"Ada orang yang menyerang dengan tenaga dalam ketika kita latihan tadi."
kata Guntur. Setelah menghela nafasnya, ia berkata lagi, " Tapi syukurlah serangan itu hanya sebentar, kalau tidak entah apa yang akan terjadi dengan kami." Tampaknya Guntur dan Yalis tidak menyadari bahwa mereka berdua sebenarnya sudah ditolong oleh Mumu. Mumu pun tidak berusaha untuk menjelaskan kepada mereka. Biarlah tidak ada orang yang tahu. Yang penting teman-temannya tidak apa-apa dan perguruannya tidak diremehkan oleh orang lain. Itu sudah cukup baginya.
"Untung cuma sebentar." terdengar kasak kusuk pembicaraan di antara para anggota.
"Ya sudahlah, latihan hari ini kita tutup sampai di sini. Kembali ke barisan masing-masing. Kita berdo'a dahulu." akhirnya Yalis membuat keputusan. Biasanya jam segini, mereka masih latihan, tapi dikarenakan ada kejadian yang seperti ini, Yalis dan Guntur memutuskan untuk menyudahi latihan hari ini.
Mereka berdua terbiasa membuat keputusan tanpa harus meminta pendapat Mumu terlebih dahulu. Karena menurut mereka, Mumu itu beda dengan mereka. Mereka berdua naik sabuk sampai ke tingkat asisten pelatih karena usaha mereka sendiri. Beda dengan Mumu, yang naik sabuk karena penghargaan bahwa ia tekun berlatih saja, bukan karena usaha Mumu sendiri.
Memang dahulu, setiap latihan laga, Mumu tak pernah menang lawan mereka. Begitu juga dengan latihan seni, mereka sudah hafal diluar kepala setiap gerakan seni, Mumu masih berkutat dengan gerakan seni yang jurus-jurus awal. Butuh waktu lama bagi Mumu untuk menyelesaikan gerakan seni yang berjumlah ratusan gerakan itu.
Tentu saja mereka berdua tidak tahu bahwa baru-baru ini, Mumu sudah mengalami sedikit perubahan. Ia lebih giat dalam berlatih. Lebih cepat dalam menghafal gerakan silat. Tak kalah pentingnya, kekuatan fisik Mumu pun bertambah berlipat-lipat. Walaupun hal tersebut belum sepenuhnya disadari oleh Mumu.
"Setelah selesai latihan, kita langsung ke rumah kak Ita ya," kata Guntur dengan suara pelan kepada Yalis.
Kak Ita adalah salah seorang kakak pelatih mereka. Dia yang menjadi penanggung jawab komisariat silat yang di SMP 1 ini.
"Mengapa?" tanya Yalis.
"Melapor kejadian ini. Pelatih kita harus tahu."
"Ooo baik lah," Yalis menganggukkan kepalanya. "Mumu kita ajak tak?" tanyanya kemudian.
"Tak perlu, kita berdua sudah cukup." jawab guntur singkat. Mereka berdua tersenyum, mengerti apa yang mereka fikirkan satu sama lain tentang Mumu.
Mumu bagi mereka ibarat 'anak bawang'. Istilah anak bawang biasanya sering dipakai oleh anak-anak yang sedang bermain, untuk menunjuk kepada mereka yang masih terlalu kecil untuk diperhitungkan. Si Anak Bawang boleh ikut main, tapi ia boleh menolak untuk kalah. Namun tidak hanya dalam permainan anak-anak, dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang dewasa pun kita kerap menjumpai anak bawang. Anak bawang bisa mengacu pada mereka yang usahanya tidak diperhitungkan. Seperti anggapan Guntur dan Yalis terhadap Mumu ini.
Ada atau tidak Mumu tak ada pengaruhnya bagi mereka. Oleh karena itu mereka merasa tak perlu mengajak Mumu. Mereka berdua saja lebih dari cukup untuk melapor kejadian ini.
Selain alasan itu, mereka juga tidak ingin Mumu menjadi penghambat perjalanan mereka. Karena mereka berdua menggunakan sepeda motor sedangkan Mumu mengendarai sepeda biasa.
Dalam pada itu, yang tidak disadari oleh Guntur dan Yalis adalah, ternyata pembicaraan mereka berdua juga didengar oleh Mumu.
Walaupun Mumu berada di belakang barisan anggota yang lain, sedangkan Yalis dan Guntur berada di sebelah depan barisan, dan berbicara dengan suara pelan, tapi entah mengapa, suara mereka bisa sampai di telinga Mumu.
Mumu tak terlalu peduli dengan isi pembicaraan kedua kawannya. Sekarang ini ia hanya merasa takjub dan merasa penuh rasa syukur akan kelebihan yang baru-baru ini ia rasakan. Dalam keadaan normal, seharusnya ia tidak akan mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua temannya. Tapi ternyata ia masih bisa mendengar dengan jelas, walaupun suaranya terdengar pelan. Itu adalah suatu karunia yang Allah berikan kepadanya. Sudah semestinya ia bersyukur kepada-Nya.
Setelah selesai do'a dan bersalaman, Mumu dan anggota yang lain berbondong-bondong pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan Yalis dan Guntur langsung tancap gas menuju desa Senggoro belakang. Tujuan mereka adalah rumah salah seorang pelatih senior mereka kak Ita.
