Kamu bukanlah luka, karena saat-saat bersamamu adalah bahagia
.
.
.
Rendra memasuki ruang kamar nomor 333 dan melihat Bagas yang sedang sibuk dengan kertas-kertas besarnya. Ia melihat-lihat sekilas lalu duduk di sofa, Bagas beralih pada laptopnya.
"Kenapa menatapku begitu." Tanya Bagas tanpa mengalihkan pandangan dari laptop. Rendra tertawa kecil. "Alena tidak mengancammu untuk membuatkan makan malam romantis malam ini?" tanyanya.
"Fotomodel itu sedang berada di luar kota untuk syuting videoklip."
"Pantas...satu minggu lebih dia belum memberiku tempat yang layak."
"Hei...ini kamar terbaik di seluruh hotel di dunia."
"Tetap saja. Ok, lupakan. Bagaimana gadis itu, dia sudah berubah?" katanya, kali ini ia menoleh Rendra.
"Dia?" tiba-tiba saja ia teringat sosok Arini.
"Dia masih pendiam, tetapi saat dia mulai berbicara aku tidak ingin membuatnya berhenti. Dia sudah bisa merasa kesal dengan seseorang, dan rasanya menyenangkan. Di usianya yang sekarang dia masih belum bisa memasak dengan benar."
"Alena seperti itu?" Bagas mengernyitkan dahi.
"Apa?" Rendra terkesiap, menoleh ke arah Bagas seakan tersadar dari pikirannya sendiri. Ia mengungkapkan semua yang ada di dalam pikirannya, tapi ini bukan tentang Alena.
***
"Kau berniat menjodohkanku dengannya atau bagaimana?" tanya Arian santai. Arini melihat Arian penuh tanda tanya. Mereka duduk berhadapan di meja restoran Arian. Liburan tahun baru sudah berakhir dan kini mereka harus kembali bekerja.
"Apa?"
"Kamu membicarakannya sejak tadi, sampai-sampai kamu membiarkan ice creammu meleleh. Itu tidak akan enak lagi."
Arini terhenyak. Ia tidak bisa begini terus. Terus-menerus memikirkan Rendra adalah satu hal yang sia-sia. Pria itu terlalu jauh untuknya dan tidak mungkin menjadi miliknya. Ada Alena yang rela berjuang untuk kebahagiaan Rendra, wanita ekspresif itu. Arini sedikit kesal mengingatnya. Dan Rendra sudah memarahinya berulang kali demi wanita itu.
Arini melangkah keluar dari restoran milik Arian. Bertahun-tahun ia mencoba melupakan Rendra tetap tidak bisa. Dan malam di bukit bintang itu mengacaukan lagi tatanan yang sudah tersusun rapi bagai pion-pion dalam permainan skak. Sudah cukup lama hatinya baik-baik saja, walaupun sedikit meranggas ia baik-baik saja. Namun kini ingatan tentang Rendra kembali menyiksanya. Ingatan yang masih tetap singgah walau jarak dan waktu telah memisahkan wajah pria itu dari ingatannya.
Sesuatu yang bening keluar dari kelopak mata Arini. Ia berhenti dan memegang arah jantungnya dengan telapak tangan kanannya. Jerit kesakitan memenuhi rongga dadanya. Perlahan ia mendengar sesenggukan yang ia ciptakan sendiri. Hatinya merintih kesakitan. Tangannya tak membantu, dadanya malah terasa semakin sesak, "aku harus melupakan Rendra kalau aku ingin tetap hidup, aku masih ingin hidup. Aku tidak akan jatuh cinta lagi dan itu artinya aku tak akan patah hati seperti ini."
Ponsel Arini berdering. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding tepi trotoar. Ia mengerjapkan kedua kelopak matanya dan beberapa bulir airmata jatuh. "ya?" Arini mengangkatnya, "baiklah, dimana? Hotel Cenderawasih?"
*
Arini menekan tombol lift. Seusai dari kantor majalah Diva ia berangkat menuju hotel Cenderawasih untuk menyerahkan berkas yang Diva lupa bawa. Sahabatnya itu ada meeting dengan klien yang menginap di hotel ini. Tugasnya sekarang adalah pulang dan tidur. Ting. Pintu lift terbuka. Seorang pria tinggi berdiri di dalam. Arini masuk dan pintu lift tertutup kembali.
