Seorang pria dengan balutan tuxedo berwarna hitam serta kemeja berwarna putih yang dililitkan dengan dasi merah membuka lembar demi lembar yang ia pegang. Pria itu menghela napas gusar saat mendapatkan ketukan pintu pertanda ada seseorang yang menginginkan izin masuk.
"Masuk!" titah pria yang duduk di kursi kebesarannya, pria yang memakai jam tangan hitam di pergelangan tangannya.
"Tuan Davit, ada Nyonya Camilyn yang ingin bertemu dengan Tuan."
Namanya Davit, Davit Archer nama lengkapnya. Seorang pria dengan usia dua puluh empat tahun yang sudah sukses, pria itu sudah menjadi seorang pengusaha terkenal di kota ini.
Davit merupakan putra tunggal dari pasangan Tuan Anderson Archer dan Nyonya Camilyn Archer. Davit merupakan pria yang sangat ketus dan dingin, apalagi setelah dirinya putus dari sang mantan kekasih, dirinya sudah tidak mau menerima gadis manapun lagi, trauma.
"Suruh ibu masuk!" perintah Davit yang langsung dibalas anggukan kepala oleh sang sekretaris.
"Silakan masuk, Nyonya Camilyn." Sang sekretaris langsung mempersilahkan ibu dari bosnya untuk masuk.
Seorang wanita dengan usia sekitar lima puluh tahunan yang masih sangat terlihat awet muda dengan pakaian modis memasuki ruangan putranya. Wanita itu menaruh tasnya di meja kerja putranya dan langsung duduk di kursi yang ada.
"Ada yang mau ibu bicarakan dengan kamu, Davit. Apa kamu punya waktu?" tanya Camilyn kepada putranya.
"Punya, Bu. Davit selalu mementingkan ayah dan ibu di atas segalanya, bukan? Davit pasti punya waktu untuk itu semua."
Yang benar saja, seorang Davit Archer sama sekali tidak gila harta, apalagi gila kerja. Ia masih menjadi seorang pria waras yang mementingkan orang tua di atas segalanya.
"Bagus kalau begitu, Sayang. Ibu mau membicarakan hal yang tentunya sudah sering ibu bicarakan dengan kamu. Ayahmu nanti malam kembali ke rumah, dia ingin membicarakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu ibu mengingatkan kepada kamu untuk pulang tepat waktu nanti malam, jangan sampai terlambat ya. Ibu dan ayah tunggu."
Tuan Anderson memang sangat sibuk, ia bisa berpindah-pindah negara hanya untuk satu hari. Pria itu menguasai bisnis di seluruh penjuru dunia, oleh sebab itu dirinya sering tidak pulang ke rumah.
"Iya, Bu. Davit pasti datang kok, ibu sama ayah tenang aja, gak akan terlambat juga."
"Bagus, kalau gitu ibu pulang dulu ya. Selesaikan pekerjaan kamu tepat waktu, jangan sampai terlambat, awas kalau terlambat."
"Iya, Bu."
***
Davit turun dari mobilnya, pria itu melangkahkan kakinya menuju rumah mewah yang selama ini menjadi tempatnya berlindung. Pria itu tersenyum saat melihat wajah ayahnya yang sudah menanti di depan pintu, seolah menanti kehadirannya dari lama.
"Ayah! Davit kangen banget sama ayah!" seru Davit sambil memeluk tubuh pahlawan hidupnya. Pria itu memang dekat dengan ayahnya, pria itu memang selalu berbagi keluh kesah dengan ayahnya juga.
"Ayah juga kangen sama kamu, lama banget gak ketemu kita. Kamu apa kabar?" tanya Tuan Anderson.
"Baik kok, ayah gimana?" tanya balik Davit.
"Baik juga, Putraku. Jadi ayah pulang untuk membahas sesuatu yang penting denganmu. Kamu mau kan berbicara dengan ayah dan ibu? Kamu mau kan membahas sesuatu yang sangat penting ini?" Tuan Anderson selalu bertanya kepada siapapun jika ingin berbicara, apakah seseorang yang diajaknya berbicara menginginkan bahasan dengannya juga atau tidak.
