Seorang model papan atas yang memasuki usia dua puluh empat tahun itu memasuki ruang make-up. Gadis itu memerintahkan make-up artistnya untuk menyegerakan penghapusan make-up itu.
"Mba, bisa cepetan, kan?" tanya Evelyn dengan suara yang kelelahan.
"Bisa, Mba. Sebentar ya," ucap sang make-up artist yang ketakutan.
Pasalnya model yang sedang ia bersihkan wajahnya itu adalah model papan atas yang terkenal galak. Namanya Evelyn Adelia Milly, seorang putri tunggal dari keluarga paling disegani di kota ini, Milly.
Gadis yang memiliki manik biru dengan rambut panjang berwarna pirang itu biasa dipanggil Evelyn. Anak satu-satunya dari Tuan Watson Milly dan Nyonya Gracia Milly.
TING!
Suara notifikasi ponsel langsung membuat Evelyn membuka kelopak matanya lagi, gadis itu meraih ponselnya yang berada di meja, lalu membuka ponselnya.
Ibu
[Evelyn, malam ini ibu sama ayah mau bicara sama kamu, kamu harus pulang lebih awal. Kalau sampai terlambat kamu akan kami hukum.]
Gadis itu langsung menghela napasnya gusar, ibu dan ayahnya memang seperti itu, sangat tepat waktu dan tidak menyukai kata terlambat. Bagi mereka terlambat adalah salah satu dosa terbesar.
Evelyn
[Iya, Bu. Evelyn pasti pulang cepet kok.]
***
Evelyn mencabut kunci mobilnya, gadis itu langsung melangkahkan kakinya menuju rumah mewah dengan tiga lantai yang menjadi ciri khas.
"Selamat malam, Bu. Ibu gimana kabarnya?" tanya Evelyn kepada ibunya yang sudah berdiri di depan pintu. Evelyn memang lebih menyukai tinggal sendirian di apartemen daripada di rumah. Oleh sebab itu, Evelyn menanyakan kabar orang tuanya.
"Baik, kamu ini jarang sekali pulang, nanti kalau ayah sama ibu sudah tidak ada bagaimana? Kamu akan sendirian, Evelyn. Dan yang paling ibu khawatirkan adalah kamu belum menikah di saat ayah dan ibu sudah meninggal."
Seperti biasa, Nyonya Gracia Milly itu langsung mengungkit masalah menikah terus-menerus, sampai-sampai Evelyn bosan mendengarnya.
"Bu, Evelyn ini sudah dewasa, Evelyn bisa jaga diri baik-baik. Evelyn masih mau mengembangkan karir, masih mau jadi model. Evelyn sama sekali belum mau menikah, apalagi nanti Evelyn akan gendut saat punya anak."
Seperti itulah jawaban Evelyn saat dipaksa untuk menikah. Evelyn memang tidak menyukai pernikahan, gadis itu tidak mau karirnya hancur hanya karena menikah. Apalagi setelah menikah ia akan hamil dan tubuhnya yang indah ini akan hancur.
"Ya ibu tau kalau kamu ini udah dewasa, tapi ibu khawatir sama kamu. Kamu itu seharusnya sudah menikah. Kamu itu seharusnya sudah memiliki keluarga sendiri. Buat apa mengembangkan karir terus coba? Kamu seharusnya menjadi istri yang baik, menjadi ibu rumah tangga yang baik."
Nyonya Gracia tak mau kalah dengan putrinya, wanita dengan usia lima puluh tahun itu memang menginginkan anaknya segera melangsungkan pernikahan. Ia ingin putrinya segera memiliki kehidupan sendiri.
"Nanti Evelyn pikirkan."
Pikirkan saja terus tapi tidak pernah ada perkembangan, seperti itulah cara Evelyn menyelesaikan pembicaraan dengan orang tuanya.
"Ayah mana, Bu?" tanya Evelyn sambil merebahkan tubuhnya di sofa, gadis itu merindukan rumahnya, gadis itu merindukan segalanya.
"Lagi mandi, nanti juga dia turun, ada hal penting yang harus kami bicarakan sama kamu." Evelyn hanya membalasnya dengan dehaman singkat.
Sebenarnya Evelyn malas sekali membicarakan sesuatu dengan ayah dan ibunya, ia selalu tau apa yang ayah dan ibunya akan bahas. Ia selalu tau apa yang akan mereka ungkit, pastinya pernikahan.
