"Alena sangat mencintai kamu, Ren. Tolong pikirkan itu." kata Mama Alena lembut. Rian melihat kakaknya sedang berbicara dengan mama dan papa Alena. Ia melirik ke luar jendela. Hujan sangat lebat di malam yang pekat. Ia menatap pepohonan yang bergerak-gerak karena angin besar.
"Maaf tante…"
"Kalian sangat dekat sejak kecil, waktu smp kalian juga sempat berpacaran. Tidak ada salahnya kalian mencobanya lagi." Kali ini papa Alena angkat bicara. "kamu tahu Alena membutuhkan kamu di saat seperti ini, kamu tahu penyakitnya."
"Rendra yakin Alena lebih kuat dari itu, om. Tidak ada yang bisa menguatkan Alena selain om dan tante. Tapi saya tidak bisa memenuhi apa yang tante dan om inginkan, Rendra mungkin bisa menjadi temannya, tapi tidak untuk kembali menjadi kekasihnya."
"Kamu sudah seperti anak kami sendiri, Rendra"
"Maafkan Rendra, tante.."
"Baiklah." Mungkin saat ini mereka harus menyerah sejenak, lain kali mereka akan kembali dan berharap pikiran Rendra akan lebih terbuka. "Maaf Rendra kami sudah mengganggumu." Om dan tante berdiri, Rendra ikut berdiri.
"Saya antar pulang…"
"Tidak perlu…"
"Seandainya…" Alena mengusap airmatanya, "seandainya kak Rendra nggak menolak cinta aku, seandainya dia nggak mengabaikan permintaan mama dan papa aku dan tega membiarkan mereka pulang sendiri malam itu kecelakaan itu nggak akan terjadi, seandainya dia mengurangi keegoisannya dan melihatku sebentar saja."
AGGGHHHHH….Rendra terbangun dengan satu sentakan keras. ia membuka matanya, beberapa detik hingga ia menyadari ia berada di kamarnya. Keadaannya lusuh dan tiba-tiba mimpi itu memasuki dunia nyata, airmata membasahi sudut matanya, membasahi pipi dan dagunya. Ia mengusap wajahnya.
"Kamu sudah seperti anak kami sendiri, Rendra"
Rendra beranjak dari tempat tidurnya, ia meraih ponselnya, memencet beberapa nomor kemudian menempelkannya ditelinga. Suara gemerisik kemudian terdengar suara gadis itu, Rendra tersenyum.
"Ada apa?"
Rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu
"Hai, Pak. Apa yang ingin anda katakan?"
Aku merindukanmu
"Baiklah…"
"Sekarang kamu di mana?" Ia bersuara.
"Apa?"
"Ayo kita makan siang?"
"Aku sudah ada janji dengan Diva."
"Di mana?"
"Restoran biasa. Tunggu, kenapa?"
"Jangan pergi dulu setelah makan siang bersama Diva." Rendra menutup telponnya. Kini ia merasa semuanya baik-baik saja, sekarang dia bisa bernapas. Arini menjadi udara ketika segalanya terasa menyesakkan. Arini menjadi alasan untuk Rendra mampu bertahan. Arini menjadi alasan Rendra menjalani hari-harinya. Setidaknya untuk saat ini…saat ia masih bisa melihat cahaya, sebelum segalanya terasa gelap untuknya nanti.
***
"Apa???" Arini hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Diva baru saja menceritakan masa masa lalunya dengan Bagas. Sekarang Arini dapat benar-benar mengerti cerita mereka dan betapa kecilnya dunia.
"Kuharap kamu tidak menceritakan segala yang kamu tahu tentang aku kepada Bagas mengingat seberapa dekatnya kalian." Kata Diva.
"Aku masih waras, Di."
"Baguslah..ah," Dea menyandarkan punggungnya pada kursi. "aku tidak tahu apa yang akan Randy pikirkan ketika mendengar cerita ini."
"Kenapa kamu tidak menceritakannya saja?"
"Aku juga tidak tahu, dulu aku berpikir ini bukan masalah besar karena Bagas pergi keluar negeri dan aku pikir tidak akan kembali kesini lagi."
Arini termenung. Bagaimana sahabatnya bisa terjebak dalam dilema seperti ini? Pasti sangat membingungkan.
"Jadi benar Rendra?" suara Diva memecah keheningan dikepala Arini. Arini mengangkat alis tak mengerti. Diva menggeleng malas, "calon suami foto model itu, dan kamu dengan senang hati menerima pekerjaan ini."
