Chereads / Cinta Laki-laki Pemarah / Chapter 14 - Memang Seperti Itulah Dia

Chapter 14 - Memang Seperti Itulah Dia

Angin sepoi-sepoi yang datang dari arah selatan menerpa wajah Mumu. Menyegarkan sekali. Mentari baru saja terbit, sinarnya yang lembut tidak membuat panas kulit, malah terasa menyehatkan. Mumu merentangkan kedua tangannya sambil menghirup nafas dalam-dalam. Betapa menyegarkan. Rongga dadanya terasa lapang. Lalu ia berjalan menyusuri jalan setapak yang terbentang di hadapannya. Di kiri-kanan jalan itu, terbentang sawah yang menghijau. Bulir-bulir pada mulai bermunculan satu persatu di antara batang-batang padi tersebut. Burung-burung pipit terbang mengitari sawah-sawah yang menghijau, mengincar bulir-bulir yang mulai rumbuh.

Sesekali terdengar suara kaleng atau besi yang beradu sehingga mengeluarkan bunyi untuk menakuti burung pipit yang berterbangan tanpa kenal lelah.

Besi atau kaleng itu ditarik dari gubuk atau huma yang dibangun ditengah sawah-sawah.

Mumu terus berjalan dengan santai, semakin lama semakin jauh meninggalkan kawasan persawahan tadi. Dikejahuan, Mumu seperti melihat sebuah kampung. Ia pun bergegas menuju ke sana.

Ketika sampai di kawasan perkampungan tersebut, Mumu disambut dengan pemandangan semacam gubuk yang ternyata adalah warung-warung yang berjejer rapi di kedua sisi. Bangunan gubuk tersebut dibangun menggunakan kayu sebagai rangka penyangga dan juga dedaunan kering yang disusun rapih sebagai atapnya. Warung-warung tersebut menjajakan berbagai macam makanan, mulai dari jajanan pasar hingga berbagai buah-buahan yang digantung seperti pisang, manggis dan rambutan.

Mumu semakin heran, berada dimanakah ia sekarang ini. Ini bukanlah kota bengkalis yang ia kenal, juga bukan kampung kelahirannya. Semakin jauh ia memasuki perkampungan tersebut, terdapat sebuah plang yang bertuliskan 'Kampoeng Dalam' yang tampak besar sebagai penanda tempat tersebut.

Di sepanjang kampung dalam ini, terdapat sebuah sungai yang sangat panjang berkelok-kelok seperti naga.

Di sepanjang tepian sungai ini, berjejer kaum wanita, yang sedang menyuci pakaian sambil bersenda gurau, seolah-olah, tiada beban hidup yang harus mereka hadapi.

Berada agak ke pinggir sungai, terdapat anak-anak yang bermain air sambil sesekali menganggu orang tuanya mencuci. Melihat sungai ini, Mumu merasa ingin sekali mandi, pada hal badannya masih terasa segar. Keinginan itu tiada dapat ditahannya. Oleh sebab itu, ia pun berjalan menyusuri sungai, mencari tempat yang agak sepi untuk mandi.

Mumu sampai di tepian sungai yang agak landai. Ketika dilihatnya tidak ada orang, ia langsung membuka bajunya dan turun ke sungai dengan perlahan-lahan. Tak berani ia langsung terjun, karena ia belum tahu kondisi sungai ini.

Betapa segarnya air sungai ini. Rasanya baru menyelam satu kali, Mumu merasa seolah-olah pikirannya menjadi jernih. Apakah ini khasiat air sungai ini atau hayalannya saja?

Mumu kembali menyelam, ketika kepalanya muncul lagi dipermukaan, ia masih merasakan hal yang sama. Dicobanya sekali lagi, ini bukan khayalan, ia memang merasa hati dan fikirannya menjadi lebih jernih. Ia merasa lebih peka terhadap kondisi alam ini.

Apakah itu hayalan atau nyata, Mumu tak mau menyelam lagi. Kalau memang benar, cukuplah ia mendapat manfaat itu dengan menyelam sebanyak tiga kali. Kata guru ngajinya dahulu, hal yang baik, jika dilakukan secara berlebihan, akan mengakibatkan efek yang tidak baik, jadi Mumu tak mau serakah.

Mungkin itu hanya pikiran kolotnya saja, tapi memang begitulah dia, jika ia sudah menyakininya, tak akan ia peduli hal-hal lain yang akan memengaruhi hatinya.

Setelah mandi Mumu kembali berjalan entah kemana. Ia hanya mengikuti kemana kakinya mau melangkah. Sekitar sepenanakan nasi kemudian, sampailah ia di sebuah pategalan atau lahan kosong bekas tanaman jagung.

Ternyata jagungnya sudah selesai dipanen.

Baru berjalan beberapa langkah, Mumu melihat ada orang tua yang sudah berumur kira-kira tujuh puluhan tahun, sedang membawa satu karung besar jagung. Jalannya agak terseok-seok, kepayahan membawa beban di pundaknya. Rambutnya yang sudah memutih, menutupi wajahnya sebagian. Wajahnya yang berkeringat terlihat agak pucat. Nafasnya pun ngos-ngosan.