"Evelyn putriku, kemarilah!" Ayah yang sedang turun dari anak tangga langsung menyambut Evelyn dengan bahagia, membuat Evelyn berlari memeluk ayahnya.
"Evelyn kangen banget sama ayah. Ayah apa kabar?" tanya sang putri kepada ayahnya.
Tuan Watson Milly hanya terkekeh melihat putri yang dulu ia rawat kini sudah beranjak dewasa. "Kabar ayah baik, Sayang. Bagaimana kabar, Tuan Putri?"
"Baik dong. Tuan putri sehat selalu."
Tuan Watson mengacak rambut putrinya dengan kekehan kecil. "Sebenarnya ada yang mau ayah bahas sama kamu, Tuan Putri. Ibu juga mau membahasnya. Apa kamu mau membahas hal tersebut?"
Evelyn mengangguk. Ia tak mungkin menolak, ia tak mungkin menjadi anak yang durhaka karena menolak keinginan orang tuanya.
"Usia kamu sudah menginjak angka berapa, Sayang?" tanya Watson memulai pembahasan.
"Dua puluh empat tahun, ayah lupa?"
"Bukan seperti itu, Sayang. Ayah ingat, sangat ingat malah. Ayah hanya bertanya karena usia kamu yang beranjak dewasa, seharusnya kamu sudah melangsungkan sebuah pernikahan. Jika belum pernikahan, setidaknya tunangan. Ayah takut kalau saat ayah kembali ke tangan Tuhan, ayah belum sempat melihatmu menikah, ayah takut kalau ayah belum menyerahkanmu ke lelaki yang menurut ayah tepat. Apakah kamu sama sekali tidak menginginkan pernikahan? Apakah kamu sama sekali tidak menginginkan ayah tenang?"
Evelyn diam membisu, gadis itu sudah sangat paham dengan segala upaya orang tuanya. Gadis itu sudah sangat mengerti dengan segala upaya yang orang tuanya berikan supaya ia mau menikah.
"Sayang, kamu ngerti kan sama apa yang ayah dan ibu inginkan? Ayah sama ibu mau kamu menikah, setidaknya untuk sekarang tunangan saja dulu. Kamu belum siap? Tidak masalah, kamu bisa melakukan hal ini sambil belajar. Kamu belum punya pasangan yang pas? Tidak masalah. Ibu mempunyai sahabat, dan sahabat ibu mempunyai anak yang seumuran dengan kamu, dia pemimpin di perusahaan besar. Kamu bisa berkenalan dulu dengannya, jika cocok kamu bisa memilih lanjut ataupun tidak."
Ini yang membuat Evelyn malas, ia bisa mencari jodohnya sendiri, ia bisa mencari seorang pendamping sendiri, ia tidak suka jika dijodohkan. Menurut Evelyn perjodohan hanyalah untuk orang-orang yang tidak laku, lagian dirinya laku, sangat laku malah.
"Bu, ini yang Evelyn gak suka, ini yang Evelyn sama sekali gak mau, Evelyn gak suka dijodoh-jodohkan, Evelyn masih bisa memilih siapa yang pantas bersanding dengan Evelyn, Evelyn masih sanggup mencari seseorang yang memang Evelyn cintai. Jadi ayah sama ibu gak perlu repot-repot mencarikan calon pasangan untuk Evelyn, Evelyn masih sanggup mencari."
Evelyn langsung mengucapkan keluh kesahnya, ia memang tidak suka ketika keluarganya menjodoh-jodohkan, ia belum siap.
"Tapi setidaknya kamu mengenal dia dulu, kamu tolak juga tidak masalah, kamu seharusnya pendekatan dengan dia dulu, Evelyn. Ibu yakin dan ibu jamin kalau kamu bakalan suka sama dia, kamu bakalan cinta sama dia. Kamu mau ya? Ibu cuma mau kamu bahagia kok, ibu cuma mau kamu mendapatkan seseorang yang pantas untuk kamu dan yang terbaik, ibu gak mau kamu salah memilih, Sayang."
"Benar kata ibumu, Evelyn. Kamu itu seharusnya mengenal anak yang ibu maksud dulu, kamu seharusnya berusaha menerima, urusan menikah belakangan juga tidak masalah. Yang terpenting kamu sudah mengenalnya lebih dekat."
Evelyn menggaruk tengkuknya, gadis itu bingung harus bagaimana. Apakah ia harus menerima perjodohan ini? Apakah ia harus menerima sosok anak dari teman ibunya?
"Jadi gimana Evelyn?"