Malam berjalan seperti berlari. Rasanya belum lama tadi, orang-orang berada di masjid untuk melaksanakan sholat maghrib, sekarang malah sudah mulai azan lagi, pertanda sudah masuk waktu isya.
Desa Pedekik yang damai di malam hari. Walaupun masih satu pulau dengan kota bengkalis, tapi desa yang dihuni lebih kurang dua ribu jiwa penduduk ini tampak asri. Suasana perkampungan masih sangat terasa. Sepanjang jalan masih banyak ditemui kebun karet yang menjadi salah satu mata pencarian penduduk di desa pedekik ini. Di sekitar perkarangan rumah warga masih banyak kita jumpai pohon kelapa. Pohon Niur kalau bahasa orang melayu.
"Pedekik" merupakan satu kata yang cukup asing bila kita cermati lebih dalam. Apalagi bagi mereka yang baru pertama kali mendengar. Khususnya bagi orang atau masyarakat umum yang tinggal diluar Desa Pedekik. Jika kita cari kata "pedekik" ini dalam kamus bahasa manapun, mungkin tidak akan pernah ketemu. Karena memang secara etimologi kata Pedekik tidak memiliki arti. Sehingga muncul pertanyaan, Apa sebenarnya arti dari kata Pedekik? Dari mana kata ini berasal? He he biarlah waktu yang akan menjawabnya.
Yuliana memasuki perkarangan rumahnya yang luas. Rumahnya sekitar tiga ratus meter dari jalan besar. Begitulah rumah orang di desa pedekik ini, jarang-jarang berada di pinggir jalan, karena rumah penduduk disini mempunyai halaman yang luas-luas.
Rumah Yuliana memang terkesan sederhana saja. Rumah papan dengan cat warna kuning. Walaupun sederhana, tapi rumahnya sedap dipandang mata, Bersih, membuat betah orang yang tinggal di sana.
"Malam baru pulang, Yul?" sebuah suara menyapa Yuliana dari arah dapur. Nampak seraut wajah wanita yang ayu muncul di sana. Ia menggunakan gamis biru muda. Wajahnya bening walau mulai terlihat ada kerutan samar-samar di sekitar matanya. Ia adalah kakak Yuliana yang sulung. Nana namanya. Ia adalah ibu muda anak dua. Suaminya sudah dua tahun kerja sebagai TKI di Negara tetangga, belum pulang-pulang, bahkan kabar berita darinya pun tidak ada sama sekali. Karena ia hanya tinggal bertiga dengan anaknya yang masih kecil, oleh orang tuanya, ia diminta untuk tinggal satu rumah bersama kedua orang tuanya. Di sini.
Yuliana masih ingat lagi, dahulu, semenjak abang iparnya tidak ada kabar berita, kakaknya ini sering termenung, kadang kala, anaknya sempat tak terurus. Sudah sering orang tuanya menasehati, memang berhasil, tapi tidak bertahan lama, paling dua minggu, setelah itu kambuh lagi. Sempat juga dibawa ke RSUD Bengkalis, kata dokter, tidak ada sakit, hanya beban pikiran saja, paling-paling satu bulan sembuh. Tapi nyatanya setahun lebih masih tetap sama keadaannya.
Pernah juga orang tuanya membawa kakaknya ke kediaman seorang kiyai. Diberi air lam kata orang bengkalis.
Air lam itu adalah air biasa yang sudah dibaca ayat-ayat Al-Qur'an. Sejak itu keadaan kakaknya sempat membaik sekitar dua bulan, tapi setelah itu, kambuh lagi.
Hingga setengah tahun yang lalu, kehidupan kakaknya berubah total. Alhamdulillah kesehatannya sudah pulih total, bahkan kakaknya bisa mengajar atau mengasuh anak-anak di sebuah play group.
Baru dua bulan belakangan ini, Yuliana tahu salah satu alasan kesembuhan kakaknya adalah karena perantaraan Mumu.
Yuliana masih ingat lagi, waktu itu hari sudah sore, ia sedang duduk di beranda depan rumahnya, tiba-tiba ia melihat kakaknya pulang entah dari mana dengan berjalan kaki. Tak jauh dibelakang kakaknya, ada seorang pemuda yang juga berjalan kaki sambil menuntun sepeda federalnya. Waktu itu Yuliana belum perasan jika ia kuliah satu angkatan dengan Mumu tapi beda jurusan.
"Maaf, kak, apa benar ini rumahnya pak Yusuf?" tiba-tiba pemuda tersebut bertanya kepadanya. Yuliana agak tergagap mau menjawab. Karena ia ingin cepat-cepat menghampiri kakaknya.
