Pagi ini awan tampak cerah dilangit, matahari bersinar dengan ramah. Tanah berumput meja bundar tertata saling bersilangan di halaman yang hijau itu. Sebuah dekorasi yang indah untuk pernikahan sederhana, bunga-bunga mawar putih menambah perasaan tenang di tempat itu. Semua bernuansa putih, music mengalun lembut mengiringi mempelai wanita yang keluar dari salah satu rumah warga menuju gedung pernikahan itu. Mereka siap untuk melaksanakan ijab Kabul. Hening sesaat.
Tidak ada yang lebih membahagiakan dari menyatukan dua hati yang saling mencintai. Semua orang yang ada di sana bertepuk tangan dan bersorak-sorai ketika satu kalimat sakral itu selesai diucapkan dan penghulu menyatakan sah?
"Sahhhhh!!!" teriak seluruh pemuda yang ada di sana.
Arini tersenyum dan menahan haru di dadanya. Ia dan Fita berpelukan sambil menatap mempelai yang sedang sungkem kepada orang tua mereka. di hadapan kedua gadis itu duduk sepasang suami istri. Mungkin usia mereka hampir sama dengan usia orang tuanya. Mereka tampak damai dalam senyuman yang tersungging di bibir mereka. sesekali mereka mengajak Arini mengobrol. Dan kedua wanita itu tersenyum saat mereka bercerita mempunyai anak laki-laki yang seumuran dengan Arini. Tujuannya sudah sangat jelas, Arini memohon diri pada saat yang tepat.
Ia berjalan-jalan di pinggir dua tambak ikan tak jauh dari tempat resepsi sambil menggendong keponakannya yang baru berusia tiga tahun. Outernya berbahan brokat akar berwarna putih dengan kombinasi jilbab pashmina warna dusty purple. Sebagai alas, Arini hanya memakai wedges dengan tinggi hanya sekitar lima centimeter. Ia menatap ikan-ikan nila di dalam air yang berenang-renang dengan gembira.
.
"Kebanyakan orang menyukai ikan untuk dimasak lalu dimakan, aku penasaran apa yang kau lakukan saat kau menyukai ikan..." seorang pria berdiri beberapa langkah darinya, Arini setengah terkejut namun akhirnya tersenyum mendengar suara yang sangat familiar ditelinganya.
*
"Bagaimana para saksi?"
"Saahhhhh!!!" Abe dibuat salah tingkah oleh ulah para teman-temannya dan pemuda desa ini. Kemudian mereka membaca doa untuk melengkapi ijab Kabul pada pagi ini.
.
.
Orang-orang bisa saja mengatakan cinta setiap hari, tapi tidak setiap hari orang-orang bisa menepati janji mereka dalam ikatan ini. Semoga Abe dan istrinya selalu mendapatkan kebahagiaan dalam cinta yang akan bertambah hari demi hari. Rendra mengabadikan momen itu dengan kamera yang ia pinjam dari Rian. Ia sangat bahagia atas pernikahan sahabatnya.
"Selamat ya, mas!" Rendra menepuk bahu Abe.
"Makasih, Ndra"
Rendra mengembalikan kamera adiknya dan berjalan menuju meja bapak ibunya. "jangan terlalu banyak bekerja, menikahlah" kata ibu.
"Rendra hanya ingin makan disini, sudah ada yang menikah jadi sudahlah" kata Rendra,
"Tuh anakmu, pak"
"Anakmu juga bu,"
Rendra melahap kue ditangannya. "Ndra, coba lihat di dekat tambak itu. Kenalan gihh. Anaknya manis.."kata ibu lagi. Rendra melihat ke arah tambak, mata Rendra mengerjap pelan. Ia menelan kue yang sedari tadi ada di mulutnya. Rasanya sudah lama sekali. Tadi malam mereka tidak memiliki kesempatan untuk berbicara banyak. Arini harus ikut menyiapkan pernikahan sahabatnya.
*
"Kebanyakan orang menyukai ikan untuk dimasak lalu dimakan, aku penasaran apa yang kau lakukan saat kau menyukai ikan..." kata Rendra setelah sampai ditepi tambak. Wanita itu berbalik dan Rendra melihat anak kecil digendongan Arini. Ia menahan napas.
"Anak itu…"
"Ponakanku,,,Winsa." Kata Arini menjelaskan. Ia tahu pria ini sangat mudah untuk salah paham.
Rendra menghela napas lega.
Arini terlihat sangat cantik pagi ini dan Rendra merasa itu cukup. Kerinduannya seakan terobati. Bagaimana ia bisa merasa sangat bahagia bersama Arini seperti ini. Lewat mata mereka mengungkapkan segalanya, bagaimana pandangan itu bisa begitu terhubung. Aku melihatnya dan aku jatuh cinta.
"Jadi bener-bener mas Abe," Arini mencoba meembuka suara.
Rendra mengangguk. "aku juga terkejut kamu ada di sini…betapa Tuhan sangat baik kepada kita. Sekarang tidak ada keraguan lagi, bagaimanapun cara kita untuk saling menjauh akan ada saatnya kita bisa bersama."