"Kamu tidak mengenaliku?" tanya pria itu ragu. Arini menoleh, awalnya ia tidak peduli tapi setelah mengingat lebih jauh wajah pria itu Arini membelalakan mata. Ia menoleh cepat.
"Pak Bagas?" tanya Arini. Pria itu tersenyum.
"Aku kecewa kamu tidak menghubungiku. Awalnya aku berpikir kamu cukup sibuk, ternyata kau benar-benar melupakanku."
"Bukan begitu, hanya saja banyak hal yang harus saya selesaikan. Saya ingin bertanya lebih banyak tentangmu yang menurutku sangat menarik."
"Bagaimana kalau kita makan siang bersama, untuk mengganti rencana yang tertunda waktu itu dan kamu bebas bertanya apapun." Tawar Bagas. Arini menyetujuinya. Mereka saling tersenyum tepat saat suara denting pintu lift terbuka,
"Kalian?"
suara itu?
Apa?
Bagaimana???
.
.
.
Senyum itu? Rendra melihat Bagas dan Arini saling melempar senyuman. Ia tidak bisa melihatnya tersenyum seperti itu kepada orang lain. Karena ia tahu, pria manapun akan bahagia menerima senyuman itu.
.
.
"Arini,"
"Ya?" Arini menoleh cepat, tersenyum cerah ke arah lawan bicaranya sebelum ia terlihat gugup ketika melihat Rendra disampingnya.
"Bolpoin kamu jatuh..." katanya datar. Arini melihat ke lantai kemudian memungut bolpoinnya.
"Thanks," kata Arini sambil tersenyum ke arah Rendra. Rendra hanya melihatnya datar kemudian menoleh ke arah lain.
.
.
Walaupun Rendra tak melihatnya, tetapi ia merasakan Arini masih tersenyum ke arahnya. Hanya saja dahulu hatinya masih terlalu ragu untuk membalas senyuman itu.
Pada kenyataannya Rendra tak mengatakan apapun lagi selain iya dan tidak. Iya ketika sepupu Alena itu bertanya apakah ia dan Arini sudah saling mengenal dan tidak untuk ikut makan siang bersama mereka. Meski Rendra tidak menyukainya, ia tidak ingin senyum Arini meredup. Rendra bisa melihat betapa bahagianya Arini ketika bersama Bagas.
Akibatnya, satu jam lebih Rendra menjadi cemas tak beralasan di ruang kerjanya. Dilema antara menelpon Arini atau tidak. Tapi tidak, ia akan terlihat konyol. Namun hatinya semakin tidak tenang. Kapan Arini mengenal Bagas? Apa yang mereka bicarakan, apakah mereka saling menyukai? Aghhh...ada apa dengan dirinya?
***
"Aku baru selesai makan siang bersama Arini." Bagas memulai pembicaraan sepuluh menit sebelum rapat kembali berlangsung. Aktivitas Diva berhenti sejenak.
"Hmm." Diva tidak terlalu memperhatikan.
"Dia tipe wanita yang menyenangkan untuk di ajak bicara bukan?"
"Tentu saja, dia tipe sahabat yang setia dan pendengar yang baik" Diva memutuskan untuk menanggapi kata-kata Bagas, "dia orang yang pendiam dan sangat sulit untuk mengetahui emosi yang ada di dalam dirinya. Jadi sebaiknya anda serius ketika menjalin suatu hubungan dengannya atau jika hanya sebatas hubungan main-main lebih baik lupakan saja."
"Santai saja, Di. Kenapa kamu begitu tegang?"
"Dia sahabat aku. Aku tidak ingin ada yang menyakitinya..."
Bagas terdiam mendengar jawaban Diva. Kata-kata itu semakin membuatnya merasa bersalah. Sampai sekarang ia tidak tahu cara untuk menebus semua yang telah ia lakukan. Ia hanya tahu salah satu cara, yaitu minta maaf. Tapi, apakah itu cukup?
***
Aouch...hiasan yang tertempel di gaun buatan Arini melukai jari telunjuknya. Darah segera menetes, beruntung tetesan itu langsung jatuh ke lantai dan tidak mengenai gaun putih itu. Gaun yang akan dipakai oleh Alena yang sudah memasuki tahap finishing.