"Kakak dari mana saja? semua jadi risau melihat kakak belum pulang. Kakak istirahat dulu ya, Yuli mau ngabari bapak sama emak dahulu." kata yuliana sambil meraih tangan kakaknya untuk duduk di kursi depan rumahnya. Setelah itu baru ia berkata kepada pemuda tersebut, "Silahkan duduk, dik. Ini memang rumah pak Yusuf, saya anaknya dan yang adik antar tadi itu adalah kakak saya." Yuliana sengaja berkata bahwa pemuda tersebut mengantar kakaknya, walau dihati masih terdapat sedikit keraguan. Soalnya, pemuda tersebut entah orang mana. Kalau anak-anak muda di desa ini, ia kenal semua wajahnya, walau tidak kenal semua namanya.
Pemuda tersebut nampaknya tanggap dengan cara Yuliana bicara.
Pemuda itu langsung duduk di kursi dihadapan Yuliana, setelah itu berkatalah ia, "Maaf sebelumnya, kak. Nama saya Mumu. Syukurlah kalau ini memang rumah pak Yusuf. Tadi saya melihat kakaknya kakak sedang duduk termenung di samping pintu gerbang RSUD. Saya tanya, tapi ia tidak menjawab. kakaknya kakak hanya menunjuk arah desa ini. Jadi saya coba ajak ia berjalan ke arah sini, ternyata ia mau." Oo ternyata si Mumu. Jauh kali Mumu terpelesat di RSUD. Ia tinggal di Damon, sedangkan RSUD berada di Kelapa Pati Laut.
Yuliana terkejut, setelah menenangkan perasaannya, ia berkata, "Saya Yuliana, panggil saja Yuli. Terima kasih banyak karena sudi mengantar kakak saya hingga sampai di rumah." Setelah diam sebentar, Yuliana berkata lagi, "Jauh sekali Mumu jalan kaki bersama kakak. Dari RSUD ke desa ini, lebih kurang dua kilometer. Terus, dari mana tahu, arah rumah kami?"
"Kalau jalan kaki saya sudah biasa, Kak. Namanya orang kampung," kata Mumu sambil tersenyum kecil, lanjutnya, "Tadi diperbatasan desa ini, ada bapak-bapak yang mengenali kakak kak Yuli, dia dialah yang memberi tahu alamat rumah ini."
Yuliana menarik nafas lega, disamping itu, terselip juga rasa kagum terhadap pemuda yang di hadapannya, yang mau saja menolong orang lain. Pada hal ia tidak kenal sama sekali.
"Sebentar ya, saya buat minuman dulu, bapak sama mak, sudah saya beri tahu, sebentar lagi mereka pulang."
"Jangan repot-repot, Kak. Air putih saja sudah cukup." Mumu memang terasa haus setelah berjalan kaki tadi.
"Tidak merepotkan kok." kata Yuliana sambil berjalan ke arah dapur. Kakak Yuliana tiba-tiba berdiri dan berjalan mengikuti Yuliana ke belakang.
Mumu menarik nafas perlahan-lahan dari hidung, ditahan sebentar di perut, setelah itu baru dilepaskan lagi dari mulut. Gerakan pernafasan tersebut diulangnya sampai tiga kali. Badannya pun kembali fit. Tidak lemah lagi.
Mumu melihat sebuah motor jenis bebek yang memasuki halaman rumah ini. Mungkin orang tua kak Yuli, pikir Mumu.
Setelah memarkir motornya, bapak tersebut langsung menyalami Mumu dan berkata "Terima kasih, Nak, karena telah sudi mengantar anak bapak pulang ke rumah." lalu ia duduk di kursi samping Mumu, sedangkan isterinya langsung memasuki rumahnya dari pintu samping.
"Kebetulan saja, Pak."
"Kebetulan atau tidak yang jelas, anak sudah menolong anak bapak.." Pak Yusuf tetap ngotot. " Anak ini siapa namanya dan tinggal di mana?"
Saya Mumu, Pak. Saya tinggal di Damon, menjaga sekolah play group, Pak." Dilihatnya Yuliana datang membawa nampan yang berisi Teh, air mineral dan kue. "Silahkan Mumu." Yuliana tidak ikut duduk tapi langsung ke belakang.
Itulah adat. Bagi masyarakat melayu, tidak sopan jika seorang anak mengikuti pembicaraan orang tuanya. Apalagi ia adalah anak perempuan.
"Minum, Nak!" pak Yusuf mempersilakan. "Jadi nak Mumu kerja sebagai penjaga play group. Tapi kenapa kok berada di Rumah Sakit?"
Mereka terus bicara. Ketika dilihatnya matahari sudah semakin condong ke arah barat, Mumu lalu pamit mohon diri. Semoga saja bisa sampai di rumah sebelum maghrib. Sikayuhnya sepedanya pelan-pelan. Pas jalanan lengang, baru dibalap sekencang-kencangnya. Peluh mulai mengalir. Tapi ia tak peduli. Dikayuh lagi sepedanya. Lagi dan lagi.
***