Arini hanya bisa terdiam seribu bahasa. Ia tidak tahu bagaimana cara membalas kata-kata Rendra. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan bongkahan kaca di kelopak matanya.
"Bulik,,ada ikan besal…!!!" teriak Winda membuat Arini terkesiap.
"Wah iya…ada ikan besar.."
Rendra tersenyum, ia melangkah lebih dekat.
"Hallo Winsa, ini om Rendra. mau gendong?" Rendra mengulurkan tangannya, Arini mengangkat alis.
"Yakin nggak ini?"
"Iyalah…"
Perlahan Winsa beralih ke gendongan Rendra. "eh lihat tuh,,,ada ikan kecil juga." Ia menunjuk ke arah tambak.
"…waaa"
Arini tersenyum, Rendra mendekatkan wajahnya di telinga Arini. "aku merindukanmu, Arini" bisiknya lembut.
Jantung Arini berdetak lebih cepat, ia yakin pipinya sedang memerah sekarang dan gawatnya lagi ia tidak bisa berhenti tersenyum.
"ada ikan hitam…" sahut Rendra lagi mencoba menyembunyikan salah tingkahnya.
"uwaaaa,,," kata Winsa takjub, Arini juga ikut menyorakkan keberadaan ikan itu. Dengan mudah ketiganya akrab di sana. Entah sejak kapan seorang Rendra bisa sangat perhatian dengan anak kecil. Teringat semua kejahilan Rendra selama ini, pantas saja pria itu begitu luwes menghadapi Arini.
"Winsa, makan yuk!" kakak Arini datang, ia mengambil Winsa dari gendongan Rendra. "mbak duluan, kalian juga makan lho." Kata ipar Arini sambil tersenyum ramah.
"Iya mbak, nanti."
Keduanya melihat kepergian Winsa dan kakaknya.
"Eh aku tadi pagi lari-lari, terus lewat di depan rumahmu. Ada banyak bunga kertas, sangat indah."
"Kamu tahu rumahku?"
"Aku tanya sama Fita…."
"Ohhh,,,"
"Apa?"
"Nggak pa-pa."
Rendra menatap Arini curiga, gadis itu salah tingkah.
"Kamu tadi ngobrol apa sama bapak ibuku?"
"Bapak ibu kamu?" Arini bingung.
"Yang tadi duduk sama kamu sama Arini."
"Mereka?" Arini terkejut, Rendra mengangguk.
"Makan yukk,laper nih…" kata Rendra.
"O iya, maaf. Belum makan ya…yukk, kita balik ke sana."
Mereka berjalan keluar dari tambak ikan.
"Eh bapak kamu dimana, aku pengen ketemu"
"Tadi kamu udah ketemu kok."
"Yang mana?"
"Yang ngobrol sama kamu sebelum ijab Kabul. Dia yang menyerahkan mempelai wanita."
"Ooh, orangnya ramah ya?"
"Yang bener…tadi kayak takut gitu…" Arini menahan senyumnya dan berjalan duluan. Rendra menggaruk belakang kepalanya. Menahan malu ternyata tadi Arini melihat adegan kecil tadi. Saat ia salah mengenali seorang bapak sebagai penghulu.
Rendra berhenti, menatap Arini dari belakang dan memantapkan hatinya.
"Arini!" panggilnya. Kali ini ia memastikan gadis itu mendengar suaranya.
Wanita itu menoleh ke belakang, "ya?"
Rendra menarik napas panjang sembari menatap Arini.
"Aku mencintaimu."
.
.
Perlahan Arin membalikkan badannya, setetes airmata jatuh membasahi pipinya.
"Sekarang, aku harap kamu tidak menahanku lagi untuk menemuimu. Karena aku nggak yakin apa aku masih sanggup untuk menjauh."
Tetes kedua, dan selanjutnya mulai menderas dipipi Arini. Gadis itu mencoba bernapas walaupun sulit karena airmata yang tidak mau berhenti mengalir. Ia sedikit mengusap airmata walau ia tahu percuma, airmata kembali mengalir.
"Datanglah, saat kamu ingin menemuiku, setelah itu akan kutunjukkan betapa aku merindukanmu, betapa aku membutuhkanmu, betapa aku mencintaimu,"
Rendra tertawa tanpa suara dan airmata mengalir dipipinya, sebentar. Hanya sebentar karena pria itu langsung menghapusnya. Arini ikut menghapus airmatanya dan tersenyum ke arahnya.
Aku pernah berharap semua cinta di dunia memiliki tuannya
Agar tidak ada lagi hati-hati yang terluka seperti diriku
Tapi aku tahu, cinta tidak akan lengkap tanpa perasaan terluka.
Dan luka, membuat kita bertambah kuat
Luka membuat kita menyadari betapa berharganya cinta
.
.
.
Datanglah, saat kamu ingin menemuiku, setelah itu akan kutunjukkan betapa aku merindukanmu, betapa aku membutuhkanmu, betapa aku mencintaimu
***