Arini mengambil tissu dari meja dan memampatkan lukanya. Akhir-akhir ini ia banyak melamun. Rendra adalah manager di hotel Cenderawasih, kenapa ia bisa melupakan satu poin penting itu? Waktu itu Rendra terlihat sangat marah. Lebih marah daripada waktu di bukit bintang. Suaranya terdengar sangat dingin. Itu terakhir kali ia bertemu Rendra, sejak saat itu Rendra berhenti menelponnya untuk makan siang, maksudnya bertanya tentang laporan pernikahan sambil makan siang. Itu bagus untuk niat Arini melupakan Rendra. Itu buruk untuk perasaan Arini yang kian kehilangan arah.
Arini mengambil ponsel di atas meja. Nomor Rendra kini telah ia temukan, kenapa? Kenapa sampai sejauh ini? Ia mulai mengkhawatirkan keadaan pria itu. Arini menggelengkan kepala dengan cepat. Tuk..tanpa sengaja ibu jari Arini menekan layar touchscreen ponselnya. Astaga bagaimana ini? Layar ponsel yang semula hanya berupa rentetan nama dan nomor kini bertambah tulisan kecil di pojok kiri atas berbunyi memanggil.
Arini bermaksud mengakhiri panggilan akan tetapi pemilik nomor diseberang sana terlebih dahulu menerima panggilan. Reflex Arini memutuskan sambungan. "bagaimana ini...dia sudah tahu?" tiba-tiba ponsel yang ia pegang bergetar sehingga membuatnya melonjak kaget dan ponsel itu hampir mencelat dari tangannya. Sekuat tenaga Arini menerima panggilan itu dan sedikit merubah gaya bicaranya.
*
Pukul sembilan tepat, cahaya matahari juga telah menerobos masuk di dalam ruang gelap itu melalui celah tirai tipis pada jendela ruangan. Tubuh Rendra menggeliat di tempat tidur, ia mengalami demam, suhu badannya juga sangat tinggi. Bulir-bulir keringat membasahi pelipis dan rambut lebatnya. Tenggorokannya terasa kering dan ia sama sekali tak bisa membuka mata karena sakit kepala yang dideritanya.
Ringtone ponselnya berdering menyentakkannya. Matanya sedikit terbuka namun segera tertutup lagi. Rendra meraba-raba letak ponselnya, ketemu. Tanpa melihat ia menerima dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Belum ada satu detik ia menerima panggilan tiba-tiba sambungan terputus. Rendra terheran. Ia membuka mata dan memeriksa panggilan terakhir diponselnya, tanpa disadari sebuah senyuman tersungging diwajahnya. Sesaat kemudian ia memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. Renda bangun dan bersandar pada bantal dibelakang punggungnya. Ia menscroll layar ponsel dan mengetuk sebuah kontak kemudian mendekatkan kembali ponselnya ke arah telinga. Lebih dari lima belas detik hingga gadis itu mengangkatnya. Terdengar suara aneh dari seberang telpon, Rendra melihat layar ponselnya sebentar kemudian meletakkannya kembali pada daun telinganya.
"Kamu tidak perlu mengangkat telponku, setidaknya itu lebih meyakinkan daripada berpura-pura menjadi orang lain. Kamu berharap aku mengira nomor yang kutekan salah?"
Tidak terdengar suara apapun dari seberang.
"Ada apa?" Rendra bersuara lagi.
"Em...hai, apa kabar? Kamu tidak kenapa-napa kan?" terdengar suara tidak yakin dari seberang.
"Kamu mengkhawatirkanku?" Rendra bertanya dengan nada heran.
"Tidak..bukan, maksudku aku hanya ingin bertanya sesuatu. Aku menghubungi Alena tapi dia tidak menjawab." Gadis itu berbohong.
"Begitu...?" Rendra kesal "sayangnya kabarku sedang tidak baik, aku sangat sakit. Dan biasanya ketika aku sakit aku tidak bisa menjawab pertanyaan. Jangan bertanya padaku!"
"Apa??? Kamu sakit? Sakit apa? Aku harus kesana...maksudku..istirahatlah. sebentar, itu apa parah?" suara Arini terdengar cemas. Sekali lagi Rendra tersenyum namun secepat kilat sakit kepalanya kambuh lagi. Damn..penyakit macam apa ini?
"Kalau kau mau tahu lihat sendiri, bukankah kamu harus memastikan koneksimu dalam keadaan stabil?"
"Tidak."suara Arini cepat dan meninggi. Rendra mengerutkan kening, gadis itu terdengar sangat panik. Hening sesaat hingga gadis itu berbicara lagi "kamu harus menghubungi seseorang untuk merawatmu."