"Kenapa tidak, dia membayar dengan harga yang pantas. Dan aku sangat professional."
Diva menegakkan punggungnya "dia nggak menunjukkan tanda-tanda…"
"Di, cukup. Semua yang ingin kamu katakan itu sangat mustahil terjadi."
"Kamu harus belajar membedakan mana mustahil mana rendah diri. Come on RiN, kamu sempurna sekarang dan kamu pantas untuk pria manapun."
"Dia akan menikah Di, dan kamu pikir aku tega mengkhianati Alena? Tidak pernah ada yang jelas antara aku dan Rendra. Cinta sepihak ini…astaga, sudahlah." Arini frustasi.
"Apa? Jika semua yang ingin kamu coba katakan itu benar kenapa dia selalu berusaha makan siang sama kamu. Seperti sekarang, dia tetap bersikeras bertemu meski kamu sedang ada janji denganku."
"Untuk persiapan pernikahan."
"Seperti yang kamu katakan, semua sudah siap. Dia tinggal duduk manis bersama foto model itu, mengucapkan satu kalimat janji. Setelah semua itu selesai apa yang akan kamu lakukan?"
"Melupakannya kemudian bekerja, bertemu klien baru, merayakan ulang tahun kalian – kamu, Sasa, Ray, Sherli." Arini mencomot kentang goreng milik Diva. Ia tidak berselera dengan apa yang ia pesan.
Diva menatap wajah Arini prihatin, "sepuluh tahun yang lalu kamu juga mengatakan itu, apakah itu lebih berguna sekarang?"
Ting….lonceng di atas pintu restoran berdenting menandakan bahwa ada seseorang yang datang. Arini dan Diva menoleh ke asal suara, Rendra muncul dari balik pintu dan tampak sedang mencari seseorang. Diva mengalihkan pandangan ke arah Arini sambil mengerlingkan mata.
"Aku pergi dulu…" kata Diva sambil mengemasi tasnya. Tepat pada saat itu Rendra sudah sampai di meja mereka. Diva berdiri. "hei, Ndra…tidak ada meeting siang ini?"
"Hai, Di..aku baru selesai dan langsung kemari begitu selesai."
Diva melayangkan senyuman penuh isyarat kepada Arini, namun gadis itu cuek saja. "Begitu? Baiklah aku pergi dulu."
"Kamu mau pergi?"
"Iya, aku harus segera ke kantor majalah. Bye Ndra."
"Ok" Rendra menatap kepergian Diva hingga gadis itu menghilang dari balik pintu kemudian duduk di tempat Diva tadi seraya tersenyum ke arah Arini.
"Jadi menu apa untuk siang ini?" Tanya Rendra ringan. Arini tersentak, ia menahan napas mengingat apa yang terjadi beberapa minggu belakangan. Seberapa bahagianya dia sehingga tidak menyadari bahwa kini mereka semakin dekat.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya pria itu. Mungkin karena melihat Arini yang begitu diam siang ini.
"Bukannya tadi kamu bilang baru selesai rapat?"
"Iya, memang. Tapi aku belum makan siang."
"Kenapa ceroboh sekali?" suara Arini meninggi. "kamu harus makan tepat waktu atau kamu akan sakit lagi."
Sekarang ia melihat Rendra tersenyum, membuat Arini menjadi serba salah. "apa?" tanyanya galak.
"Kamu mencemaskanku?" tanyanya lembut. Obrolan terhenti karena seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan Rendra. Pria itu mengatakan pesanannya setelah itu pelayan pergi meninggalkan meja. Rendra kembali melihat Arini.
"Kamu tampak lelah hari ini? Ada apa?"
"Aku sudah mengirim semua dokumen persiapan ke emailmu. Cek lagi apabila ada yang terlewat."
"Hei kurasa kamu terlalu banyak bekerja. Santai saja, makan dulu besok kita bicarakan lagi."
Seorang pelayan datang dan meletakkan pesanan Rendra. Arini melihat pelayan itu meletakkan jus alpukat di meja, ia menghela napas berat. Ia tidak pernah menyukai minuman itu, rasanya aneh. Banyak orang yang bilang ia tidak bisa menikmati hidup apabila tidak pernah mencoba minuman favorit semua orang itu. Tanpa Rendra iapun juga tidak bisa menikmati hidup. Keduanya memiliki kesamaan. Yaps..cepat atau lambat ini harus berakhir.
