Evelyn memoleskan make-up tipis pada wajahnya sendiri, gadis itu akan bertemu dengan seorang pria yang akan dijodohkan dengannya. Ia sudah menerima perjodohan itu semua dengan orang tuanya, ia tidak bisa membantah apapun, ia tidak bisa menolak apapun, keputusan yang dipilihkan orang tuanya mungkin adalah keputusan yang paling benar. Keputusan yang diambil orang tuanya mungkin keputusan yang paling ia syukuri nantinya.
"Sudah siap, Evelyn?" tanya Gracia dari lantai bawah, wanita itu sudah siap dengan gaun putih yang melekat di tubuhnya.
"Sudah, Bu. Sebentar lagi Evelyn keluar," jawab Evelyn dari kamarnya. Dengan langkah cepat gadis itu langsung berjalan menuju pintu dan menuruni anak tangga, ia menyusul ayah dan ibunya yang sudah terlebih dahulu duduk di mobil.
"Kita mau ketemu di kafe mana sih, Bu?" tanya Evelyn sambil menutup pintu mobil, gadis dengan gaun putih yang melekat indah di tubuhnya dengan rambut yang dikucir tinggi membuat leher jenjangnya terpatri sempurna.
"Ke kafe langganan kita, kamu tunggu aja deh," sahut ibunya dengan senang, entah senang karena apa, karena akan mendapatkan menantu, karena akan bertemu dengan calon menantu, atau akan bertemu dengan sahabat lamanya.
"Ya udah, Evelyn gak bisa lama-lama tapi ya? Ada pemotretan nanti, Evelyn harus menjalankan pemotretan itu," ujar Evelyn yang langsung dibalas helaan napas.
"Kamu ini ya, seharusnya dibatalkan saja, kita kan mau bertemu dengan calon jodoh kamu, kamu seharusnya senang, bukannya malah seperti ini." Gracia langsung memarahi putrinya, ia tak habis pikir dengan ucapan gila putrinya, bisa-bisanya ia memiliki putri sesibuk ini.
"Gak bisa, Bu. Evelyn itu harus tetap profesional, Evelyn gak mau kalau karir Evelyn hancur hanya karena masalah seperti ini," pekik Evelyn dengan nada yang lebih meninggi.
"Ya sudah, terserah kamu saja."
***
"Pokoknya nanti kamu sapa anak temen ibu itu ya? Kamu harus memperlakukan dia dengan baik. Kamu harus mengajaknya berbicara, jangan sombong ke dia," ucap Camilyn mengingatkan putranya. Ia hanya takut jika putranya menampilkan sesuatu yang sudah menjadi sifatnya, sombong dan malas berbaur dengan luar.
"Awas aja kalau kamu gak ngajak dia ngomong, ibu gak akan maafkan kamu," lanjut Camilyn lagi.
"Iya, Bu."
"Sudah siap semuanya? Ayo kita segera berangkat." Tuan Anderson yang sudah siap dengan tuxedo berwarna putih itu langsung mengajak istri dan anaknya menaiki mobil, ia sendiri yang akan menyetir.
Sebenarnya Tuan Anderson sudah lama tidak mengemudikan mobil, sangat lama malah. Ia hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti kecelakaan. Karena Tuan Anderson gampang sekali lelah, dan saat dirinya lelah ia tidak bisa mengemudi dengan baik.
Oleh sebab itu Anderson lebih senang berpergian bersama supir.
***
"Pokoknya nanti kamu harus berjalan dengan anggun, tunjukkan ke dia kalau kamu adalah model papan atas yang paling disenangi banyak orang. Tunjukkan ke mereka semua kalau kamu adalah seseorang yang berhak menjadi pendamping hidup putra mereka." Gracia tidak lelah untuk mengingatkan kepada putrinya kalau putrinya harus menunjukkan karakter yang baik nanti.
"Iya, Bu. Ibu gak perlu ngomong gitu aja Evelyn udah tau kok," sahut Evelyn dengan raut wajah murung. Gadis itu sebenarnya ingin menolak, namun ia tidak mau membuat dosa besar hanya karena menolak keinginan orang tua.