"Itu yang sedang kulakukan sekarang"
"Apa???" teriak Arini.
"Heiii berhentilah berteriak kepada orang sakit." Omel Rendra.
"Maaf aku tidak sengaja. Kamu harus menelpon Alena."
"Kamu pikir dia akan langsung terbang kemari untukku? Dia tidak akan meninggalkan syuting video klip itu meski badai sekalipun."
"Kamu sudah makan?" tanyanya. Rendra mengerjapkan matanya.
"Aku baru saja bangun."
"Kamu harus makan, kamu kan bisa memasak."
"Kamu menyuruhku memasak dalam keadaan seperti ini? Kamu ini tega sekali."
"Hubungi keluarga atau sahabatmu. Mungkin mereka bisa membantumu."
"Hidupku dikelilingi oleh orang-orang sibuk. Hei, bukannya kamu juga orang sibuk? Sudahlah tidak usah datang. Aku akan baik-baik saja."
*
Naura dan Ranti melihat Arini meletakkan ponsel dengan murung. Mereka tidak pernah melihat Arini secemas itu. Walau singkat, mereka melihat dengan jelas Arini selalu bahagia bersama Rendra. Pria itu selalu menindas Arini tapi mereka tahu itu tidak serius.
Mereka memandang Arini yang sejak tadi hanya memandang secangkir cokelat panas. Tidak bergeming sama sekali. Kemudian Arini menoleh ke arah Naura dan Ranti, mereka terkesiap dan berhambur membaca majalah fashion edisi bulan ini. "Ada yang bisa membuat bubur?"
***
Arini sampai di depan pekarangan rumah Rendra tepat pukul dua belas lebih empat puluh menit. Tentunya setelah ia bertanya sana-sini untuk memastikan bahwa ia berada di jalan yang benar. Ia memandang rumah besar itu. Terasa asing tapi sangat indah. Di sini Rendra menghabiskan waktunya setelah bekerja. Arini melihat kotak bekal yang ia bawa, ia berharap Rendra menyukai masakan....masakan... "bubur itu pakai garam nggak sih?" Tanya Naura beberapa jam yang lalu,
"Kayaknya iya deh." tambah Arini, mereka bertiga bertatapan
"Pakai lada nggak?" tanya Ranti sambil mengacungkan tempat lada.
"Kenapa di dapur kita ada lada kalau tidak ada yang tahu fungsinya untuk apa?"
Arini menghela napas berat. Ia membuka pagar rumah yang kebetulan tidak digembok. Setelah berdiri di halaman ia tidak tahu harus berbuat apa. Rendra berkata ia tidak perlu datang, apakah nantinya ia akan mengganggu istirahat pria itu? Tapi sudah sejauh ini. Tidak. Arini tidak bisa melakukannya. Arini berbalik ke pagar tetapi matanya menangkap seseorang sedang membuka pintu pagar. Kening Arini berkerut. Ia yakin pernah melihatnya, seseorang yang memiliki wajah mirip dengan Rendra. Sedetik kemudian pria itu sampai dihadapan Arini. Tidak perlu waktu lama hingga membuat mereka berdua sama-sama tersenyum.
" Arini, right?"
Arini tersenyum dan mengangguk. "Rian.."
"So, kamu tidak jadi membuatku dipecat dari kantor majalah?"
"Kenapa harus?" Arini tidak mengerti.
"Ya...karena sikap sok tahuku, dan kamu terlihat sangat dekat dengan Bosku."
Arini tertawa pendek, " aku tidak pernah berniat menjadi wanita menyebalkan seperti itu."
Rian mengangguk-angguk, ia memandang tempat makan yang Arini bawa.
"Jadi apa yang kamu lakukan di rumah kakakku?"
"Kakakmu??" Arini terkejut. Kenapa semua orang seakan menjadi keluarga Rendra. Belum sempat ia menghilangkan kekagetan saat bertemu Rendra dan Bagas di lift hotel Cenderawasih. Bagas yang ternyata adalah sepupu Alena. Ia tidak tahu mengapa sekarang bayangan Rendra ada di mana-mana.
"Kamu teman kakakku?" Rian bersuara lagi. Ia tidak mendapati Arini akan menjawabnya karena ia merasa bahwa wanita itu setengah melamun. Meski begitu ia tetap bertanya.
