#Hampir satu tahun kemudian
Rendra menarik kursi di salah satu meja restoran dengan kasar kemudian mendudukinya.
"Santai saja," kata Bagas yang sudah terlebih dulu duduk. Rendra tidak menjawab. "aku sudah memesankan minuman untukmu. Kamu mau yang lain?"
Randy dan Diva datang dan menduduki dua kursi kosong di antara Rendra dan Bagas.
"Kusut, banget Ndra. Jam berapa kamu tidur semalam?"
"Lupakan tentang orang itu, kalian dari mana?" Tanya Bagas.
"Ini bukan waktunya untuk cemburu, Gas…" Randy menyela, ia berbalik ke arah Rendra "perusahaanku akan menyelenggarakan ~launching~ perhiasan terbaru, kami butuh `ballroom hotelmu untuk tanggal enam belas…"
"Randyyyy…" Divaa memotong pembicaraan itu. Ia beralih kepada Rendra "kamu sudah bertemu dengannya?"
"Bisakah kita hanya makan saja sekarang?" Rendra akhirnya ambil suara. Ketiganya tidak melanjutkan. Segalanya begitu rumit di kepala Rendra dan dia tidak bisa memahami apapun. Satu bulan terakhir ia hanya terhenti di depan kantor Arini tanpa bisa melangkah lebih jauh. Menatap dari kejauhan wanita yang sangat ia rindukan. Bagaimana gadis itu bisa tampak biasa saja bekerja, tertawa sedangkan dunia Rendra seakan berhenti disini.
Seorang pelayan meletakkan jus alpukat di meja. Randy melihatnya, "jus alpukat?"
"Ya, ada apa. Kau mau?" Tanya Rendra.
"Kamu tidak akan melihat Arini tersenyum ketika minuman itu ada di hadapannya.
Rendra mengernyitkan kening kemudian tersenyum licik, ia menyilangkan kedua tangannya di atas meja dan menatap pria itu, Randy memicingkan mata sementara Bagas menahan tawa demi melihatnya.
"Kalian sadar telah membuatku cemburu?" sahut Diva. Rendra mengabaikan kata-kata itu.
"Jadi, ceritakan kepadaku apa yang dia sukai dan tidak disukainya."
Ya, cukup lama mereka bercerita tentang segala hal selama makan siang itu. Hubungan Bagas dan Randy cukup akrab membuat Diva cukup was-was. Tapi keputusan untuk memberitahu tentang masa lalu mereka merupakan hal yang benar. Meski cukup menyakitkan tapi Randy dapat menyikapinya dengan dewasa. Ia merangkul bahu Diva dan mengecup puncak kepalanya.
***
"Mas Abe, ini mau ditaruh mana?" Tanya Rian.
"Loh kok Tanya Abe…sini, ibu yang tahu mau ditaruh mana." Kata wanita paruh baya sambil mengambil barang yang ada di tangan Rian. "Rendra, jangan duduk disitu…buat nyusun barang."
Rendra menyingkir dengan berat hati. Hari ini masuk ke dalam rangkaian pernikahan Abe. Mereka akan berangkat ke tempat mempelai wanita untuk melaksanakan ijab Kabul.
"Bu, Rendra berangkat besok aja ya…"
"Rendra, kita berangkat sekarang aja baru nanti sore sampai ke tempatnya. Kalau berangkat besok mau kapan sampainya? Besok malam? Ya sudah selesai acaranya."
"Iya, kita juga harus istirahat dulu sebelum acara." Tambah ibunya Abe.
"Semangat dong, mas. Ini kan acara pernikahan sahabat lu. Udahan galaunya." Kata Rian. Rendra hanya mengangguk lemah. Akhirnya ia memutuskan untuk melupakan dulu dukanya dan ikut mengemasi barang-barang ke mobil.
Dua jam berlalu, Rendra menyetir mobilnya di jalan lurus menuju kampung halaman wanita yang akan dinikahi sahabatnya. Ia belum pernah melihat wanita itu, tapi dari cerita Abe ia tahu dia sangat cantik dan baik.
Pernikahan, kenapa begitu mudah bagi mereka. Jarak dua jam ini menjadi sangat singkat bagi dua mempelai itu, tapi kenapa jaraknya dan Arini terasa begitu jauh dan lama, padahal bisa saja mereka bertemu dalam dua puluh sampai tiga puluh menit perjalanan.
Bagaimana aku mengatakan kepadamu bahwa keadaan Alena sudah sangat baik sekarang, dia sudah bisa tertawa sekarang, sudah bisa berakting di depan kamera. Semua tamu sudah menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Tidak ada surat kabar apapun yang memuat peristiwa pernikahan yang batal itu, ibu dan bapakku sudah terhibur dengan persiapan pernikahan mas Abe. Lantas kenapa kita masih seperti ini, masih terluka masih berduka?
