba tendengar sebuah suara penuh tawa yang memecah kensunyian di telinga Angga.

Pemuda itu menengok suara itu dan dia melihat suara-suara tawa itu di bawa ileh serpihan cahaya kecil-kecil yang berkumpulan dan menyebar ke suluruh ruangan.

Angga menghampiri sumber tawa itu dan dia melihat sosok perempuan dengan tubuh mungil yang sangat bercahaya.

Angga mengira sosok itu adalah Tira, apalahi mendengar suara tawanya yang begitu mirip. Ia pun terus maju dan mendekati cahaya itu.

Dan betapa, Angga terkejut ketika melihat sosok perempuan yang bercayaha itu adalah Amora Cintrawani cinta pertamanya itu saat seusia dengan Tira.

"Aku sudah berada di dekatmu!" kata gadis itu.

"Jangan cari aku... aku sudah di sini, aku sudah mendampingimu!" ucap gadis itu lalu berjalan menjauh dari Angga.

Angga mengejar gadis itu, untuk mempertanyakan maksud dari pernytaannya. Dia terus memanggilnya namun, hal itu tidak kunjung mendapat jawaban.

"A.. amora... Amora!" Angga terbangun dan dia masih tidak mengerti dengan pernyataan gadis itu di dalam mimpinya.

"Amora! Apa maksudnya itu? aku sudah disini.." batinnya.

Angga menjadi kikuk dan terus memikirkan mimpinya itu. Namun, anenh degup jantung dan perasaan Angga menjadi leboh tenang.

Padahal biasanya bahkan, setelah pingsan berhari-haripun jantung akan terus berdegup cepat.

"Ah..." Angga berguman lalu melirik kesekelilingnya. Dia cukup bingung dengan tempat dirinya berada.

"Dimana ini!?" Angga bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

"Ruang kesehatan kampus.." sahut seorang pria dengan suara serak-serak basah. Rupanya pria tua tadi telah menunggu Angga sejak dirinya tidak sadarkan diri.

"Pak Tjhokro..." Angga terkejut melihat sosok yang di kenal sebagai sosok yang jarang muncul dan terkenal seram, muncul d8 hadapanya.

"Sudah enakkan kamu, atau masih sesak!" tanya pria tua itu lembut.

"Ya sudah enakkan," jawab Angga singkat, kepalanya tertunduk selain karena masih sekelilin tempatnya masih berputar putat dia juga takut melihat wajar dari Rektornya itu.

"Kepalamu masih sakit nak," tanya pria tua itu.

"Iya," jawab Angga singkat.

"Ya sudah kamu istirahat saja..." jawab pria tua itu lembut sambil, menepuk lembut pundak Angga.

"Bapak, tidak ingin memanggil saya ke ruang Rektor!?" tanya Angga menahan sakit kepalanya.

"Tidak, karena bukan kamu yang salah.. ya walaupun bukan tugas saya mengurusi anak bermasalah di kampus, tapi saya akan tetap melindungi kamu dan mengurusi para perudung itu... karena saya tidak mau kamu seperti anak sulung saya yang meninggal karena di bully.." ucap pria tua itu dengan suara serak-serak basahnya yang sendu.

Angga sangat terkejut mendengat pernyataan dari Rektornya itu. Dia sungguh tidak menyangka bahwa sosok tegas sepertinya memiliki kisah yang sedih seperti itu.

"Saya memang tidak akan melakukan hal yang sama Pak! Karena saya punya sosok yang sudah membuat saya sembuh sedikit, demi sedikit..." jawab Angga tersenyum lembut.

Melihat senyum pada bibir Mahasiswanya, pria tua itu pun sedikit meneteskan air matanya. Dan memandangi Angga dengan lembut.

"Apa semua anak sepertimu punya senyum sesendu itu?" tanya pria itu pada Angga.

"Saya.. tidak tahu tapi mungkin saja," jawab Angga tersenyum.

Pria tua itu pun menyuruh Angga istirahat lalu pergi meninggalkan ruangan.

Angga memperhatikan pria tua itu dari ruanganya dia melihat wajah yang sangat tulus padanya. Dan merasa jika, rektor yang digosipkan kejam dan sadid itu. Adalah hal yang tidak benar secara mutlak.

Angga tersenyum lembut memperhatikan wajah rektornya. Namun, senyum tersebut pecah oleh ingatannya tentang tugas yang diberikan dosennya.

"Ah! Anak tehnik macam apa yang menulis puisi aku bahkan tidak pernah mendapat nilai C dalam bahasa Indonesia. C-, adalah yang terbaik yang aku miliki..."

Bagaimana kah nasib tugas puisi Angga?

Apakah dia akan membuatnya....

Atau tidak dikerjakannya...

hanya di "Tira dan Angga"