"Sepi... adala..."
"Suka dan cinta..."
"Arg!! Bagaimana aku bisa membuat puisi, aku bahkan tidak sedang jatuh cinta sekarang... bahkan saat bersama Di..."
"Kalau aku romantis, aku pasti bisa memilikinya... bukan??"
Angga berbicara pada dirinya sendiri seharian. Dia masih berada di ruang kesehatan kampus dengan secarik kertas dan pena di tangannya.
Memikirkan entah puisi apa yang akan dibuatnya. Angga bukan orang yang suka menulis. Dan dia juga buka sosok yang banyak bicara. Dia hanya bisa bertindak sesuai dengan hatinya. Dan hal itu bahkan sudah tidak dimilikinya lagi.
"Tira pasti akan menemukan solusinya.."
"Aku seperti pohon tak berakar tanpa anak kecil itu..."
"Bagai gunung tak berpijak.."
"Seperti langit tanpa bintang..."
"Seperti Ruang tanpa cahaya..."
"Seperti Garam yang tawar..."
"Seperti..." Angga menghentikan kata-katanya. Dan dia pun sadar bahwa semua kata-kata yang di pikirkannya tadi adalah sebuah puisi.
"Baiklah Tira, sepertinya kamu akan membantuku mendapatkan nilai A. Meski tanpa terlibat langsung..." ungkapnya dalam hati.
"Aku adalah pohon tak berakar..."
"Gunung tanpa pijakan..."
"Langit tanpa bintang..."
"Garam yang tawar..."
"Pemuda yang kesepian..."
"Aku adalah kehancuran..."
"Aku adalah kenestapaan..."
"Dersik angin pun tak dapat ku dengar lagi..."
"Sebab aku adalah ketidak layakan.."
"Seorang diri di ruang hampa .."
"Aku telah mati jiwa..."
"Semangat bukanlah kepunyaanku..."
"Aku milik kematian...."
"Dan penderitaan mencintaiku..."
"Sececah cahaya datang bagai kunang-kunang"
"Seperti akar untuk pohonku..."
"Tempat aku memijakkan langkah..."
"Bintang untuk langitku.."
"Rasa dalam ketawaranku..."
"Penghancur Rasa sepiku dengan tawa yang memecah sunyi..."
Melihat tulisannya sendiri Angga pun terkejut. Dirinya tidak pernah menyangka bahwa, orang seperti dirinya bisa mengahasilkan sebuah karya sastra yang begitu dalam dan Indah.
Angga menatap tulisan itu dan mengingat bagaimana Tira menyelamatkan jiwanya yang kosong dan mati. Dan mengeluarkannya dari tempat sepi dan sunyi itu.
Semua celoteh dan tawa gadis kecil itu berhasil membuatnya sembuh. Sedikit, demi sedikit membuat Angga berani melangkah maju.
Meninggalkan kenangan buruknya dan membangun semua kenangan baru baginya. Tira memang lebih muda namun, karakter gadis itu lebih hebat melebihi dirinya.
Pemikiran dan solusi, ketabahan dan kerelaan Tira dalam mendampingnya membuat Angga takjub tak bercela.
"Gadis kecil yang mempesona..." itulah yang Angga pikirkan saat ini.
Seorang pemuda payah yang dungu dan tidak punya tujuan hidup. Polos dan lemah, dibangkitkan semangatnya oleh seorang gadis kecil nan polos, namun sangat cerdas.
"Tira IQ mu berapa sih..." pikir Angga sambil memandang-mandangi puisinya itu.
Angga terus memperhatikan kata, demi kata dalam puisi tersebut. Dan dirinya masih belum menemukan judul untuk puisi tersebut.
"Judulnya apaya... bahkan gambarku sendiri tidak pernah kuberi nama, pasti selalu kode angka..." ucapnya bingung.
"Hm... aku tahu judulnya Puisi-0.01 ya itu judulnya..." ucapnya puas.
Namun, Angga memikirkan sejenak jika dirinya benar-benar memberikan judul seperti untuk tugasnya. Apakah Dosennya akan menerima.
"Angga Mahesa, kamu bisa menghitung banyak sebuah atom, kecepatan gaya jatuh
dan titik berat suatu benda, kecepatan dan jangka waktu pergerakan mesin, membuat miniatur mobil dengan bahan daur ulang...." ucapnya Frustasi.
"Tapi memikirkan judul untuk tugas bahasa Indonesia saja sulit..., bahkan nilai bahasa jerman dan jepangmu lebih bagus dari ini! Dasar anak bodoh!" ucap Angga menampar dirinya sendiri hingga merah pipinya.
