Hujan dan badai. Guntur menyambar-nyambar di siang hari. Pepohonan di pinggir jalan bergoyang-goyang tertiup angin ribut. Rian berlarian menuju pintu masuk kantor majalah sembari kedua tangannya memeluk rapat tas kameranya. Badannya basah kuyup dan rambutnya basah terkena air hujan. Setelah berhasil berteduh di lobi kantor Rian memandang langit.
"Kalian menyebalkan!" hardiknya kesal, "lain kali tidak akan kubiarkan setetespun dari kalian menyentuhku!"
"Ehem." Terdengar suara mbak Ary dari meja resepsionis. Wanita itu sungguh berharap tidak mendengar sumpah serapah Rian lagi seumur hidupnya. Dia bosan.
Rian berbalik dari posisinya yang tadi membelakangi meja resepsionis lalu memberikan senyuman termanis kepada senior tercintanya.
Ary hanya menatapnya datar kemudian menyodorkan cek honor Rian. "Benar-benar jahat. Perusahaan tirani. Kenapa honorku semakin turun? Aku sudah memberikan berita terheboh abad ini. Dari artis tenar nomor satu yang sama sekali tidak menggunakan sosial media dan sangat tertutup dengan hubungan pribadinya. Dan kalian hanya memberikan…"
"Kamu mau apa tidak?"
"Mau."
Rian menyimpan ceknya di dalam tas yang untungnya tidak terlalu basah. Tentu saja, ia memeluknya dengan sangat erat tadi.
TAP
Pintu kaca lobi terbuka, Ary dan Rian menoleh dan seorang gadis bergaun magenta melangkah masuk seperti model yang berjalan di atas red carpet. Wow…dia sama sekali tidak basah karena hujan.
Apa kita datang dari belahan bumi yang berbeda? Pikir Rian.
Gadis itu membuka kacamata yang sedari tadi bertengger diwajahnya. Kini Rian dapat melihat jelas wajah cantiknya. Rambut sebahunya bergelombang indah. Rian seperti pernah melihat Wanita ini tapi ia tidak ingat di mana.
"Apa kita pernah bertemu?" tanya Rian dengan nada yang sedikit menggoda. Ia sudah lama tidak berkencan. Gadis itu mengerutkan keningnya.
"Maaf?"
"Tidak apa-apa, kamu tidak perlu meminta maaf kok untuk terlahir cantik, "
TOENG
Ary hanya dapat memutar bola matanya.
"Mbak Arneta, Ibu sudah menunggu di ruangannya,"
Rian dan gadis itu beralih melihat Ary yang masih setia berada di meja resepsionis. Tanpa menanggapi lebih lanjut gadis itu melangkah menuju ruangan manager.
Rian mendekati meja Ary.
"Mbak Ary kenal?"
Ary mengangguk. "Siapa?"
"Artis tenar nomor satu yang sama sekali tidak menggunakan sosial media dan sangat tertutup dengan hubungan pribadinya. Kiara Arneta. Sepupu Ibu Diva."
"Hahaha…" Rian tertawa hambar. Ia masih menatap Ary dengan pandangan berkaca-kaca. "Artis nomor satu?"
Ary mengangguk.
"Sepupu Ibu Diva?"
Ary mengangguk lagi.
"Mbak Ary, Rian mau ke kamar mandi!"
Kaki Rian mendadak lemas, tapi ia memaksa berjalan meski harus terseok. Ruang editor? Di mana? Astaga…dimana berkas yang ia kumpulkan kemarin siang? Belum. Managernya belum menemukan berkasnya bukan? ASTAGA RIAN HARYAKUSUMA!!! Kau sama sekali tidak belajar dari pengalaman.
*