"Mau kok. Davit selalu mau bicara sama ayah."
"Usia kamu yang sudah menginjak angka dua puluh empat seharusnya sudah pantas untuk menikah dengan seorang gadis, Davit. Jika belum menikah sepantasnya kamu sudah bertunangan. Kamu mau menikah, kan? Kamu mau mempunyai keturunan dan menjalani hidup berumah tangga, kan? Ayah menginginkan seorang cucu, ayah juga menginginkan seorang pewaris buat kita. Ayah menginginkan kamu menikah dengan sesegera mungkin, Davit."
Davit bungkam, masih sama seperti biasanya. Pria itu belum bisa mengatakan apapun, pria itu bahkan belum memikirkan kapan ia menikah, dengan siapa, dan lain sebagainya. Pria itu bahkan tidak ada niatan untuk menikah karena trauma yang sangat besar.
"Davit belum ada pikiran sampai sana," ujar Davit dengan jujur.
"Seharusnya kamu sudah memiliki pikiran sampai sana. Seharusnya kamu sudah ada gambaran untuk itu semua. Ayah tau kalau kamu belum siap, tapi siap maupun tidak siap, suka maupun tidak suka, kamu harus menjalaninya, Davit. Kamu harus memikirkan masa depanmu, bukan hanya soal harta, tetapi keluarga." Tuan Anderson selalu mengingatkan Davit seperti itu, tapi Davit sama sekali belum ada niatan sampai sana. Davit masih menginginkan kehidupannya yang santai tanpa memikirkan apapun. Davit masih menginginkan kehidupan yang seperti ini.
"Benar apa yang dikatakan ayahmu, Davit. Kamu seharusnya memikirkan itu semua. Kebetulan ibu baru saja ketemu sama temen ibu, dia punya anak yang usianya seumuran dengan kamu, anaknya cantik, kamu pasti suka dengan dia. Ibu jamin seratus persen kalau kamu bakalan suka sama dia." Nyonya Camilyn memulai acara perjodohan ini, awalnya memang hal inilah yang mau mereka bahas.
"Bu, Davit gak perlu itu semua, Davit bisa kok memilih yang terbaik untuk diri Davit sendiri. Davit bisa kok mencari seseorang yang layak untuk diri Davit. Davit bukan anak kecil yang semuanya bisa diatur sama ayah dan ibu. Davit bukan anak kecil yang bisa dengan mudahnya diatur. Davit udah bisa bertanggung jawab untuk diri Davit sendiri, Davit udah bisa mengatur diri Davit sendiri, ibu gak perlu khawatir."
"Ibu tau kalau kamu sudah bisa bertanggung jawab untuk diri kamu sendiri, ibu tau kalau kamu udah bisa mengatur diri kamu sendiri, tapi yang ibu takutkan hanya satu, Davit. Yang ibu takutkan adalah kamu salah memilih pasangan, mencari pasangan itu tidak mudah, dan ibu sudah memberikan seseorang yang menurut ibu pantas. Pilihan orang tua itu tidak pernah salah, pilihan orang tua itu tidak pernah gagal," ujar Camilyn memojokkan anaknya. Camilyn bukannya tidak mau anaknya memilih pasangan yang terbaik, wanita itu hanya menginginkan pasangan yang cocok menjadi menantunya. Wanita itu menginginkan calon yang pas untuk putranya.
Davit masih diam tak bergeming, pria itu masih tidak tau harus menjawab apa, apakah ia harus menerima seseorang yang akan dijodohkan dengannya? Apakah ia harus menolak?
"Yang dikatakan ibumu ini benar, Davit. Kamu itu sudah pantas untuk berkenalan dengan seorang wanita, kita tidak memaksa kamu untuk menikah langsung dengannya di hari itu juga, tapi sebaiknya kamu bertemu dulu dengannya, berkenalan dulu, memasuki masa-masa pendekatan, setelah itu baru kamu memutuskan mau lanjut atau tidak. Kamu berhak memilih kok." Tuan Anderson memberikan pro kepada istrinya. Ia juga setuju dengan pilihan istrinya, ia juga setuju dengan perjodohan ini.
"Kamu mau kan, Davit?"