Alena berjalan menuju ruang kerja Rendra. Ia membuka pintu, kosong. Kemana pria itu sekarang? Semenjak ia pulang dari rumah sakit ia semakin jarang bertemu dengan Rendra. Dahulu jarang bertemu bukan masalah besar karena ia sibuk bekerja, tapi kini berbeda. Ia sudah mengambil cuti dan dua minggu lagi mereka akan menikah. Ya, segalanya memang sudah dipersiapkan kecuali undangan, bagi Alena undangan adalah privasi bagi para calon pengantin.
Pintu terbuka, Alena menoleh dan melihat Rendra memasuki ruangan. Ia melihat gadis itu sekilas kemudian duduk di kursinya.
"Dari mana?" suara Alena terdengar ketus.
"Kamar mandi,"
"Kakak tidak tidur semalam?"
"Bukan masalah besar."
"Kapan kakak akan mengambil cuti?"
"H'm?"
"Cepat putuskan atau kita tidak akan menikah."
Rendra berhenti memeriksa berkasnya. Ia menatap Alena datar. Kenapa gadis ini tidak pernah berubah? Rendra berdiri dan menghampiri Alena.
"Kamu baru sembuh Alena, duduklah dulu.."
Alena menangkis tangan Rendra yang berusaha menuntunnya duduk ke sofa ruangan. Air matanya meleleh.
"Aku sayang kamu, kak"
Rendra mengusap wajahnya yang letih. Kemudian berusaha tersenyum dan memandang Alena. "aku tahu.."
"Kakak harus mengambil cuti besok pagi."
Rendra mendesah keras. "pernikahan kita hanya akan berlangsung satu hari, kenapa hal itu bisa menjadi masalah besar?"
"Tentu itu masalah besar, itu pernikahanku…dan coba kita ingat-ingat siapa yang menyetujui pernikahan ini?" suara Alena meninggi. "kamu menyesal sekarang?"
Mereka bertatap. Alena mengalihkan pandangan ke arah jendela. "sebaiknya kakak pikirkan terlebih dahulu, apakah kakak sudah benar-benar siap. Karena aku tidak ingin pernikahanku hancur . Aku tidak bisa membayangkan ketika mempelai pria berlari mengejar wanita lain di tengah acara."
"Alena…"
Alena kembali melihat Rendra, "sampai hal itu terjadi, aku tidak akan melepaskannya.." ancam Alena.
"Alena!!!" suara Rendra meninggi.
"Kamu hanya sedang teralihkan, kau tidak benar-benar menyukainya, kak."
"Sebenarnya apa yang kamu pikirkan?"
"Kakak tidak mungkin menyukai Arini."
Mata Rendra membulat mendengar kata-kata Alena.
***
Matahari bersinar terik hari ini, Bagas berada di meja nomor tiga belas dan itu ada di luar café, kenapa Arini memilih tempat seperti ini? Bagas mengibas-kibaskan telapak tangannya layaknya kipas, tidak begitu berguna.
Beberapa menit kemudian Ayumi datang, Bagas tersenyum kepadanya. Mereka segera memesan makanan sembari mengobrol santai. "maaf terlambat,"
"Tidak apa, aku yang sengaja datang lebih awal."
Arini mengangguk "jadi ada apa?"
"Aku hanya ingin mencari teman mengobrol. Banyak sekali yang terjadi di dalam kehidupan…"
"Bapak sedang ada masalah?"
Bagas tertawa mendengar Arini memanggilnya bapak. Ia sadar seberapapun ia berusaha, Arini tidak akan berhenti memanggilnya dengan sebutan itu.
"Satu masalah kecil," Bagas memperbaiki posisi duduknya kemudian menatap gadis dihadapannya. "Arini, cinta hal yang rumit bukan?"
Arini menggeleng, "maaf, Pak. Aku tidak memiliki pengalaman di bidang konseling."
"Oh, ayolah…aku tidak memiliki teman lain."
"Baiklah," Arini ikut memperbaiki posisi duduknya.
"Cinta yang rumit seperti apa?"
