"Yang namanya sanksi tak ada pilih-pilih, bro. Sedang melatih saja tak boleh apa lagi ikut berlatih, bro." Guntur yang dari tadi diam ikut bicara. "Tapi kalau alasan kamu masuk akal, mungkin kamu tidak kena sanksi, bro."
Mumu sedikit ragu. Setelah terdiam sejenak ia memilih tidak mengatakan alasan yang sebenarnya. Biarlah ia diskor selama satu bulan. Ini menjadi pelajarannya di masa depan agar tidak lagi bersikap implusif.
Ia tak boleh galau dan terpuruk gara-gara masalah. Apa lagi masalah cinta.
Mencintai seseorang itu lumrah. Artinya kita normal dengan mencintai lawan jenis.
Ditolak cintanya oleh seseorang itu juga wajar. Yang namanya perasaan itu tidak bisa dipaksa. Kadang kala kita suka, orang tidak cinta. Ada juga orang lain suka dengan kita, tapi hati kita pula tidak tertarik dengannya.
Yang tidak biasa adalah cara kita menyikapi cinta itu sendiri.
Galau boleh galau.
Kecewa boleh kecewa.
Tapi jika berlebihan, maka akan berdampak buruk terhadap diri.
***
Waktu terus berlalu. Sore hilang digantikan malam. Malam terus memanjat naik. Semakin malam semakin dingin.
Mumu berusaha untuk tidur. Tergolek ke sana, miring ke sini. Resah.
Jika ia memejamkan matanya, sesekali ia masih terbayang wajah Zara.
Tidak mudah untuk menghilangkan sama sekali. Tapi paling tidak sudah ada sedikit kemajuan. Perasaannya tidak lagi terlalu menggebu-gebu seperti sebelumnya.
Karena tidak bisa tidur akhirnya Mumu menyerah. Jangankan cinta sedangkan mata pun tak bisa ia paksa menurut kehendaknya sendiri. 'Nasib nasib' pikir Mumu.
Akhirnya ia bangun langsung ke dapur. Masih ada persediaan mie instan. Akhirnya ia masak mie di dini hari.
Memang enak makan mie rebus di malam hari. Sambil menghirup kuah panas yang dicampur pedas karena cabe rawit. Walau cuaca dingin nyatanya Mumu berkeringat.
Biasanya orang jika ada masalah ditemani rokok sama kopi. Semakin pahit kopinya semakin rumit permasalahannya. Cuma Mumu tidak merokok dan tidak pengopi. Minum kopi atau minum teh jarang ia lakukan.
Sudah pukul 03.35 dini hari.
Setelah solat tahajud dan solat witir, Mumu masih tetap duduk di atas sajadahnya.
Ia mulai bermeditasi. Nafasnya keluar masuk dengan tenang. Walau pun ia belum merasa ada manfaatnya dari meditasi ini, tapi ia tak bosan untuk melakukannya.
Makanya di setiap ada kesempatan, ia pasti akan melakukan meditasi ini.
Waktu terus bergulir, tanpa terasa sudah hampir jam 05.00 wib.
Mumu membuka matanya. 'Aku tertidur sambil duduk' pikirnya.
Mumu tak tahu bahwa sebenarnya ia tidak tidur, tapi tanpa sengaja ia telah masuk ke dalam keadaan konsentrasi yang tinggi. Fikirannya seolah-olah memasuki alam bawah sadarnya. Cuma karena belum pernah mendengar atau mempelajarinya, jadi Mumu tidak tahu.
Bahkan ia tidak menyadari bahwa fikirannya menjadi lebih tenang, tidak galau lagi. Bahkan ia tidak merasa ngantuk atau pun lesu karena begadang semalaman.
***
Hari ini mata kuliah praktek bank mini. Inilah pelajaran yang kurang Mumu sukai.
Masalahnya mata kuliah ini mengharuskan mahasiswa langsung praktek di depan komputer menjadi seorang teller bank.
Bukan mata kuliahnya tak bagus, cuma yang mengajar adalah dosen terbang, jadi proses belajar-mengajarnya terkesan tergesa-gesa dalam sekian jam harus selesai sekian SKS.
Bagi Mumu ini berat. Karena proses pemahamannya tidaklah terlalu cepat jika berkaitan dengan praktek.
Mumu sedang duduk di perpustakaan kampus sambil membaca comic yang ia sewa di penyewaan comic. Kepalanya masih terasa berdenyut karena berusaha untuk memahami praktek bank mini tadi. Makanya ia berusaha mendinginkan kepalanya dengan membaca comic. Biar refresh otaknya.