Angga merasa sangat Frustasi dengan tugas yang ada di depan matanya. Dan ini adalah kali pertama dirinya tidak menguasai sebuah pelajaran..
"Apakah sejak kamu mengalami gangguan jiwa kepintaran mu berkurang Angga.." ucapnya sambil menghadap ke sebuah Cermin besar di pojok ruang kesehatan.
Angga membenturkan kepalanya ke cermin berkali-kali. Dan dia terus melakukannya bahkan, benturan itu terdengar semakin keras.
Hingga membuat pak Tjhokro sedanh menuju keruangannya pun. Berlari karena khawatir Angga sedang dalam bahaya.
Dan betapa terkejut pria tua itu saat melihat mahasiswanya itu membentur-benturkan kepalanya dengan keras kearah sebuah cermin dengan ketebalan 1,5 cm dan panjang 1m.
Denga panik pria tua itu pun menuju le cermin dan langsung menarik badan Angga. Dan menaruh tubuh mahasiswanya itu di ranjang ruang kesehatan.
"Apa yang kamu lakukan Angga!!" tanya sang rektor khawatir.
"Aku sedang berpikir," jawab pemuda itu polos.
"Berpikir!? jadi membenturkan kepalamu dengan keras ke sebuah cermin besar dan tebal... kami sebut berpikir..." tanya pria tua itu memperhatikan kepala Angga. Pria tua itu sangat takut jika Angga sampai terluka.
"Ya, biasanya hal itu berfungsi... mungkin karena aku kurang lama melakukannya... hm... biar ku coba lagi," jawab Angga berdiri dan menuju cermin itu.
Melihat geralan Angga yang ingin menuju cermin. Pak Tjhokro pun langsung menahan tubuh Angga dengan cengkraman lembut namun, mengikatnya.
Pria tua itu memegang erat bahu Angga dan meletakkannya kembali di tempat tidur.
"Tahan gerakan mu di sini nak, saya ti.. ingin mengatakan ha... jika yang kamu lakukan itu sa... agak membahayakan diri kamu sendiri..."
Pria tua itu mengucapkan setiap kata-katanya dengan hati-hati.
Dirinya sangat ketakutan jika Angga akan merasa tertekan jika ada salah kata yang di ucapkannya pada Mahasiswanya itu.
"Berapa persen kemungkinannya pak!?" tanya Angga polos.
Mendengar pertanyaan Angga pria tua itu pun sangat terkejut. Dan dia hanya bisa menghela nafasnya dan mulai menayakan maksud dan tujuan Angga melakukan hal membahayakan itu.
"Hm.... kenapa kamu seperti ini Angga!?" tanya pria tua itu pernasaran.
"A.. saya tidak bisa menemukan judul untuk puisi saya pak... kalau nilai ipk saya jelek Bu Linda pasti alan menyesal sudah menolong saya..." jawab Angha dengan wajah cemas.
"Bu Linda!?" tanya pria tua itu.
"Ya pak beliau orang yang membantu saya untu bisa kuliah disini, dia bukan orang jahat hanya.. saja saya tidak ingin mengecewakannya..." terang Angga pada rektornya itu.
"Berikan puisimu!" pinta Sang Rektor.
"Ini pak," Angga menyerahkan puisi itu pada rektornya.
"Hm.. Puisi-0.01!?" ucap pria tua itu bertanya-tanya.
"Ya saat membuat proyek saya memberi judul mereka dengan Angka jadi..."
"Baik," ucap pria itu paham.
"Tawa pemecah sunyi! apa ini?" tanya pria tua itu bingung.
"Itu ungkapan pak, jadi ada sosok orang yang membuat saya bisa berada disini.." jawab Angga lembut.
"Hm.. kenapa tidak kamu pakai ini sebagai judulnya!?" tanya pria tua itu bingung.
"Apakah boleh!?" tanya Angga bingung.
"Ya, dan saya sudah menjadi dosen bahasa Indonesia selama 35 tahun..." jawab pria tua itu tersenyum.
"Terima kasih pak..." jawab Angga tersenyum.
"Tira... hm.. pak Tjhokro benar... Tawa pemecah sunyi memang judul yang cocok untuk puisi tentang mu ini. Terima kasih Tira untuk tidak pergi disaat semuanya pergi..." ucap Angga dalam hati.
Merpati dewasa mulai mengepak sayap, bersiap untuk terbang. Melihat dunia dengan langkah yang takut.
Apakah dia akan terbang...
Hanya di Tira dan Angga...