"Kakakku menyuruhmu datang ke sini?"
"Dia tidak menyuruhku."
"Jadi kamu dengan senang hati datang kemari?"
"Apa?"...
"Baiklah." Rian berjalan menyusuri halaman hingga sampai di teras rumah besar itu. Entah kenapa Arini memutuskan untuk ikut mendekat ke pintu utama. Akan sangat aneh apabila ia memutuskan untuk pergi. Rian pasti akan bercerita macam-macam kepada Rendra. Namun sepertinya ia harus memaksakan diri untuk fokus kepada Rian karena pria itu mulai berkata-kata lagi.
"Sepertinya aku pernah melihatmu, aku yakin soal itu." Kata Rian sambil menekan bel pintu rumah Rendra.
"Ya, Rian. Kita pernah bertemu di kantor majalah milik Diva." Kata Arini ringan, Rian menoleh ke arah Arini.
"Bukan, sebelumnya..."
Arini tertawa, ia tidak menyangka anak ini menjadikannya obyek belajar merayu wanita, "baiklah, aku percaya saja."
"Aku serius..." Rian mendekatkan wajahnya pada wajah Arini, membuat wanita itu terkejut namun tidak dapat bergerak, udara panas menjalari wajah Arini dan ia yakin pipinya memerah sekarang.
"Heiii,,apa yang sedang kamu lakukan?" Tanya Arini lirih dalam kegugupannya.
"Hanya memastikan ingatanku...ah aku ingat"
"Kalian ingin bertamu atau hanya ingin saling bertatapan di depan pintuku?" serentak keduanya menoleh demi mendengar suara yang tajam dan dingin itu.
.
.
.
Aishhh..apa yang harus aku lakukan dengan perasaan seperti ini? Rendra mendesah keras setelah melihat Rian dan Arini menoleh ke arahnya dengan tatapan tanpa dosa. Kenapa melihat Arini bersama pria lain membuat suasana hatinya memburuk, dan sialnya peristiwa tersebut terjadi berulang kali. Ia memutuskan untuk berjalan masuk saat yakin mereka tidak akan mengatakan apapun. Namun ia masih dapat menangkap ketika Rian berkata "Ayo Arini,,," dan menggandeng tangan gadis itu, Rendra terhenti dan melirik ke belakang bahunya.
"Rian, lepaskan tanganmu darinya!" sungguh Rendra tidak dapat menyembunyikan nada dingin dan mencekam itu untuk saat ini. Dan bila diperlukan ia bisa menarik Arini ke dekatnya agar Rian tidak bertindak macam–macam lagi, namun sepertinya hal tersebut tidak perlu terjadi karena Rian menurut begitu saja. Bagaimana Arini bisa sangat dekat dengan orang–orang yang dia kenal sekarang?
Mereka duduk di ruang tengah rumah besar itu. Rendra melihat Arini sedang mengedarkan pandangan pada ruangannya sambil memeluk kotak bekal, segala perasaan buruk yang ada di dalam hatinya menguap seketika, gadis itu peduli dengannya.
"Jadi ada apa?"
"Apa?" serentak mata Arini menatap Rendra.
"Kenapa kau datang ke sini?" ulang Rendra.
"Arini bilang dia ingin makan siang bersamamu," celetuk Rian membuat Arini menoleh cepat ke arah anak itu.
"Apaa???" lalu menoleh ke arah Rendra yang terlanjur menyunggingkan senyum memikatnya. "tidak," tambah Arini meskipun itu sama sekali tidak berguna.
"Tidak? Kamu membawa kotak itu dan datang kemari walaupun kakakku tidak menyuruhmu. Bagaimana kamu menjelaskannya?"
"Kamu mengkhawatirkanku?"
Arini mendengus kesal kemudian beranjak. Mereka sudah mengoloknya dengan ia datang kemari, bagaimana...
"Berikan padaku!" kata Rendra sambil berdiri kemudian mengambil kotak yang ada di tangan Arini kemudian berjalan ke arah meja dapur. Rian dan Arini mengikutinya.
*
Mereka duduk sambil bertatapan satu sama lain. Arini mengutuk dirinya sendiri karena membawa kotak bekal itu. Semua orang pasti akan berpikir hal yang sama setelah melihat isi di dalamnya. Ia juga akan berpikir dengan bubur itu ia akan sangat berhasil meracuni Rendra. Apalagi ketika ia melihat Rian berusaha mati – matian menahan tawanya. Wajahnya sudah sangat merah dan aneh.
