Chereads / Sedang Ingin Bersamamu / Chapter 17 - Duniaku yang Mengembara

Chapter 17 - Duniaku yang Mengembara

Arini dan Rian berjalan bersama di area kantor majalah. Rian baru selesai menerima gajinya dan Arini pergi mengunjungi Diva sebentar. Dikala kepenatan hari-harinya ia bisa tertawa bersama Rian. Orang yang menarik, humoris, dan santai. Membuatnya tidak merasa bersalah seperti yang terjadi saat ia bersama orang lain.

"Mobilmu masih di bengkel?" Tanya Rian. Arini mendengus lalu mengangguk.

"Tadi siang aku bela-belain naik taksi untuk kemari. Sebenarnya aku sangat malas pulang menggunakan taksi atau angkutan lain. Arian…" selalu bisa menjemputku.

"Arian?" ulang Rian. Arini menggeleng. "Baiklah." Kata Rian akhirnya, "kutemani naik taksi, tapi mbak yang bayar ya…"

"Huh, dasar"

Anak itu nyengir.

Mereka dalam perjalanan pulang ketika ponsel Rian berbunyi. Ia mengangkat telponnya sambil melihat Arini yang asyik memandang keluar jendela.

"Ya, Ndra?" suara Rian menggema di telinga Arini, nama itu. Wanita itu menutup kedua matanya. "gue masih dalam perjalanan pulang-sebentar lagi. Gue mesti mampir di suatu tempat dulu."

"Rendra…" ujar Rian.

"Hmm?," Arini menoleh sebentar.

"Bagaimana hubungan kalian?" Tanya Rian hati-hati.

"Baik,"

"Maaf, jika tiba-tiba kakakku begitu mengganggumu…" suara Rian terdengar berat membuat Arini menoleh.

"Kenapa meminta maaf?"

Rian mengusap wajahnya lalu memaksakan sebuah senyuman.

"Hanya saja, mungkin dia tidak akan pernah berani untuk meminta maaf secara langsung kepadamu."

"Rian, aku sama sekali tidak mengerti." Airmata Arini meleleh. Apa ini? Ada debu dimataku? batin Arini.

"Dia melarangku mengatakannya kepadamu, tapi aku selalu berpikir bagaimana jika aku seorang Arini…aku pasti ingin tahu."

Arini menoleh ke depan taksi kemudian melihat ke arah Rian. Ia menghapus air matanya yang sempat meleleh. "jangan katakan, Yan."

Rian menatap heran ke arah Arini.

"Jika dia tidak ingin mengatakannya, itu berarti dia tidak ingin aku tahu. Meski begitu…aku tahu dia tidak pernah memiliki tujuan yang buruk. Semua kebetulan ini begitu terhubung hingga kami semua hanyut di dalamnya. Namun tetap saja kita harus menjalani kenyataan yang ada bukan?"

"Permasalahannya tidak semudah itu, mbak…"

"Maaf, mas mbak. Sudah sampai…" suara supir taksi menyentakkan keduanya. Rian dan Arini melihat keluar jendela.

"Beneran nih aku yang bayar?" Tanya Arini.

"La iya" kata Rian acuh. Arini menggeleng-geleng. Siapa yang habis gajian sebenarnya?

***

Bulan purnama menemani Rendra yang sendirian di dalam mobil. Ia berada dipinggir jalan dan di depan sana tampak pohon-pohon yang berjajar menuju pintu utama kantor Arini. Ia membuka dasbor mobilnya dan memungut secarik kertas dan setangkai bunga kertas kering di dalamnya. Rendra membuka lipatan kertas yang sudah sangat lama itu dengan kening berkerut samar. Kertas yang ia ambil dari buku diary Arini. Ia membaca tulisan itu dalam hati.

Rendra Haryakusuma. Cukup sekali andai aku bisa memanggil namanya tanpa rasa sakit, tapi kenyataannya nama itu terlalu akrab dengan luka…Haruskah aku menulis surat cinta untuknya?Apa yang akan dia pikirkan? Tapi baiklah, Rendra…aku…lupakan.

Rendra menghempaskan tubuhnya pada kursi mobil. Ia mengusap wajahnya yang lelah.

"Apakah terlalu menyakitkan berada terlalu dekat denganku?"

Setelah perasaannya menjadi lebih tenang ia menyalakan mesin mobilnya. Namun baru beberapa meter mobilnya pergi, tampak sebuah taksi berhenti di depan kantor Arini. Benar, gadis itu turun dari taksi biru tersebut bersama Rian adiknya. Ia menghentikan laju mobilnya dan melihat mereka tertawa bersama dari kaca spion samping. Arini tampak sangat bahagia. Hati Rendra begitu miris melihat Arini beberapa meter jauhnya, ia hampir membuka pintu mobilnya ketika ponselnya berbunyi.