"Mencintai seseorang, berharap orang itu juga mencintaimu, menerka-nerka apa yang sedang ada di dalam pikirannya. Ingin selalu melihatnya tetapi tidak memiliki alasan untuk menemuinya, melewati satu hari tanpanya tetapi selalu memikirkannya." Terang Bagas.
Apa kita sedang kembali menjadi remaja?
Arini menghela napas berat. Kenapa banyak sekali orang patah hati di sekitarnya, termasuk dirinya dan dirinya jugalah yang menyebabkan seseorang patah hati. Arian.
.
.
.
"Aku sudah bilang aku mengenalmu, aku tahu kamu akan memilih ice cream coklat jika kamu tidak mendapatkan semuanya, untuk itu aku menaruh cincin itu di sana." Arian mengangkat bunga ke hadapan gadis itu.
"Aku mencintaimu,. Arian mencintai Arini…"
.
.
.
"Bukankah suatu kejahatan membuat seseorang merasakan semua itu?" Ayumi menerawang, Bagas melihatnya kemudian termenung sejenak.
"Tidak juga, banyak yang berkata bahwa cinta itu tidak bisa dipaksakan. Pernyataan itu benar."
Ayumi mengangguk-angguk. "siapa orang itu?"
"Apa?" Bagas tergagap.
"Seseorang yang ingin anda temui tapi tidak pernah memiliki alasan untuk menemuinya."
"Oh…"Bagas tersenyum samar, "Diva.."
Arini memicingkan mata. Bagaimana bisa? Bagas menyatukan kesepuluh jemarinya.
"Aku tidak tahu, segalanya terjadi begitu cepat. Ketika aku menyadarinya aku tahu aku sudah terlambat atau bahkan yang terjadi adalah dia tidak pernah menyukaiku selama ini."
"Sebentar, tolong ceritakan dari awal. Diva tidak pernah bercerita sedikitpun tentangmu." kata Arini masih dengan ekspresi heran.
"Diva adalah wanita yang ayahku kenalkan beberapa tahun yang lalu. Kami sempat dekat. Banyak sekali yang terjadi kala itu, kamu tahu tentang kecelakaan Alena dan kedua orang tuanya…peristiwa itu menyita semua waktuku. Aku melupakan hubunganku dengan Diva, dia mencoba mendampingiku waktu itu tapi aku mengabaikannya hingga tiba saatnya aku harus pergi ke luar negeri." Bagas menjelaskan dengan hati-hati.
"Dan kamu mendekatiku untuk mencari tahu tentangnya?" Tanya Arini, Bagas mengangguk.
"Maafkan aku…"
Arini tidak tahu harus berkata apa, ia belum sepenuhnya mengerti. Tunggu…"Alena kecelakaan bersama orang tuanya?"
Bagas melihatnya, "Rendra tidak menceritakan hal itu?"
Arini menggeleng, "untuk apa?"
Bagas menndesah keras, menyadari kebodohannya sendiri. Arini dan Rendra belum sedekat itu.
"Apa ada sesuatu tentangku yang aku tidak tahu?"
"maafkan aku, kurasa aku telah salah paham. Kukira hubungan kalian – kau dan Rendra…"
Arini memicingkan mata, membuat Bagas enggan untuk melanjutkan. Gadis itu tertawa sumbang. Bagas dapat melihat dengan jelas meski gadis itu tertawa tapi matanya sama sekali tidak.
"Kurasa anda yang lebih tahu bahwa Rendra sangat mencintai Alena. Dia selalu memarahiku setiap ada kesempatan, semuanya hanya untuk Alena."
"Oh ya..?" Bagas setengah melamun.
Arini mengangkat bahu dengan acuh kemudian menyesap jus mangganya. "kuharap mereka segera menikah dan berhenti berada dihadapanku."
***
Rian melihat-lihat tabloid di ruang tunggu. Ada foto Alena di halaman pertama. Gadis yang sempurna dan cantik. Setelah syuting vidoklip banyak sekali tawaran yang datang kepadanya tetapi gadis itu menolaknya, ia telah menetapkan pilihan untuk terus hidup bersama kakaknya.