Rendra menyendok bubur itu, menatapnya sebentar kemudian meletakkannya kembali. " Bahkan tiga wanita pun tidak bisa memasak makanan sesimple ini?"
Arini melihat Rendra dengan wajah polos, "menurutku bubur bukan kategori masakan yang simple." Katanya lirih.
"Kamu masih ingin berdebat?" Rendra sediki kesal.
Arini memggeleng. Tidak berani berkata apa-apa. Rendra berdiri dan berjalan menuju kulkas, ia mengambil air putih dan meminumnya. Rian menyusul dan mengambil beberapa bahan makanan. Arini menatap keduanya tanpa berkedip, sebentar mereka akan memasak? Dua orang pria di depannya akan memasak dan ia tidak melakukan apa-apa? Arini melihat cara Rendra memotong wortel, cara dia memblender bumbu, cara Rian membantu Rendra, ini gila. Bahkan Arian sekalipun tidak pernah terlihat semenawan itu saat memasak, ya itu hitungan yang berbeda mengingat Arini bukan fans Arian jadi Arini tidak pernah benar-benar memperhatikan ketika Arian memasak.
Rendra menjauh sejenak dari makanan karena terbatuk-batuk, Arini reflex berdiri tetapi Rendra dengan bijaknya mengangkat sebelah tangan, tersenyum, dan mengangguk sebentar seakan mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja.
Arini kembali mengingat percakapannya dengan Rendra ketika di telpon. Rasanya dia benar-benar tega.
"Kamu menyuruhku memasak dalam keadaan seperti ini? Kamu ini tega sekali."
Lalu apa fungsinya dia berada di sini? Tidak ada. Arini menyilangkan tali tas selempangnya pada tubuhnya. Ia berdiri tepat saat Rian meletakkan nasi di meja.
"Mau ke mana? Makan dulu, belum makan siang kan?"
Arini ragu sejenak. Rendra tiba dengan semangkuk besar sup jamur yang masih panas dan meletakkannya di meja.
"Makanlah, atau kamu akan mati kelaparan di jalan," kata Rendra. Pria itu pasti tahu tadi pagi ia hanya sarapan dengan roti panggang. Kenapa seakan Rendra tahu segalanya tentang dirinya, hal kecil tersebut membuat Arini merasa kesal karena seakan kartu matinya ada di tangan Rendra. Seakan-akan ia akan mati apabila Rendra membalikkan kartu itu. Seakan-akan hidupnya hanya tergantung pada bagaimana cara Rendra memperlakukannya.
*
Dia mungkin tidak tahu caranya memasak, tidak tahu bagaimana caranya mengendalikan orang lain. Tapi dia tahu caranya memperlakukan orang lain dengan cara yang sangat menyenangkan. Untuk itulah aku rela memasak dalam kondisi sakit dan kepala yang berat seperti batu demi menahannya untuk tetap berada di sini. Aku tahu dia bosan dari caranya mengetuk-ketukkan jarinya di meja dapurku, tapi aku senang dia masih bertahan di sini. Dan aku yakin bisa membayar rasa bosannya dengan masakanku yang enak. Setidaknya semua orang yang pernah memakan masakanku berkata seperti itu.
"Cukup?" Rendra tersentak ketika pandangan Arini menembus matanya. Apakah gadis itu tahu dari tadi ia menatapnya?
"Rendra..." ulangnya lembut.
"Oh..."Rendra tersadar. Ia melihat Arini yang siap untuk menyendokkan nasi di piringnya kembali. "sedikit lagi."
Arini menurut.
Rendra menahan tangan Arini ketika gadis itu hendak menyendokkan sup di piring Rendra membuat gadis itu menoleh.
"Aku bisa mengambil sendiri, makanlah!"
Rian melihat dua orang di hadapannya, terutama kakaknya. Perhatian semacam ini sangat langka ia temukan. Ia tahu betul siapa dan bagaimana kakaknya. Tanpa ia ketahui telah banyak yang terjadi pada kehidupan Rendra. Bagaimana akhirnya ia bisa bertemu dengan Arini dan bersikap seolah semuanya memang benar terjadi pada tempatnya. Rian tersenyum mengingat sesuatu....sepertinya aku pernah melihatmu, aku yakin soal itu.