Aku tidak pernah tahu apa arti cinta yang sebenarnya, tapi yang aku pahami…di antara berjuta manusia di dunia, hatiku hanya berdetak untukmu. ~somewhere~someone~
"Saya Arini, senang bertemu dengan anda," Arini mengulurkan tangannya setelah sekian detik mereka berdiam diri. Sekian detik yang cukup lama. Rendra menghapus keraguannya dan membalas uluran tangan Arini.
"Saya Rendra" balas Rendra.
Beberapa orang menganggap bahwa berjabat tangan adalah hal yang berarti baginya dan mungkin kau tidak tahu, tapi aku telah menciptakan ilusi yang indah untuk kita. Impianku hanyalah ingin duduk tenang bersamamu, meskipun itu terasa sulit. Namun kini, begitu serakahnya aku…satu persatu keinginan yang lain mulai muncul hingga aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk berhenti. Aku semakin tidak ingin kehilangan dirimu.
***
Lima belas menit kemudian mereka turun di pinggir jalan. Arini melihat-lihat, meskipun ia sering bekerja di kota ini tapi ia tidak pernah melewati jalan ini. Sangat asing. Tapi herannya ia tidak merasa takut, udara di sekitar sini membuatnya merasa nyaman. Mengherankan sekali, tanpa sadar Arini tersenyum.
"Sepertinya aku berhasil," sahut Rendra, Arini menoleh tak mengerti.
"Apa?" Tanya Arini. Rendra menggeleng dan tersenyum. Membuatmu tersenyum malam ini.
"Yukk makan!" Rendra berjalan memasuki taman kecil di depannya, Arini hanya bisa mengikuti langkah Rendra. Ada gerobak nasi goreng dan beberapa orang pembeli yang duduk sambil makan di sana, ada juga yang masih menunggu pesanannya.
"Duduklah!" Rendra meminta Arini duduk di salah satu kursi taman. Pria itu menoleh ke tukang nasi goreng. Ia mengangkat sebelah tangannya "mas, biasa ya. Dua!"
"Ok, bro!"
Arini mengernyitkan kening, "kalian saling kenal?"
Rendra duduk disebelah Arini, "iya nona besar, dia kakak kelas aku waktu SD dan kita sangat akrab."
"Nona besar?"
"Iyalah…kamu nggak pernah kan makan ditempat seperti ini?"
Arini tersenyum, "pernah"
"Masak?" goda Rendra.
"Apaan sih.."Arini mendorong bahu Rendra, pria itu tertawa. Tiba-tiba Rendra melepas sepatunya dan menggeserkan pada kaki Arini. Gadis itu menunduk lalu melihat Rendra, "Dingin" katanya. Arini mengacuhkannya. Rendra tersenyum, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Arini dan memejamkan mata. Gadis itu terkesiap namun ia tidak dapat bergerak. Rendra menghayati setiap detak jantungnya dan detak jantung gadis itu. Terasa damai dan tenang.
"Aku merasa sangat lelah, beberapa hari lalu aku mengira tidak bisa lagi bersamamu seperti ini."
Arini mencoba memindahkan kepala Rendra tetapi pria itu memeluk lengan Arini. "aku mohon sebentar saja, ijinkan aku tidur sebentar saja. Semalaman aku tidak tidur, kemarin malam tidurku juga tidak nyenyak."
Arini melunak, "kamu sangat mengkhawatirkan keadaannya?"
"Hmm," airmata Rendra merembes keluar.
Arini menggeleng. "Dia akan baik-baik saja,"
Rendra menegakkan tubuhnya ketika penjual nasi goreng datang membawa pesanan mereka. "maaf, Ren lama."
"Nggak pa-pa mas." Kata penjual itu lalu kembali ke gerobaknya. Rendra memberikan sendok dan garpu pada Arini.
"Pakai sendok aja kali ya…" Arini tertawa, Rendra mengangguk. Mereka makan nasi goreng dengan tenang. Rendra melihat Arini saat makan dan tersenyum karenanya.
"Namanya mas Abe, dia tinggal di dekat rumahku. Orang tuanya merantau sejak lama. Rumahnya ada di seberang rumahku. Mungkin kamu melihat gerobak itu waktu datang ke rumahku,"
"Oh iya…kamu juga pernah cerita dia yang mengajarimu memasak " Arini tersadar, ia menoleh pada Rendra yang tersenyum ke arahnya.