"Kita tidak perlu bertemu lagi." Kata Arini sambil meraih sendok dan garpunya. Makanan yang datang sejak setengah jam lalu ini pasti sudah dingin sekarang. Ia menyadari saat itu juga aktivitas Rendra terhenti.
"Segala persiapan telah selesai. Tidak ada yang perlu dibahas lagi. Jadi kita tidak perlu membuang waktu untuk bertemu, kamu memiliki meeting yang sangat banyak – aku yakin itu."
"Membuang waktu?" Rendra mengerutkan keningnya. Arini mengabaikan rasa sesak dalam dadanya. Bernapaslah Arini. "ada apa denganmu?"
Pandangan Rendra datar. Mata itu menatap langsung ke dalam mata Arini seolah ingin mengetahui apa yang terjadi sehingga sikap wanita itu berubah kepadanya. Arini menundukkan pandangan.
Kurasa aku tidak akan sanggup bertahan, terus menerus melihatmu tidak akan memperbaiki suasana hatiku. Aku harus tetap hidup setelah Rendra benar-benar menjadi milik Alena.
"Pernikahanmu akan berlangsung setelah beberapa hari. Kalian tidak membutuhkanku lagi, kalian sudah membayar lunas dan…"
"Kamu akan menghilang seperti sebelumnya…" nada dingin itu merayapi tubuh Rendra, ia mencoba menghalau rasa nyeri yang mulai timbul..dia akan pergi lagi
"Aku akan tetap bertanggung jawab. Kamu tidak perlu khawatir, acara kalian akan berjalan lancar"
"Lupakan saja…kamu sama sekali tidak membantu,"
"Ren…"
Rendra berdiri dan berbalik. Rendra mengabaikan kata-kata Arini setelahnya. Pria itu belum menyentuh pesanannya sama sekali dan pergi begitu saja. Harapan satu-satunya. Satu-satunya kesempatan untuk merasa bahagia siang itu telah hilang. Harus bagaimana lagi…
***
Bagas berjalan menyusuri koridor hotel menuju ruangan Rendra. Dia butuh seorang teman untuk minum kopi malam ini. Ia tidak bisa melanjutkan pekerjaannya karena berbagai pikiran yang semakin lama semakin menjejali otaknya, membuat ide-ide kreatifnya tergeser begitu saja. Ia berbelok dan mendapati Rendra hendak memasuki ruangannya. Ia bernapas lega.
"Hei, bro…" sapa Bagas riang. Rendra menoleh, tangannya berada di engsel hendak membuka pintu demi mendengar suara Bagas. "darimana saja? Aku menelpon ruanganmu tadi, ponselmu juga tidak aktif sehingga aku harus kemari."
Rendra merogoh saku celana mengambil ponsel kemudian memeriksanya. "ponselku mati."
"Dari mana?" Bagas memperhatikan wajah Rendra, "kamu terlihat lelah sekali, dan pucat"
Rendra menggeleng lemah. "aku dari lobi tadi, melakukan pengawasan rutin. Ada apa?"
"Sedang ada masalah?" Pria itu belum menyerah.
Rendra berusaha mengendalikan diri untuk tetap tenang, "aku hanya kelelahan. Ada apa?"
"Baiklah," Bagas menyerah. "temani aku minum kopi, aku butuh udara segar."
"Maaf, aku tidak bisa."
"A…jika ini soal pekerjaan aku tidak akan melarangmu menghabiskan waktu semalaman di depan dokumen tidak berguna itu, tapi kau harus beristirahat sebentar. Dua jam saja. Kita butuh udara segar, Ren."
Rendra berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
"Bagus." Sambut Bagas. Rendra mengurungkan niat membuka pintu ruangannya dan mengikuti langkah Bagas. Mereka pergi menggunakan mobil Bagas, ia tidak akan mengambil resiko membiarkan Rendra menyetir dalam kondisi setengah hidup seperti itu.
Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai di depan coffee shop. Mereka memilih tempat duduk di luar ruangan supaya mendapatkan ketenangan dan udara segar. Dua cangkir kopi ada di meja mereka. Pukul sepuluh malam dan jalan raya lebih lengang dari biasanya. Rendra menyandarkan tubuhnya pada kursi dan memejamkan matanya. Tak lama aroma kopi memenuhi udara di sekitar mereka, ia segera menghirup aroma kopi yang nikmat.