Perlahan Rendra melihat layar ponselnya.

Alena

Kepala Rendra berdenyut sangat cepat, ia mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil. Tubuhnya menggigil dan tanpa sengaja ada sesuatu yang meleleh dari sudut matanya. Suara-suara itu terus menggema dipikirannya.

Sejak kecelakaan yang dialami om dan tante setahun yang lalu Alena jadi sering pingsan.

***

Alena berdiri di areal luas tempat ia akan menikah besok. Suasana putih bersih, elegan dan terkesan akrab memenuhi tempat itu. Ia memakai gaun selutut motif bunga warna salem dan rambutnya yang tergerai bergerak tertiup angin menambah menawan setiap mata yang memandangnya, tapi penampilan itu sangat kontras dengan suasana hatinya yang sangat murung.

"Kenapa kamu masih bertahan dengannya jika hal itu menyakitimu, Len? …"

Bahkan, sampai sejauh ini aku masih tidak bisa merubah hatinya. Hati yang telah lama meninggalkanku. Duniaku yang kuperjuangkan memang telah kumenangkan. Tapi saat itu pula dia akan redup untuk selamanya.

"Cukup, Nau…menurutku ini sudah sangat sempurna. Coba tanyakan pada Alena seandainya dia memiliki pandangan lain."

"Ok," kata Naura, namun ia masih belum beranjak. Walau ragu akhirnya ia bertanya. "anda tidak tidur semalam?"

"Apa?" Rendra mengernyitkan dahi.

"Anda tampak lesu dan pucat. Apa Pak Rendra kurang sehat?"

Rendra memaksakan sebuah senyuman, "aku tidak pa-pa," ia melihat sekeliling dan melihat Alena yang berdiri di tengah taman. Rendra menghela napas untuk menenangkan diri. "aku permisi, Nau."

Ia berjalan menghampiri Alena. Ia melepas jasnya dan menangkupkannya pada bahu Lena. Gadis itu menoleh.

"Jangan terlalu lama berdiri di tempat ini, udara bertambah dingin"

Lena tersenyum, "jujur, aku tidak pernah menyalahkanmu atas kepergian papa dan mama, kak" katanya lembut. Rendra mengetahui arah pembicaraan ini. Ia sedang tidak ingin membalas kata-kata Alena dengan segala ketidakberdayaan di dalam dirinya, jika tadi Naura bertanya tentang keadaannya, ya…yang sejujurnya tidak ada yang baik pada diri Rendra sekarang. Namun tidak mungkin ia mengungkapkan semua itu kan?

Rendra ikut memandang dekorasi.

"Aku hanya tidak ingin kamu pergi dariku." Gadis itu melanjutkan.

Rendra merangkul bahu Alena dan mengusapnya pelan, hanya itu yang bisa ia lakukan.  

"Aku minta maaf, kak."

"Apapun itu, keputusanku adalah bersamamu. Jangan mencoba untuk menahan diri."

Alena memejamkan kedua matanya.

Dan sore itu adalah sore terindah untukku. Saat kita pernah sama-sama bermimpi dengan mata terbuka. Aku tidak terlalu yakin dengan apa yang kau impikan, tetapi yang aku yakin adalah aku selalu memimpikan kebahagiaanmu. Akulah seseorang yang pernah memberikan senyuman dipipimu, senyuman termanis yang pernah aku lihat sepanjang hidupku sebelum kau memutuskan untuk menutup semua pintu dihatimu dan perlahan menjadi pribadi yang baru. Seseorang yang tak kukenal selama beberapa tahun kau pergi. Duniaku yang mengembara entah kemana.

***

Sehari berselang

Arini berjalan menyusuri trotoar menuju restoran di ujung jalan. Berbagai pemikiran berkecamuk di dalam kepalanya. Sejak beberapa hari ia belum berbicara dengan Arian, entah itu secara langsung maupun lewat telpon. Bagaimana keadaan pria bodoh itu? Kenapa dia juga tidak menghubungi Arini sama sekali.

Ia berdiri tepat disamping pintu masuk, restoran sangat sibuk hari ini. Pandangannya menyapu sekeliling hingga akhirnya melihat Arian yang sedang sibuk melayani para pelanggan wanita di meja sudut ruangan. Pria itu tersenyum manis sekali dengan ekspresi yang sangat disukai oleh fans-fansnya. Bagi Arian meluluhkan hati para pelanggannya sangat mudah karena ia selalu tulus dalam menjalin suatu hubungan dan pekerjaan.

