Seperti biasa, Mumu menyapu dan mengepel play group tempat tinggalnya. Ini sudah menjadi rutinitas baginya. Ia sangat bersyukur. Tempat tinggal gratis, listrik gratis malah dibayar lagi 200 ribu per bulan.
Cuma tinggal di sini, ia tidak bisa membawa kawan.
Kalau pas tidak ada jadwal kuliah, ia pun harus tetap menyingkir. Tidak bisa lama-lama di sini. Kecuali pas libur. Baru ia bisa bersantai-santai tanpa khawatir ada anak-anak dan para guru yang datang kesini.
Hari ini Mumu hanya ada satu mata kuliah. Itu pun masuk siang nanti. Tapi ia berencana tetap ke kampus pagi ini. Ia mau bertemu dengan Yuli.
Semua ruangan sudah ia pel. Kamar mandi juga sudah disikat sampai bersih. Jangan sampai licin. Kasihan anak-anaknya jika jatuh di kamar mandi nanti.
Masih ada waktu. Mumu push up menjelang mandi.
Semakin hari ia merasakan ada perubahan pada fisiknya. Sekarang ia merasa lebih banyak energi dan ketahanan tubuhnya pun meningkat. Walau pun dari luar tidak kelihatan kekuatan fisiknya. Ia tidak terlalu berotot seperti orang-orang yang biasa ngegym. Perawakannya biasa saja. Cuma ia merasa tenaganya mengalir dengan sempurna.
Setelah push up, Mumu membuat gerakan seperti orang yang berkultivasi yang menyerap energi dari luar agar bisa naik tingkat.
Ini tentunya hanya hayalannya saja karena kebanyakan membaca buku-buku fantasi.
Tak ada yang namanya kultivasi di dunia nyata ini.
Mumu tahu bahwa itu hanya fantasi semata, tapi kadang ia tergoda untuk berkultivasi, walaupun sudah bisa dipastikan hasilnya adalah nol besar.
Semenjak dia berkelahi dengan Ari dan kawan-kawannya, Mumu merasa ia lebih percaya diri.
Bukan karena ia merasa kuat, tapi lebih kepada kesamaan derajat antara sesama manusia.
Kalau dahulu ia agak minder jika ketemu orang kaya atau para pejabat. Kini perasaan itu sudah agak berkurang, bukan berarti ia menjadi sombong tapi lebih kepada kepercayaan pada dirinya sendiri.
Tapi dalam pergaulan sehari-hari ia tetap rendah hati. Ia tetaplah Mumu yang biasa saja pada pandangan orang-orang.
***
Mumu celingak-celinguk sambil mengitari aula kampus.
Inilah salah satu kekurangan orang yang tidak mempunyai handphone. Tidak bisa menghubungi langsung orang yang mau dituju.
Ia hanya bisa mencari tanpa kepastian.
Yuliana mungkin memang tidak ke kampus hari ini. Dengan gontai Mumu pun keluar dari area kampus.
Mumu baru saja membuka kunci sepedanya ketika ada seseorang yang menyapanya.
"Cepat pulang, Mumu? Tak ada mata kuliah hari ini?" Seorang gadis yang memakai jilbab crem sedang meletakkan helmnya di stang motor.
Mumu langsung sumringah. "Kebetulan sekali, Kak." katanya dengan gembira.
Bagaimana tidak gembira, orang yang ia cari-cari dari tadi akhirnya nongol juga.
"Kebetulan apanya?" Yuli tersenyum heran.
Entah mengapa, jika ketemu Mumu, Yuli pasti lebih sering tersenyum. Jika berbicara dengan Mumu, ia merasa nyambung.
"Anu, Kak. Sebetulnya ada yang mau aku bicarakan dengan kakak. Kakak ada mata kuliah sekarang?"
"Tidak. Kakak cuma mau ke Pustaka kampus. Memangnya ada apa?
Buat orang penasaran saja."
Bisa kita bicara di kantin, Kak?"
"Bisa. Yuk lah."
Mereka pun langsung ke kantin kampus yang terletak di samping mushola kampus.
"Pesan lah, Kak. Kakak mau minum apa?"
"Empp tak usah lagi. Kakak masih kenyang. " Yuli merasa segan, karena dia tahu bagaimana kehidupan Mumu di rantauan.
"Tenang saja, Kak. Aku yang bayar." Mumu tertawa kecil.
"Ya udah, kakak pesan air asam aja."
"Bik, air asam satu, ginseng dingin satu." Teriak Mumu kepada penjaga kantin.
"Oke, Mumu, apa yang mau kamu bicarakan sama kakak?" tanya Yuli langsung ke inti permasalahan.