"Kamu ingat?" tanyanya datar.
Arini mengangguk.
"Jadi kenapa kamu menghindariku?" Tanya Rendra tiba-tiba membuat Arini tersedak. Gadis itu mengambil air mineral di sampingnya. Arini melihat pria itu masih menatapnya.
"Aku tidak menghindarimu."
"Kamu yakin…"
"Apakah itu penting?"
"Apa?"
"Jawabanku,"
"Ya," Rendra seperti tidak berpikir saat mengatakannya. Arini tersentak dan mati gaya. Ia tidak tahu Rendra akan mengejar jawaban seperti itu. Ia sudah terbiasa saat Rendra mengatakan sesuatu yang tidak memerlukan jawaban. Tapi saat ini dia membuatnya bingung.
"Oh…"Ayumi mengkibas-kibaskan sebelah tangannya di wajah. "berapa cabe yang dimasukkan di sini?" ia harap berhasil untuk mengalihkan pembicaraan.
"Dua," jawab Rendra singkat. Arini semakin gugup.
"Kamu yakin? Kenapa rasanya pedas sekali.."
"Kamu masih belum menjawab pertanyaanku."
Ayumi menyerah, "apa yang ingin kamu dengar?"
"Kamu tidak menyimak pertanyaanku?"
"Berhenti membolak-balik pertanyaan seperti itu."
"Siapa yang sebenarnya melakukan hal itu sejak tadi?"
Arini kalah telak.
"Ini tentang Alena," wanita itu membuka suara, "aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat ini. Hatinya pasti hancur, dan aku tidak bisa mengabaikan itu."
Rendra berhenti menatap Arini. "baru saja kamu mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja."
"Kami sama-sama wanita, Ren. Aku nggak bisa mengabaikan perasaannya begitu saja…"
Rendra meletakkan piring nasi gorengnya dan menyatukan kedua telapak tangannya. "mungkin karena aku seorang pria aku tidak memahami perasaan itu, yang aku tahu hanya ingin bersama seseorang yang kini berada dihatiku."
Arini menahan napas,
"Baiklah. Berapa lama?" Rendra menegakkan tubuhnya, melepas kedua telapak tangannya, menepuk kedua pahanya dan menoleh ke arah Arini.
Apa tadi?
"Berapa lama kita menunggu keadaan kembali seperti semula, keadaan Alena, suasana hatimu, para management wedding, perasaan semua orang bahkan bapak dan ibuku. Berapa lama? berapa bulan? berapa tahun?"
berapa apa?
"Tidak tahu? Lantas butuh berapa lama agar aku bisa menemuimu kembali?"
Apa?
"Jawab aku, Arini. Kenapa kamu diam saja?" Rendra menghela napas. Ia yakin ada duri-duri yang bersemayam di rongga dadanya karena sekarang ia merasakan nyeri ketika mencoba untuk menarik napas.
"Apakah sepuluh tahun tidak cukup lama untukmu? Atau memang hanya aku yang merasakan perasaan ini.." Rendra menutup wajahnya letih, Arini menangis tanpa suara, ia menghapus airmata yang mengalir cepat dipipinya.
Bagaimana harus kukatakan, sedetikpun aku tidak akan mampu berpisah darimu
Kamu harus mengetahui bahwa hari ini adalah hari yang paling aku tunggu di dalam hidupku selama sepuluh tahun terakhir,
Bersamamu seolah ingin kukatakan seluruh isi hatiku kepadamu
Bersamamu, ingin kuceritakan bagaimana aku menjalani hari-hariku tanpa ada kamu,
Tapi sekali lagi, keadaan ini tidak berpihak kepada kita.
Arini ikut menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya ketika dengan lahapnya Rendra memakan miliknya. Pria itu menatap lurus ke depan, air mukanya tampak tenang, garis wajah yang sangat Arini sukai. Tapi jika kita melihat ke dalam matanya, rasanya tidak akan sanggup melihat bongkahan-bongkahan kaca yang tertahan, semakin penuh dan penuh, seolah-olah ada kekuasaan otoriter yang mengomando untuk tidak keluar. Tidak sekarang.
Jangan bersedih, jika sekiranya waktu tak berpihak kepada kita
-One of Quotes –