Kak Ita selain pelatih senior, dan sebagai penanggung jawab atas komisariat di SMP 1 Bengkalis ini, dia juga mengajar di SMP ini. Kak Zulfan, suami kak Ita juga pelatih senior. Dalam tata keilmuan kebatinan, kak Zulfan ini termasuk yang senior juga. Hanya ada tiga pelatih yang setara dengan Kak Zulfan dalam hal kebatinan ini.
***
Dalam pada itu, di bawah sebatang pohon akasia yang ditanam berjejer sepanjang pagar sekolah SMP 1, lebih kurang tiga ratus meter dari tempat latihan silat yang barusan ditinggalkan oleh rombongan Mumu dan kawan-kawan.
Tampak seorang laki-laki paro baya sedang duduk bersandarkan pohon akasia itu. Perawakannya sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah. Menggunakan celana polo warna hitam, baju kaos pun warna hitam.
Di atas kepalanya yang sudah mulai bermunculan uban satu satu itu, bertengger topi model koboy warna coklat yang sudah mulai usang.
Matanya seperti mata elang, yang membuat takut siapa saja yang menatap langsung ke kedalaman matanya.
Tapi saat ini mata itu terlihat sayu, ditambah dengan raut wajahnya yang kuyu, pucat pasi.
Sesekali ia terbatuk-batuk. Ketika batuk, maka akan ada darah yang merembes keluar dari mulutnya. Sepertinya dia sedang terluka. Sesekali tampak ia berusaha untuk mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
Kasihan sekali bapak paro baya itu.
Tak ada yang menolongnya.
Sesekali terdengar makiannya disela-sela batuknya yang belum kunjung reda.
'Ternyata aku dijebak. Terpancing akan keadaan yang seolah-olah mereka dalam keadaan lemah ternyata ada senior mereka yang menjaga secara diam-diam. Padahal sudah berkali-kali aku amati, memang tak ada pelatih senior di tempat latihan tersebut, yang ada hanya anak-anak ingusan yang tak berarti apa-apa bagiku. Tak kusangka, ada seseorang yang bersembunyi dan diam-diam menjaga anak ingusan itu latihan. Ini pasti ulah kawan-kawan seperguruan si Pendeko sialan itu. Tak mungkin murid-muridnya bisa mencelakaiku sampai separah ini.' bapak tua itu terus mengomel tanpa henti. Yang membuat dia tampak marah karena dia tidak bisa mendeteksi orang yang menjaga dan membalikkan serangannya tadi. Sampai-sampai ia tak sempat untuk mengatur jalan pernafasannya dengan baik.
Sebenarnya siapakah bapak tua itu?
Sebenarnya dialah orang yang menyerang teman-teman Mumu tadi, si Guntur dan si Yalis tadi. Bapak tua itu memang sengaja memata-matai perguruan silat Mumu ini.
Ketika dilihatnya tidak ada pelatih senior yang melatih hari ini, makanya dia sengaja menyerang dengan menggunakan sedikit tenaga dalamnya. Bukan karena dia kasihan, cuma dia tak mau sampai terjadi kematian yang disebabkan oleh tenaga dalamnya. Terus terang, pak tua ini masih agak segan jika harus berurusan langsung dengan pendiri perguruan silat ini. Tapi jika hanya anak-anak ingusan seperti tadi, atau pelatih-pelatih senior, tidak dianggapnya sama sekali.
Cuma dia sengaja tidak mau berbenturan ilmu dengan pelatih senior Mumu. Karena jika ia berbenturan ilmu secara langsung, maka pasti akan ketahuan oleh si Pendeko, Guru besar Mumu.
Tapi sungguh tak dinyana, nasib baik yang seyogyanya menjadi miliknya, malah menjadi bumerang baginya. Sedikitpun dia tak menyangka, serangan yang dilakukan secara diam-diam, malah berbalik mengenai dirinya dengan kekuatan yang menjadi berlipat-lipat.
'Siapa sebenarnya yang telah mematahkan serangan dariku?' Omelnya.
Aku tahu pasti, si pendeko itu tidak sedang berada di Bengkalis. Atau jangan-jangan memang ada saudara seperguruannya yang berada di sini?'
Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.
Tentunya pertanyaan itu hanya berada di dalam kepalanya.
'Tapi tak mungkin, menurut informasi, saudara seperguruannya semuanya berada di Palembang, tidak ada di Riau, apalagi sampai di Bengkalis.' suara hatinya yang lain membantah pendapatnya tadi.
'Atau, jangan-jangan ada di antara murid-muridnya yang sudah tinggi ilmunya yang hampir menyamai si pendeko sendiri?'.
'Ah, mustahil...' Kembali dia membantah pendapatnya sendiri.
Pak tua tersebut masih sibuk dengan berbagai hal di dalam pikirannya, tidak disadari, bahwa waktu terus berjalan, kesehatannya tidak semakin membaik. Yang ada dalam pikirannya hanyalah teka-teki yang ia sendiri pun bingung untuk menjawab, karena berbagai kemungkinan semuanya mustahil baginya.
'Ah sudahlah. Lebih baik aku pulang dulu untuk mengobati luka si*lan ini'. Makinya.
***