Ada ketakutan di dalam dirinya, ini mengenai Rendra. Bagaimana pria itu sanggup bertahan selama ini tanpa bercerita kepada siapapun. Bahwa sebenarnya Rendra ingin bebas dari semua ini, dari rasa bersalahnya terhadap Alena.
"Saudara Rian, " seorang wanita yang berusia di akhir dua puluh-an membuka pintu beberapa meter dari tempat Rian duduk. Rian berdiri kemudian mengikuti langkah kaki wanita yang lebih ia kenal sebagai manager Alena menuju ke ruangan yang lebih privasi. Wanita itu membukakan pintu untuk Rian kemudian pergi meninggalkannya bersama Alena.
"Permisi, mbak Alena. Saya Rian dari Star Redaksi…ada beberapa kontrak yang harus kita selesaikan."
"Kamu tahu jika kamu bukan adik Rendra aku nggak akan setuju memperpanjang kontrak ini."
Rian mengangguk lemah, "saya tahu, untuk itu saya hanya ingin menyelesaikan beberapa berkas setelah itu kerjasama kita selesai…"
Alena berdiri, "maksud kamu Star Redaksi nggak akan bekerjasama denganku lagi?"
"Benar…"
"Tapi saya model utama, bagaimana bisa…"
"Bukankah kamu sendiri yang bilang kamu akan fokus dengan Rendra dan pernikahan kalian dan keluar dari dunia modeling?"
Alena berbalik dan menatap ke luar jendela.
"Iya, aku mengatakan hal itu. Tapi…"
"Kenapa kamu masih bertahan dengannya jika hal itu menyakitimu, Len? Kamu tahu dengan pasti bahwa Rendra nggak akan…"
Alena menutup kedua telinganya.
"Cukup, Rian!"
"Kamu mengerti semuanya, kamu tahu segalanya. Kamu nggak akan bisa mendapatkan segalanya dengan cara seperti ini. Seandainya…"
Alena berbalik, Rian dapat melihat dengan jelas air mata berderai di pipi Alena. Pikirannya buntu.
"Seandainya…" Alena mengusap airmatanya, "seandainya kak Rendra nggak menolak cinta aku, seandainya dia nggak mengabaikan permintaan mama dan papa aku dan tega membiarkan mereka pulang malam itu kecelakaan itu nggak akan terjadi, seandainya dia mengurangi keegoisannya dan melihatku sebentar saja."
"Tapi bukan Rendra yang bersalah waktu itu, om dan tante mengalami kecelakaan lalu lintas. Berapa kali lagi aku harus mengatakan hal itu supaya kamu mengerti? Jangan paksakan pikiranmu kepada kakakku sehingga dia merasa bersalah dengan semua kemalangan yang kamu alami! Cukup Lena…aku nggak bisa ngelihat Rendra menderita seperti itu, demi Tuhan dia kakakku…aku tahu ketika dia terluka walau dia tidak mengatakan apa-apa…" ujar Rian frustasi, ia merengkuh kepalanya dengan kedua tangannya dan terduduk di sofa ruangan.
Alena mengusap airmatanya yang tak henti-hentinya mengalir.
"Aku mencintainya, Rian…aku tidak berdaya dengan semua itu. Hanya Rendra yang aku miliki saat ini. Hanya dia yang bisa kuandalkan."
"Bukan hanya kamu yang sedang jatuh cinta, Alena…" gumam Rian.
"Sepertinya aku pernah melihatmu, aku yakin soal itu."
.
.
.
10 tahun yang lalu
Beberapa orang menganggap bahwa berjabat tangan adalah hal yang berarti baginya. Mungkin kau tidak tahu tapi aku telah menciptakan ilusi yang indah untuk kita. Aku hanya ingin duduk tenang bersamamu, meskipun itu terasa sulit.
Tepat pukul Sembilan lebih tiga puluh menit ketika Rendra menengok jam tangannya. Ia sedang duduk di kantin bersama beberapa temannya ketika waktu istirahat, mereka memilih kantin yang terletak di belakang sekolah dekat dengan lapangan basket. Biasanya jam segini ada mata pelajaran olahraga anak kelas 3 IPS sehingga Rendra dan teman-temannya dapat melihat permainan basket sambil sarapan. Kebanyakan dari mereka tidak sempat sarapan sewaktu di rumah, jadi memutuskan untuk sarapan setelah mata pelajaran pertama.
