Chereads / Cinta Laki-laki Pemarah / Chapter 20 - Suatu Kepastian

Chapter 20 - Suatu Kepastian

Cuaca mulai remang-remang petang.

Sambil menghirup teh dan makan cemilan yang diantar oleh pembantu tadi, Yuli dan Zara masih asyik mengobrol.

"Zara, sebetulnya kakak ada hal yang mau disampaikan." Yuli langsung menjurus ke persoalan yang dibawanya.

Zara tertawa kecil sambil berkata, "Kakak seperti orang lain saja. ngomong saja, kak."

"Tapi Zara jangan marah ya!"

"Ehm." Zara menganggukkan kepalanya.

"Kemaren kakak ketemu sama Mumu. Zara kenal sama Mumu kan?"

"Kenal, Kak." Zara sepertinya tau kemana arah pembicaraan Yuli selanjutnya.

Setelah menarik nafasnya, berkata Yuli, "Dia semalam curhat sama kakak. Intinya dia sebenarnya suka sama Zara. Apa tanggapan Zara?" Yuli memandang wajah Zara. Tapi tidak ada perubahan expresi di wajahnya.

"Aku sudah menduga pasti ujung-ujungnya kakak akan berbicara ke arah itu." Kata Zara santai.

"Bagaimana tanggapan Zara?"

"Mau tanggapan apa lagi, Kak? Kan sudah jelas, Kak. Zara tak ada perasaan apa-apa terhadap Mumu."

"Zara tak mau coba beri kesempatan kepada dia?"

"He he kakak ini lucu lah. Sedangkan Banyak cowok lain yang lebih ganteng, yang dari sisi keluarga termasuk orang yang berada, tak pernah Zara beri kesempatan, Kak. Bukan maksud Zara untuk menyombongkan diri ya, Kak. Kakak tentu paham maksud Zara!"

Yuli hanya bisa menghela nafasnya perlahan-lahan.

Memang benar apa yang dikatakan Zara.

Kalau mau jujur, dinilai dari sisi mana pun, Mumu memang tak masuk kategori sama sekali.

Sebenarnya dihati kecil Yuli juga merasa seperti itu. Tapi dia tak sampai hati untuk mengecewakan Mumu.

Tapi entah mengapa, jika dia di posisi Zara, maka dia akan memberikan kesempatan kepada Mumu. Entah mengapa baginya Mumu tidak sesederhana itu orangnya.

"Untuk saat ini Zara hanya mau fokus pada pendidikan dulu, Kak. Jika sudah lulus S1 nanti Zara mau lanjut ke S2. Jadi Zara belum mau mikir tentang pacaran, jika pun ada yang pasti bukan orang yang seperti Mumu, Kak!" kata Zara dengan yakin. Tapi dia tak menyadari bahwa langit menjadi saksi apa yang dia ucapkan.

Yang namanya masa yang akan datang itu tidak memiliki kepastian yang mutlak. Kita hanya bisa menebak, hanya bisa mengira-ngira. Tidak ada jaminan 100 persen bahwa perkiraan kita itu benar seluruhnya.

***

Langit malam kelam. Angin bertiup dengan kencang. Kota Bengkalis dilanda kegelapan. Cahaya kilat dan petir sambung menyambung. Suaranya membuat dada bergetar, hati menciut. Takut. Listrik PLN mati total. Tak lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya mengguyur kota Bengkalis yang hitam pekat.

Mumu sudah dari tadi mengangkat kasur-kasur dan mainan anak di meja. Takut banjir. Meja belajar ini ia susun berderet di ruang tengah. Meja belajar ada banyak di play group ini.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Mumu kembali berbaring. Petang tadi Yuli datang di Play Group. Mereka berdiri di halaman ketika Yuli mengabarkan hasil dari pertemuannya dengan Zara. Mumu hanya diam mendengarkan setiap kalimat yang diutarakan oleh Yuli.

Walau pun di hati kecilnya Mumu sudah menduga hasilnya akan seperti itu, tapi ia tetap merasa kecewa. Diakhir pembicaraan, ia hanya bisa mengucapkan terima kasih atas bantuan Yuli.

Lama Mumu termenung. Dihela nafasnya berkali-kali seolah-olah ingin membuang kekecewaan yang ia rasakan.

Dikepal tangannya. Ia tidak boleh putus asa! Ia harus berusaha mendapatkan cinta Zara. Itu yang namanya laki-laki. Pantang Menyerah!

Sambil mendengarkan suara hujan yang semkin deras, Mumu membuat berbagai rencana di dalam kepalanya. Tanpa terasa rencananya menjadi angan-angan yang semakin lama semakin manis. Hingga akhirnya ia tertidur dengan mimpi yang indah.