Seorang wanita keluar dari ruangan akademik berjalan menuju pustaka. Ruangan akademik dan ruangan pustaka kampus hanya dipisahkan oleh lorong kecil.
Setelah menyapa Petugas pustaka, wanita tersebut langsung berjalan ke arah Mumu.
"Mumu dipanggil Ketua Prodi di ruangannya."
Mumu terkejut, "Ada hal apa ya, kak?"
"Tak tahu, tanya aja langsung ke Pak Kaprodi nanti."
"Terima kasih banyak, Kak." Setelah menyimpan comic di dalam tasnya, Mumu langsung menujunke ruangan Kaprodi KPSnya.
"Tok tok tok" Mumu mengetuk pintu sebelum masuk.
"Duduk, Mumu." Pak Fitriyanto berperawakan agak kurus tinggi sedang duduk di seberang meja setengah biro.
Mumu duduk sambil berusaha tersenyum menyapa Pak Fitriyanto. Dadanya berdebar, tak tahu apa yang akan disampaikan oleh Kepala Prodi ini.
"Sibuk hari ini, Mumu?" sapa Pak Fitiyanto
"Tidak, Pak. Hari ini cuma satu mata kuliah." Jawab Mumu sopan.
"Baru-baru ini saya mendapat kabar bahwa kamu berkelahi?"
Mumu terkejut, "Saya tak pernah berkelahi, Pak."
Mumu tahu aturan kampus yang tidak membolehkan perkelahian di area kampus.
Pak Fitriyanto melepas kaca matanya. Dipandang wajah mahasiswanya ini sambil berkata, "Kamu tak boleh berbohong kepada orang yang lebih tua, Mumu."
"Saya serius, Pak. Saya tak pernah berkelahi di kampus!"
"Saya mendapat laporan bahwa kamu mengeroyok Ari anak Akuntansi."
"Siapa yang mengatakan kepada Bapak?"
"Ada laporan masuk hari ini." Pak Fitriyanto tidak berusaha mengatakan orang yang melapor.
" Akhirnya ketahuan kan kalau kamu berkelahi. Tadi tak mau ngaku!" Sinis Pak Fitriyanto.
"Bukan seperti itu, Pak..." Mumu berusaha menjelaskan. "Memang saya pernah berkelahi tapi tidak di kampus."
"Tapi kamu mengajak teman-temanmu untuk mengeroyok Ari kan?"
"Tidak, Pak."
"Jangan berbohong kamu, Mumu!" Suara Pak Fitrianto agak tinggi.
Mumu menarik nafas dalam-dalam.
"Sejak kapan kampus mengurusi perkelahian di luar kampus, Pak?"
Pak Fitriyanto terdiam. Memang tak ada aturan yang mengatur tingkah laku mahasiswa di luar kampus selama mereka tidak membawa-bawa nama kampus.
Tapi masalahnya, ini perintah langsung dari sang ketua Yayasan untuk menindaklanjuti kasus perkelahian ini.
"Saya tak tahu siapa yang telah melapor kepada Bapak dan apa motifnya. Yang jelas untuk sepengetahuan Bapak, memang telah terjadi perkelahian antara saya dan Ari. Tapi saya tidak mengeroyoknya. Saya hanya sendiri waktu itu." Mumu tak menjelaskan bahwa Ari lah yang mengeroyoknya. Nanti timbul lagi banyak pertanyaan dari pak Prodi ini.
"Bapak tak tahu siapa yang bicara benar untuk saat ini. Tapi karena laporan ini sudah masuk ke Bapak dan ke Kaprodi Akuntansi, jadi Bapak tetap harus mengambil tindakan." Pak Fitriyanto memberikan surat kepada Mumu.
"Itu adalah surat teguran pertama kepadamu. Jika masalah ini terulang lagi kamu pasti sudah tahu konsekuwensinya."
Mumu terlalu malas untuk berdebat. Karena ia tahu, Pak Kaprodi ini hanya alat. Yang hanya menyampaikan hukuman terhadap dirinya. Sedangkan hukuman itu sendiri sudah diputuskan oleh seseorang yang lebih tinggi pangkatnya dari pak Kaprodi ini.
Tanpa membuka surat teguran tersebut Mumu pamit kepada Pak Fitriyanto, sambil membuka pintu ia masih sempat berkata, "Terima kasih atas keputusan ini, Pak. Saya yakin Bapak telah membuat keputusan ini dengan adil dan bijaksana..."
***