"Astaga, aku benar-benar membutuhkan ketenangan semacam ini." Keluh Bagas. Ini pertama kalinya Rendra mendengar Bagas mengeluh. Ia membuka mata dan tersenyum samar.
"Bukankah kau sangat mencintai pekerjaanmu?"
"Ya, tapi beberapa hari ini pikiranku kacau. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih."
"Karena wanita?" Rendra melihat Bagas, Bagas tertawa hambar.
"Begitulah…" ia tidak menyangkal.
"Siapa, Arini?" Tanya Rendra asal. Bagas melihat ke arah Rendra yang mulai mengambil secangkir kopi dan menyesapnya pelan.
"Bukan, kenapa tiba-tiba berpikir ini soal dia?"
"Entahlah, dulu aku melihat kalian…ehm, begitu dekat."
Bagas tertawa. "kau salah paham bro, kami hanya berteman."
Rendra mengangguk-angguk. Tiba-tiba ponsel Bagas berbunyi. Ia melihat ke arah Rendra sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab telpon. "ya, Alena.."
Kepala Rendra berdenyut mendengar Bagas menyebut nama gadis itu. Seakan semua hal buruk yang pernah terjadi mulai menghantuinya kembali. Tapi ia harus siap sewaktu-waktu apabila gadis itu memang sedang mencarinya. Siap untuk selalu berada di sampingnya dan menjaganya.
"Rendra?" Bagas melihat Rendra. Rendra melihatnya sekilas kemudian menyesap kopinya. "aku tidak bersamanya sekarang. Kau sudah mencoba menghubungi ponselnya?"
Rendra sempat terkejut Bagas berbohong kepada Alena, kenapa? Ia menatap pria itu.
"Hemm..? mungkin ponselnya mati. Baiklah, kau juga…istirahatlah"
Rendra dapat membayangkan pertanyaan – pertanyaan yang Alena lontarkan tapi ia tidak dapat membayangkan apa yang ada di dalam pikiran Bagas. Seorang Bagas berbohong kepada Alena itu bukan sesuatu yang wajar.
"Jangan menatapku seperti itu," Bagas menyandarkan tubuhnya dipunggung kursi, "aku hanya melihat wajahmu sangat tertekan dan aku tidak tega melihatmu lebih tertekan karena Alena."
Untuk beberapa saat mereka tidak bersuara. Bagas menegakkan tubuhnya kembali, "apakah sangat sulit?"
"Apa?" Rendra menatapnya datar.
"Bersama Alena. Apakah kamu tidak bisa mencintainya lagi seperti dulu?"
Apakah kini ia bisa bersikap jujur kepada Bagas? Karena pria itu sudah sangat bijaksana sekarang. Sudah bisa melihat sudut pandang yang berbeda.
"Aku tidak apa-apa, Gas."
"Aku tahu, aku sangat bersalah kepadamu. Aku sangat marah waktu itu hingga tidak tahu apa akibat dari kata-kataku. Tapi kita masih bisa memperbaiki semuanya sebelum terlambat."
Rendra tersenyum murung, "awalnya aku memikirkan hal itu, Gas. Bagaimana aku bisa keluar dari semua ini tanpa menyakitinya, mungkin ada yang bisa aku lakukan, mungkin…" katanya kalut.
"Tenanglah, Ndra.." Bagas memegang bahu Rendra. Rendra terkesiap kemudian reflex mengusap wajahnya.
"Maafkan aku." Suara Rendra terdengar putus asa. Belum pernah Bagas melihat Rendra yang seperti ini. Ini bukan kesalahannya, andai kata-kata itu bisa sedikit memberi ruang untuknya bernapas.
"Kita harus berbicara dengan Alena." Kata Bagas akhirnya. Rendra membuka kedua matanya.
"Entahlah…"katanya lemah. "hal ini sudah semakin rumit dari yang kau tahu."
"Aku tahu Ren…" gumam Bagas.
"Apa?" Tanya Rendra tak mengerti.
"Ha…?"Bagas tersentak. Tanpa ia sadari ia telah menyuarakan pikirannya sendiri. Ia memaksakan sebuah senyuman demi menutupi kecanggungannya dan menggeleng, mengambil kopinya yang sudah mulai dingin dan menyesapnya.