"Sebel banget, Sa..ini waktunya istirahat eh malah gurunya bilang mbak istirahatnya nanti aja saya kasih waktu lima belas menit. Kan kesel ya…" kata seorang gadis di depan kantin, yang di ajak bicara hanya mengangguk-angguk, menandakan ia sudah biasa mendengar gadis itu berkata seperti itu. Sasa menyerahkan satu plastik es tehnya. Gadis itu menyeruput melalui sedotan, hanya sebentar hanya untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Rendra dapat melihat keringat membasahi pelipisnya, tanpa sengaja ia tersenyum.
"Aku balik dulu ya.." teman Sasa berbalik dan setengah berlari menuju lapangan basket, lalu kembali ke permainan basketnya.
Sasa kembali ke tempat duduknya di hadapan Rendra.
"Namanya siapa, Sa?" Tanya Rendra.
"Kepo ya…" goda Sasa. Rendra hanya tersenyum kecut.
"Itu pacarnya Arian ya, Sa?" celetuk Ray ngasal. Rendra terbatuk-batuk membuat semua orang melihat ke arahnya. Ray menyodorkan es jeruk ke arah Rendra.
"Santai bro, minumnya…"
*
Selamat ulang tahun...
Selamat ulang tahun...
Selamat ulang...
Selamat ulang...
Selamat ulang tahun...
"Suara apa sih itu?"
"Anak-anak itu, sedang merayakan ulang tahun teman-temannya. Kebetulan ulang tahun mereka saling berdekatan." Kata Rendra sambil memperhatikan gerombolan anak teater dari seberang lapangan upacara.
"Ohh...pantes mereka nggak berhenti-berhenti nyanyinya."
"Ndra, lu udah tahu siapa yang suka perhatian ke elu lewat sms itu?"
Rendra termenung kemudian menggeleng. "ada diantara anak ekskul teater"
"Lah itu mereka...yang mana?"
Sekali lagi Rendra menggeleng. Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa aku sudah tahu siapa yang telah memberikanku perhatian sedang aku sama sekali tidak pernah berbicara dengannya. Kenapa banyak sekali teman-temanku yang mengenalnya sedangkan seperti ada jarak yang memisahkan kita berdua, tidak ada alasan kenapa kita harus berbicara. Tetapi kenapa hati ini lebih dulu yang berbicara, bahwa hati ini mengenalnya, hati ini saling berbicara.
*
Mendung
Gerimis
Guntur bergemuruh
Ini pertama kalinya aku menyukai hujan
Pertama kalinya hujan begitu berarti di dalam hidupku
Pertama kalinya tetesan air hujan sampai ke hatiku
"Hujan, Yan" Arini menengadahkan sebelah tangannya di pinggir koridor dan merasakan tetesan air hujan mengenai telapak tangannya. Rendra melirikkan matanya sedikit demi mendengarkan kata-kata Arini.
"Iya, aku tahu ini hujan. Terus..?" ujar Arian sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan.
"Aku pulangnya gimana...?"
"Astaga," Arian menepuk jidatnya, Arini melihatnya. "aku lupa ngembaliin buku di perpustakaan, Rin tunggu sini! Sebentar aku balik lagi" Arian meninggalkan Arini tanpa berkata-kata lagi.
"Rin,"
"Ya?" Arini menoleh cepat, tersenyum cerah ke arah lawan bicaranya sebelum ia terlihat gugup ketika melihat Rendra disampingnya.
"Bolpoin kamu jatuh..." katanya datar. Arini melihat ke lantai kemudian memungut bolpoinnya.
"Terimakasih," kata Arini sambil tersenyum ke arah Rendra. Rendra hanya melihatnya datar kemudian menoleh ke arah lain. Arini memutuskan untuk melihat hujan kembali.
Rendra menoleh Arini kembali, "emm.."