Untukmu…aku rela menunggu sampai kau menyelesaikan pekerjaanmu hari ini, setelahnya kita akan berbincang tentang hari kita. Tentang harimu dan bagaimana aku melewatkan hari ini…

Titik ini…apakah kamu mengingatnya?

*

Rendra berdiri di atas level pusat dari acara pernikahannya. Ia memandang ke sekeliling dan menatap para tamu yang mulai berdatangan. Jantungnya berdegup cepat. Ia terus  meyakinkan dirinya sendiri untuk bersikap tenang dan tegar, meski begitu ia tetap membutuhkan dukungan. Untuk itu Rian selalu ada disampingnya sejak pagi buta tadi.

"Lu baik-baik aja?" Tanya Rian. Mungkin ia merasakan ketegangan yang Rendra alami. Rendra menoleh,

"Ya," jawabnya tipis. Rian mengangguk dan menepuk bahu kakaknya mantap.

"Gue panggil ibu bapak dulu."

Rendra mengangguk. Rian berjalan pergi.

Benar, ia harus menyelesaikan ini. Sebuah tanggung jawab yang tidak bisa ia hindari dengan alasan apapun. Benar, ini benar.

Alena melihat bayangannya di cermin. Gaun putihnya yang cantik juga telah sempurna ia kenakan. Apakah ini ketegangan yang dirasakan semua calon pengantin, ya…karena semua teman wanitanya telah menggodanya sejak tadi.

"Aku harap kamu tidak menampakkan wajah gugup seperti ini di depan para wartawan majalah atau besok pagi fotomu akan tampak buruk." Kata salah satu temannya, teman-teman lainnya terkekeh. Alena hanya tersenyum.

Pintu ruangan terbuka, Alena melirik orang yang datang…

"Sudah saatnya,"

Kak Rendra, aku mencintaimu. Sungguh-sungguh. Bertahun-tahun dalam hidupku hanya ada dirimu. Beri aku kesempatan maka kamu akan dapat melihat segalanya. Bahwa aku adalah orang yang dapat kamu andalkan, dapat kamu banggakan. Bahwa kita bisa memulainya dengan lebih baik lagi.

***

"Astaga, Rendra benar-benar akan menikah dengan fotomodel itu?" Ray berdiri disamping Sherli yang menggendong anaknya yang berumur tiga tahun.. "hey, Eric masih ingat sama om Ray kan…ucucucu"

"Entahlah, sudah sampai di sini. Akan sangat sulit untuk membatalkannya. Mustahil. Tapi mungkin keadaannya harus seperti ini."

"Apakah Rendra akan meninggalkan Alena disaat terakhir?"

"Jangan bicara sembarangan."

Tiba-tiba terdengar suara tamu-tamu undangan berbisik-bisik. Rupanya Alena sudah muncul dengan di dampingi semua teman-temannya.  Dia terlihat sangat cantik. Tidak ada yang tahu Alena menitikkan air mata menatap Rendra di depan sana.

.

.

.

"Hei hei, itu Rendra kan…kakak kelas kita. Pacarnya Alena" mereka duduk di depan kelas dan melihat Rendra membawa buku ke perpus.

"iya iya…"

"heh, Alena…bagaimana kau bisa melelehkan gunung es itu?"

"mudah saja, tinggal di kasih senyuman termanis ala Alena"

"iya percaya…yang fotomodel."

***

Arian menoleh pada pintu masuk. Ia tersenyum walau matanya sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. Ia menghentikan pelayan yang berjalan di depannya. Orang itu berhenti. "gantikan aku sebentar" kata Arian lirih. Pelayan itu mengangguk. Arian melangkah menghampiri Arini yang berdiri di samping pintu masuk. Beberapa detik kemudian mereka sudah saling berhadapan.

"Mau ice cream?" tawar Arian, Arini tertawa hambar. Namun ia menggeleng.

"Tadi aku berjalan kemari dan melihat ada taman baru di seberang jalan. Mau ke sana?"

Arian menatap Arini, terlihat sedang menimang-nimang sesuatu. Ia melihat sekeliling. Benar, restoran sedang ramai. Ia kembali melihat Arini.

"Baiklah…" ia melepaskan apronnya dan mengikuti Arini berjalan keluar.

Arini menyebrangi jalan namun tidak menemukan Arian dibelakangnya. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Ia menengok ke belakang dan mendapati Arian masih berada di sisi jalan.

Pria itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah ponsel yang kemudian ia tempelkan ditelinganya. Arini mengambil ponselnya dari tas, ia mengangkat alis sebelum akhirnya menerima panggilan Arian. Mereka bertatapan di antara lalu lalang kendaraan.