***

Di sebuah rumah petak dua di pinggiran jalan Sri Pulau tampak sesosok tubuh yang sedang duduk diam. Cahaya lilin membuat bayangannya menari-nari mengikuti nyala lilin yang bergoyang tertiup angin.

Sosok manusia itu seperti arca. Diam membisu. Tidak diperdulikannya suara hujan yang sesekali ditingkahi gemuruh petir di langit. Hanya kerutan yang sesekali muncul di raut wajahnya menandakan bahwa laki-laki paruh baya itu masih hidup.

Entah berapa lama dia diam seperti itu. Tatkala batang lilin hanya tinggal sedikit, laki-laki itu membuka kedua matanya. Di sela-sela bibirnya keluar darah merah kehitaman. Setelah menyeka darah itu dengan tisu, pria itu mendesah.

Tak disangka luka dalamnya bisa separah itu. Perlu waktu satu minggu baru dia bisa sembuh total.

Setelah minum ramuan penyembuh luka warisan perguruannya, dia lalu berbaring. Tak lama kemudian dia langsung tertidur.

***

Di sebuah rumah gedung Jalan Pramuka Air Putih. Seorang remaja sedang duduk dengan kepala menunduk. Wajahnya tampak sedikit pucat. Mungkin sedang sakit. Duduk di depannya seorang pria berumur 40an tahun dengan sikap garang. Dalam jepitan antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya terdapat sebatang rokok sampoerna yang sekarang hanya tinggal setengahnya.

Walaupun di luar hujan lebat dan PLN mati, tapi kebalikan dengan rumah gedung ini. Cahaya lampu terang benderang menyinari seluruh ruangan hingga ke halaman.

Bagi orang kaya, jika PLN mati, mereka tinggal menyalakan dieselnya. Jadi mereka tidak akan merasakan gelap gulita walaupun PLN tidak menyala.

Itu lah enaknya jadi orang kaya.

"Kamu sudah papa kuliahkan. Papa belikan motor. Uang jajan tinggal ambil. Tapi apa yang kamu lakukan? Berkelahi! Mau jadi apa kamu?" Dihisapnya rokok dengan kuat. Matanya terpancang ke arah remaja di hadapannya. Remaja tersebut masih tetap diam. Tak berani untuk membela diri.

"Mengapa kamu diam saja? Mau papa pukul biar masuk ke rumah sakit lagi?"

"Bukan Ari sengaja mau berkelahi, pa. Tapi Ari sakit hati karena orang tersebut mau mengambil pacar Ari." Ternyata ini Ari!

"Papa menyuruh kamu kuliah bukan pacaran. Apa lagi sampai berkelahi gara-gara pacar. Kalau pacar kamu tak setia tinggalkan saja. Apa kamu fikir wanita di dunia ini hanya satu?!"

"Pacar Ari setia, Pa. Cuma orang itu sering ganggu dia, terus mencoba merayu dia. Apa pagi jika Ari lagi tidak ada di kampus." Ari terus memutar otaknya mencari cara agar papanya tidak menyalahkan dia.

Papa Ari diam. Walaupun dia tak suka anaknya pacaran dan berkelahi, tapi dia tidak bisa menerima anaknya dipukuli hingga masuk rumah sakit.

Orang tua mana yang tidak sayang kepada anaknya. Apa lagi Ari adalah anak semata wayangnya. Sehingga ia amat menyayangi anaknya ini. Cuma kadang kasih sayangnya yang berlebih itu dimanfaatkan Ari.

Pak Hasan, papanya Ari tidak mau menyelidiki punca masalah Ari berkelahi. Yang ia tahu adalah anaknya Ari dipukul orang sampai masuk rumah sakit. Jika dia tahu siapa memukul siapa, pasti dia akan sangat malu. Bagaimana tidak, Ari dan gengnya dipecundangi oleh satu orang.

"Mengapa kamu bisa kalah? Memangnya yang mukul kamu itu preman?"

"Bukan, Pa. Dia satu kuliah sama Ari, Pa cuma lain jurusan?"

"Kok kamu bisa kalah? kamukan sudah lama belajar karate."

Ari tergagap. "Dia membawa kawan, Pa. Kami kalah jumlah. Makanya Ari sama kawan Ari jadi babak belur." Demi menyelamatkan diri dari kemarahan papanya, Ari memutarbalikkan fakta.

Orang seperti Ari ini sangat berbahaya. Mengarang-ngarang cerita demi keselamatan dirinya sendiri.

***