Mumu mempercepat langkahnya, setelah dekat, ia pun menyapa kakek itu dengan sopan.

"Mau di bawa ke mana jagungnya, Kek?"

Setelah menatap Mumu sejenak, orang tua itu berkata dengan logat melayu bengkalis atau Siak,

"Kakek mau pulang, nak, anak ni ndak kemano?"

"Sayo hanyo jalan-jalan ajo, Kek," Mumu ikut-ikutan berbicara dengan logat melayu. "Rumah kakek dimano?"

"Masih agak jauh dari sini, ndak. Pas di simpang empat di ujung sano tu, belok kanan, nanti ado tikungan ke kiri, setelah tikungan itulah rumah kakek." jelas orang tua itu dengan nafas yang belum teratur benar.

"Biar sayo ajo yang bawak jagung ini, kek, kakek jalan ajo di depan," kata Mumu sambil mengangkat karung yang berisi jagung. Ternyata memang berat juga.

"Terimo kasih banyaklah yo, nak." kakek tua itu lngsung berdiri memimpin jalan.

mereka pun berjalan sambil berbicara tentang alam, tentang burung, tentang sawah dan bermacam-macam lagi.

Karena asyik berbicara dan beban berat dipundaknya, Mumu sedikitpun tidak menyadari bahwa kakek yang terlihat lemah tadi bisa berjalan dengan cepat seolah-olah tidak menginjak tanah.

Tanpa sadar Mumu pun mengimbangi langkah si kakek. Sudah jauh mereka berjalan ditambah lagi dengan beban dipunggungnya, tapi Mumu sedikitpun tidak merasa lelah, bahkan keringat pun tidak ada, jika dalam keadaan biasa, seharusnya nafas Mumu pasti sudah ngos-ngosan. Mumu sepertinya belum juga menyadari keanehan itu, karena ia dengan serius mendengarkan petuah-petuah yang diucapkan oleh kakek tua itu tentang hidup dan kehidupan ini.

Akhirnya sampailah mereka di sebuah gubuk yang sangat sederhana namun terlihat bersih, baik gubuk maupun halamannya.

Di samping kanan jika mau menuju gubuk itu, terdapat tanaman ubi yang subur, di sekitar tanaman ubi ini, terdapat sebuah langgar atau semacam sawung tempat orang biasanya beribadah. Sedangkan di sebelah kiri jalan terdapat bermacam-macam sayur mayur, mulai dari kangkung, bayam dan pare. Sedangkan di belakang gubuk terdapat tanaman cabe yang sedang berbuah lebat.

"Mari masuk, nak," ajak kakek tua itu sambil berjalan dan naik di gubuknya.

Mumu mengikuti kakek tersebut dan melepaskan beban dipundaknya dan diletakkan di dalam gubuk.

"Duduk dulu yo, nak, kakek mau keluo sekejap, tanpa menunggu jawaban dari Mumu, kakek tua itu sudah melangkah keluar sambil membawa golok.

"Iyo lah, kek," Walaupun kakek tersebut sudah tidak kelihatan lagi Mumu tetap menjawabnya. Lalu ia duduk. Memang orang yang pembersih kakek ini, pikirnya. Walaupun hanya sebuah gubuk, tapi membuat betah orang yang datang. Sejurus kemudian terdengar suara,

"Ini ado kelapo mudo, nak, silahkan diminum." Ternyata kakek tua itu sudah kembali dengan membawa satu butir kelapa muda.

"Tak usah lagi, kek. Sayo belum teraso haus lagi, kek. Kakek ajo yang minum ya," melihat kelapa muda hanya satu biji, manakan tega Mumu mau meminumnya.

"He he kamu adalah anak yang baik, tapi rezeki tidak boleh ditolak do, musuh jangan sekali-kali dicari, dan kalau sudah berhadapan, jangan sekali-kali lari. Kelapo ini memang untukmu". Kata kakek tua itu dengan senyum dikulum.

"Tapi kakek sendiri tidak minum," Mumu bersopan santun. "Bagaimana kalau kito bagi duo ajo, kek?" tawarnya kemudian

"Tak usah lagi nak, perut kakek memang tak cocok jika minum air kelapo"

Kakek itu masih tetap menolak, akhirnya setelah didesak, mau tak mau Mumu pun meminumnya hingga habis tak tersisa.

Kakek itu tampak senang sekali, sambil berkata, karena kamu sudah menolong kakek, dan sudah melepaskan dahaga, sekarang kamu boleh pulang," kata kakek tua itu sambil memasukkan sesuatu di saku Mumu.

Mumu heran melihat si kakek yang tiba-tiba menyuruhnya pulang.

"Memangnya ado apo, kek?"

"Karena sebentar lagi fajar akan menyingsing," Mumu tambah heran. Fajar apa? kan sekarang masih pagi menjelang siang. Sebelum ia sempat bertanya lagi, Mumu merasakan tubuhnya terangkat ke atas seperti kehilangan bobot, lalu pandangannya menjadi gelap, dan ia tidak ingat apa-apa lagi.

***