"Ayah jamin seratus persen kalau kamu suka sama dia, dia itu pengusaha kaya, pengusaha sukses, pengusaha terkenal, pokoknya dia itu segalanya buat kamu, Evelyn. Kamu gak perlu lagi ngembangin karir atau apapun itu, kalau kamu sama dia aja udah bahagia lahir batin." Tuan Watson langsung mengungkap hal demikian kepada putrinya. Ia yakin putrinya menyukai kejutan seperti ini. Ia yakin putrinya menerima itu semua.
"Kenapa ayah bisa seyakin itu kalau Evelyn bakalan suka sama dia?" tanya Evelyn dengan curiga.
Tuan Watson hanya bisa terkekeh geli melihat putrinya yang sebentar lagi akan menikah. "Karena kamu itu selalu mengedepankan uang, kamu selalu menganggap uang segalanya. Dia adalah pebisnis yang sangat hebat sampai uangnya di mana-mana, makanya ayah yakin kalau kamu dan dia akan menjadi pasangan yang serasi," sahut ayahnya yang tentu saja bercanda.
Evelyn memang menyukai uang, Evelyn memang mengedepankan uang, tapi ia tidak materialistis juga, ia malah lebih senang bekerja dari hasil keringatnya sendiri, seperti dengan cara melakukan modeling atau lainnya.
Model adalah hobi yang dari dulu Evelyn lakukan, bahkan Evelyn sering memenangkan ajang lomba model dari kecil, dan gadis itu selalu memenangkan pertandingannya.
"Ayah ini! Aku emang suka sama uang, tapi aku gak materialis kok," elak Evelyn yang tidak terima dengan sebutan ayahnya itu.
"Iya-iya ayah tau, ya sudah ayah minta maaf ya. Kamu itu anak yang paling baik kok, kamu itu anak yang sangat cerdas, anak yang sangat bisa ayah andalkan."
Gracia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah dari ayah dan putrinya, ia sama sekali tidak mengerti mengapa bisa seperti ini, mengapa seorang ayah dan putrinya senang sekali bercanda.
"Pokoknya kamu tenang aja, Evelyn. Ibu yakin kalau calon kamu akan mengenal kamu, ibu yakin kalau dia akan mengizinkan kamu untuk bekerja menjadi model juga tentunya. Kamu itu berhak menjadi model sampai kapanpun, asalkan kamu tidak melupakan menikah."
Evelyn mengangguk setuju, ia sudah tidak peduli ke depannya akan seperti apa. Ia sudah tidak peduli ke depannya harus bagaimana. Gadis itu hanya ingin menyenangkan orang tuanya saja. Gadis itu hanya ingin berbakti kepada orang tua.
***
"Ayah yakin kalau kamu akan menyukai gadis itu, Davit. Gadis itu sangat mandiri, ia senang sekali mencari uang sendiri, yang pasti ia tidak akan merepotkanmu. Yang pasti ia akan bekerja sendiri." Anderson langsung mengucapkan kalimat yang dari tadi terus-menerus menyombongkan calon perempuan yang akan menjadi jodohnya.
Seolah perempuan itu barang yang sedari tadi ditawarkan kelebihannya, ucapan Tuan Anderson hanyalah ucapan lalu lalang yang Davit dengar lalu keluarkan. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan terus-menerus.
"Aku gak masalah kalaupun dia mau menghabiskan hartaku. Seharusnya dia sadar kalau menjadi seorang istri seharusnya dia di rumah saja dan duduk dengan tenang. Seharusnya dia sadar kalau dia seharusnya menjadi ibu rumah tangga yang baik."
Berbeda halnya dengan pemikiran Tuan Anderson, Davit malah lebih menyukai seseorang yang lebih mengabdi kepada suami, bukan kepada pekerjaan. Davit tidak suka dengan perempuan yang gila pekerjaan.
"Yang terpenting dia masuk ke dalam kriteria menantu idaman dari ayah," ujar Tuan Anderson final.
Mobil yang mereka kendarai telah sampai di kafe pilihan, mereka menurunkan kaki masing-masing lalu melangkahkan kakinya menuju kafe tempat yang sudah mereka janjikan.
"Pokoknya kamu harus senyum, harus ramah, tampilkan pesona kamu kalau kamu adalah seorang pebisnis yang terkenal."
"Iya, Bu."
Davit bersama ayah dan ibunya memasuki ruangan yang memang sudah dipesan khusus hanya untuk perjodohan. Pria itu nampak berwibawa dengan tuxedo putihnya. Melangkah maju dengan berani menampilkan pesonanya sebagai seorang pebisnis hebat.
"Davit?"