"Rend, ketua OSIS nyariin kita sekarang." Beberapa orang teman Rendra datang dari arah kantin dan menghampiri Rendra,
"Sebentar,"
"Ayok, sepuluh menit lagi kita juga harus latihan."
Arini melihat lima sekawan itu pergi menjauh, termasuk Rendra. Dan tiba-tiba saja Arian menubruk Arini sambil terengah-engah.
"Yan, santai.."
"Gawat, gue lupa kalau ada rapat OSIS. Pinjem bolpoin..." Arian merebut bolpoin di tangan Arini kemudian berjalan ke arah kepergian Rendra dan teman-temannya tadi.
"Yan.." panggil Arini. Pria itu berbalik.
"Apa lagi?"
"Bolpoinnya udah nggak ada tintanya, udah habis,,"
"Hah,?"
Sayup-sayup Rendra tersenyum mendengar kata-kata Arini hingga ia memutuskan untuk menyusul kawan-kawannya menuju ruang OSIS.
*
"Foto siapa, kak?" suara Rian mengejutkan Rendra, ia mencoba nge-close akun media sosialnya namun tidak berhasil. Sekarang malah foto Arini terpapang jelas di layar komputer kamarnya. Rian kecil tersenyum-senyum sambil menatap kakaknya yang sudah sangat malu.
"Pacar kakak yaaaa?????" suara Rian yang lantang membuat Rendra buru-buru membekap mulut anak itu sambil melongok ke luar pintu yang terbuka.
"Bukan.." dia membuka bekapan tangannya.
"Aaa…kakak suka sama dia ya?"
Rendra hanya tersenyum sambil memperbaiki posisi duduknya di depan komputer kemudian menutup akunnya. Ia meraih sebuah buku agenda dengan corak batik warna coklat disamping komputer dan membukanya perlahan. Sudah sekitar satu bulan sebelum kelulusan ia menemukan buku ini di meja kelasnya. Awalnya Rendra bermaksud meninggalkan buku itu di laci ketika tidak sengaja buku itu terjatuh dan terbuka, dan ia menemukan namanya di salah satu halaman.
Senja,
Jingga ini menguap tanpa satupun kisah tentangnya
Namun rindu ini tak lantas hilang
Petang telah meyakinkanku untuk melepasmu pergi
Perlahan saja
Walau semburat warna nila dan oranye masih tetap ada
Perlahan saja
Walau jejak-jejak kenangan masih terngiang di dalam jiwa
Perlahan saja
Walau logika terus melukai asa
Asa dalam cinta
Rendra
Hari sudah malam. Pagi tadi ia sudah menerima hasil kelulusannya. Dan ini mungkin juga hari terakhir ia bisa melihat wajah gadis itu secara langsung. Ananda Arini Bunga Putri.
Setelah mengumpulkan keberaniannya Rendra menekan beberapa nomor dan memencet tombol memanggil. Mungkin belum terlambat untuk mengembalikan bukunya. Namun sudah berulang kali ia menghubungi tapi operator mengatakan bahwa nomornya sudah tidak aktif. Rendra tersenyum kecut. "sebenarnya orang macam apa dia?"
*
.
.
.
Krek…suara pintu terbuka membuyarkan lamunan Rian. Ia mengangkat kepala dan melihat Alena sedang berbincang-bincang dengan managernya. Cukup lama hingga pria itu memutuskan untuk beranjak dari sofa, Alena menolehnya.
"Kamu mau pulang sekarang?" Tanya Alena.
"Ya…mendadak aku merasa sangat lelah. Lain kali saja kita bicara mengenai kontrak. Ketika kamu bisa memutuskan ingin melanjutkannya atau tidak. Aku sudah memberikan Salinan dokumennya tadi kepada managermu."
Alena mengangguk tanda mengerti, Rian juga mengangguk pelan kemudian berjalan menuju pintu.
"Rian…" panggil Alena, pria itu menoleh, "maafkan aku…"
Rian mengangkat bahu lemah, kemudian keluar dari ruangan Alena. "maafkan aku karena tidak bisa melepaskan Rendra."