Tiba-tiba Rendra merasakan hembusan angin segar menerpa wajahnya. Ia melihat ke kaca jendela mobilnya dan melihat pepohonan rindang yang berjajar seolah menyambut kedatangan mereka. dari tadi ia terlalu fokus dengan jalan dihadapannya sehingga ia tidak menyadari pemandangan ini. Jalanan desa namun sudah beraspal, dan pemandangan pepohonan yang menyejukkan senja ini. Anehnya ia merasa tidak asing, ia tersenyum. Mungkin ini yang disebut kampung halaman.
*
Sayup-sayup adzan magrib berkumandang. Rendra memarkirkan mobilnya begitu pula mobil-mobil yang mengikutinya dari belakang. Mereka parkir di halaman kosong dekat masjid. Rendra keluar dari mobil dengan memegang kunci. Di seberang jalan ada areal persawahan yang terhampar luas. Langit kemerahan dan burung-burung hitam yang beterbangan hendak pulang ke rumah membuatnya merasa nyaman dan tenang.
"Gimana, Ndra? Udah jatuh cinta belum sama desa ini?" Tanya Abe. Rendra menoleh,
"Kenapa aku harus jatuh cinta?" Tanya Rendra. Abe hanya tersenyum dan menepuk bahu Rendra, Abe berjalan mengikuti rombongan menuju salah satu rumah penduduk yang ramai akan persiapan pernikahan.
"Ayo, Ndra!"
Rendra menoleh kembali pada burung-burung di atas sana, setelah dirasa puas ia pergi menyusul rombongan.
"Misi ya,mbak..misi-misi…" pemimpin rombongan menyela jalan untuk Abe diantara kerumunan ibu-ibu yang sedang memasak.
"Oalah, ini to nak Abe, udah datang. Mari-mari.."
Ditengah ke ramah tamahan itu Rendra tidak tahu harus tersenyum atau murung. Suasana itu begitu hangat dan ia tidak tega untuk tidak ikut bahagia.
"Ni, Ni …bisa belikan kecap nggak. Habis kecapnya."
"Iya mbak bentar…"
Apa ini? Suara itu…
Rendra mencari-cari asal suara dengan tatapan ganas.
"Kecap apanya? Belikan dulu semangka tiga buah. Ajak Fita sana."
"Nggak bisa Bulik1, aku yang ngantar minum untuk tamu dari pihak pria. Siapa tahu ada cowok ganteng di sana"
Wanita paruh baya itu mengetuk kepala Fita. "nggak usah protes, cowok ganteng kepalamu"
Wanita disamping Fita tertawa..
Demi Tuhan, jantung Rendra terasa berhenti saat mendengar tawa gadis itu. Bahkan airmatanya hampir tumpah. Betapa ia sangat merindukan wanita di sana. Betapa jarak beberapa langkah ini masih begitu jauh.
Prangg,,,suara alumunium jatuh membuat seluruh penghuni ruangan itu melihat ke arah pintu masuk.
"Aduh, nak…gimana to? Kok tiba-tiba berbalik…"
"Maaf bu," Rendra merasakan suaranya begitu jauh. Telinganya berdengung dan ia seperti tidak dapat mendengar suara-suara orang-orang disekitarnya.
"Bajunya jadi kotor tuh," kata yang lain. Rendra melihat dirinya sendiri kemudian melihat ke arah Arini yang sedang melihatnya.
"Biar aku yang nolongin…"kata Fita cepat. Bulik menahan tangannya.
"Ni, antar dia ke rumah..suruh ganti pakai pakaiannya masmu." Katanya sambil menyerahkan kunci. Arini mengangguk.
*
Masih tanpa suara, Rendra mengikuti Arini yang berjalan beberapa rumah dari tempat acara, sesekali Arinii menoleh ke belakang dan pria itu masih menatapnya. Arini membuka kunci rumah yang ada di hadapannya dan memencet tombol lampu di samping pintu.
"Masuklah," kata Arini singkat. Rendra menurut. Matanya berkeliling ruang tamu sementara Arini masuk ke ruangan yang lebih dalam. Dua menit kemudian Arini keluar dengan setelan kemeja dan celana panjang. Ia mengulurkan kepada Rendra.
"Ini rumahmu?" Tanya Rendra sambil menerima baju itu.
Arini menggeleng, "ini rumah kakakku, kamu bisa gunakan kamar sebelah kiri."
Rendra mengangguk kemudian melangkah melewati Arini.
#pov Arini
Ada getar aneh ketika ia bersisian sangat dekat dengan Rendra. seperti hidupnya kembali bermakna, betapa perasaan ini masih sangat kuat. Padahal sudah lama mereka tidak bersua. Dan kini, ada bisikan lembut di dalam hatinya bahwa mereka diciptakan untuk bersama, seberapapun usaha Arini untuk menghindar jalan takdir akan mempertemukan mereka kembali.
#
Rendra melihat dirinya di depan cermin kamar. Kini ia tahu angin yang berhembus kencang tadi sore membawa isyarat, pepohonan yang berjajar di jalan tadi mengingatkannya akan halaman kantor Arini, ada beberapa pohon yang berjajar dan mengantar menuju pintu utama kantor tersebut. Rendra tersenyum. Sekarang tidak ada keraguan lagi.
***