Mumu berdebar. Ada rasa segan mau mengutarakannya. Tapi dia tak punya pilihan lain. Dia tak ada kawan akrab yang mau diminta tolong. Setelah mengatur perasaannya, Mumu berkata, "Aku sebenarnya minta tolong sama kakak. Ini masalah pribadi sebenarnya, Kak. Kalau bisa jangan sampai tahu orang lain."
"Coba Mumu katakan dulu. Kalau memang bisa bantu ya kakak bantu. sebatas kemampuan kakak."
"Terima kasih banyak sebelumnya, Kak." Mumu sangat senang mendengarnya. 'Ini suatu permulaan yang bagus' Pikirnya.
"Begini, Kak. Aku sebenarnya suka dengan kawan kakak. Tapi aku segan untuk mengutarakan langsung kepada dia, Kak.
" Siapa?"
"Zara, Kak. Bisa tak kakak tolong bantu sampaikan kepada dia. Apa respon dia, Kak." Kata Mumu penuh harap.
Berubah raut wajah Yuli mendengarnya. Entah mengapa dihati kecilnya ada semacam rasa tak rela. Tapi cepat-cepat dibuang perasaan itu.
Yuli menghela nafasnya yang tak nyaman, ia berkata, "Bukan kakak tak mau menolong Mumu, tapi apa tanggapan Zara nanti jika Mumu tak mau mengungkapkan langsung perasaan Mumu kepadanya. Nanti dianggapnya Mumu pemuda yang tidak berani."
"Mumu hanya tersenyum. " Ini sebatas penjajakan saja, Kak. Mau melihat responnya dulu. Nanti baru bisa aku ngatur strategi." kata Mumu sok bijak.
"Kalau memang seperti itu, insya Allah kakak akan bantu." Janji Yuli. Hatinya plong. Kan hanya ingin menjajaki perasaan Zara saja. Kira kan disuruh jadi mak comblang.
"Terima kasih banyak ya, Kak!"
"Sama-sama."
***
'Hufft tak mudah untuk berlagak berani di depan gadis, apalagi mengungkap isi hatinya. Walaupun bukan langsung kepada yang bersangkutan.' pikir Mumu.
Ia sekarang lagi duduk di tepi pantai samping pelabuhan Sri Laksmana. Untuk menenangkan dirinya.
Memang dalam beberapa hari terakhir ini ia sudah mengalami perubahan besar dalam dirinya, tapi bukan pula dia akan langsung pede dalam segala hal.
Baginya biar menghadapi musuh dari pada mengungkapkan isi hatinya.
Tapi mau bagaimana pagi. Perasaannya terhadap Zara semakin hari semakin kuat, jika tidak diungkapkan takutnya akan berefek buruk pada dirinya.
Dipandanginya lautan Bengkalis. Nun jauh di sana adalah Pulau Bukit Batu.
Kapal barang sedang membongkar muatannya di pelabuhan barang.
Buruh-buruh yang belerja membanting tulang demi sesuap nasi. untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya di rumah.
Banyak orang berkata bekerja demi sesuap nasi. Tapi Mumu kurang setuju.
Jika bekerja itu demi sesuap nasi, lalu mengapa penjual nasi goreng menjual kembali nasi yang sudah dimilikinya he he.
Mumu lagi memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia lakukan untuk menambah uang kebutuhannya selama dalam perantauan ini.
Pekerjaan yang tidak menganggu kuliahnya.
Sulit juga sebenarnya.
Mau jadi buruh, kuliahnya akan terbengkalai.
Mau melamar jadi guru, ia belum ada kualifikasi untuk itu.
***
Yuli memarkir motornya di halaman rumah Zara. Tadi dia sudah menelpon. Zara hari ini tidak kemana-mana. Dia mau istirahat di rumah.
"Mari, kak. Masuk, Kak." sapa Zara. Dia sedang berdiri di beranda rumahnya. Wajahnya agak lesu. Seperti kurang istirahat.
"Iya, Zara." Yuli berjalan menuju Zara.
"Kamu kenapa, Zara? Kamu sakit?" tanya Yuli.
"Tidak, Kak. Cuma kurang istirahat saja. Ayo masuk, Kak."
Mereka langsung menuju ruang tamu. Rumah Zara luas. Bertingkat.
"Sepi rumahnya, Zara. Mama mu tidak ada?"
"Iya, Kak. Cuma ada Zara sama Pembantu. Mama sama Ayah lagi ada acara di rumah temannya Ayah."
"Oo.
Mereka pun berbicara panjang lebar. Zara bercerita tentang mimpi seram yang dialaminya.
Tanpa terasa waktu terus berlalu. Yuli akhirnya berinisiatif untuk langsung menyampaikan apa yang sudah ia janjikan kepada Mumu.
Apa pun tanggapan Zara nanti itu terserahlah.
Yang penting ia sudah menepati janjinya.
***