"Jangan membenci ice cream lagi,"

"Ya…aku bisa apa tanpa ice cream buatanmu."

"Jangan membenci bunga kertas lagi."

"Baiklah, aku tetap menyukai semua bunga."

Mereka masih bertatap.

"Boleh aku minta sesuatu?" Arini angkat bicara.

"Apa?"

"Bisakah kamu tersenyum sekarang?"

Oh, astaga…Arini tersenyum. Arian tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Di wajah Arian pun mulai terlukis senyuman. Ia tidak pernah selega ini seumur hidupnya. Pria itu memberanikan diri menyeberangi jalan. Mereka menempati salah satu kursi di taman.

"Kamu tidak pa-pa?" sangat jelas nada suaranya dibuat sehati-hati mungkin.

"k

Kenapa?" jawab Arini tenang.

"Hari ini…"

Arini mengerti keresahan hati Arian. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu pria disampingnya. "ada apa dengan hari ini?" Arini memejamkan mata, "Aku bahagia hari ini karena aku telah mendapatkan sahabatku kembali."

Arian tidak bergeming. Tidak berani bertanya lebih jauh lagi.

"Maafkan aku, Ar. Aku sangat egois."

"Kenapa?"

"Karena aku datang kepadamu hanya ketika aku sedih. Aku lupa kepadamu ketika aku bahagia."

"Tidak perlu meminta maaf." Kata Arian. Arini menegakkan tubuhnya. Ia melihat Arian.

"Kenapa kamu sangat baik?"

Arian terlihat berpikir, "aku tidak baik kepada semua orang, mungkin karena aku menyukaimu jadi aku baik kepadamu."

"Ar…" Aribi kesal. Arian tertawa hambar.

"Bercanda…" kata Arian sambil mengusap kepala Arini.

***

Alena menaiki level tempat dimana ia akan melangsungkan pernikahan. ia memandang ke arah para tamu undangan kemudian beralih kepada penghulu, Rendra dan Bagas. Rendra tersenyum ke arah Alena yang duduk di sampingnya.

"Silahkan wali menjabat tangan mempelai pria," kata penghulu. Setelah memantapkan hati Rendra menjabat uluran tangan Bagas.

Tak lama tangan Alena terulur dan menggenggam tangan Rendra dan Bagas yang saling berjabatan. Kedua pria itu menoleh.

Kau pernah berkata diriku tak bisa cintaimu

Jika kau masih bertahan denganku mungkin itu maumu

"Kamu akan ke Jakarta?" Rendra yang masih berseragam biru putih itu duduk bersisian dengan Alena di kursi panjang belakang sekolah. Di bawah pohon rindang yang selalu menjadi saksi kisah cinta mereka.

"Aku lolos final dua puluh besar kak, keren banget. Dan kakak tahu…mama papa Bagas sangat bangga sama aku. Kakak bangga juga kan?" Alena menatap Rendra dengan mata berbinar, laki-laki itu mengangguk. "dan kami sadar, mungkin kota besar itu akan lebih membuka kesempatan untuk bakatku,"

"Kamu akan pindah?" Rendra terkejut.

"Iya," jawab Alena mantap. tapi…Rendra tak bisa bersuara. "di sana Alena bakal punya rumah baru, temen-temen yang kece-kece. Di pagi hari Alena sekolah dan sorenya akan ada jadwal pemotretan…"

***

"Bukan Cuma lu aja Len, yang sedang jatuh cinta. Tapi Rendra juga, dengan seenaknya lu ngedeketin dia…lu tahu betapa tulusnya dia tentang cinta, dia memang nggak pernah menunjukkan cinta secara romantis, tapi dia selalu ada untukmu. Dia selalu menunggumu di depan gerbang ketika pulang sekolah, pulang bersamamu dengan sepeda, selalu menuruti kemauanmu. Lu  tahu, setelah kepergianmu entah sadar atau tidak, ketika pulang sekolah gue selalu melihatnya di depan gerbang, berapa lama…" Arian menatap Alena yang mulai berderai airmata, "satu semester, Len"

Bodohnya diriku slalu menunggumu, yang tak pernah bisa untuk mencintai aku, Oh Tuhan tolonglah beri aku cara untuk dapat melupakan dia dan cintanya

AOP - Bodohnya Diriku

Air mata Alena berderai membuat Rendra cemas. Ia melepas tangan Alena dan menangkupkan tangannya pada wajah gadis itu. "ada apa? Kamu

sakit lagi?"

Alena menggeleng, ia melepaskan tangan Rendra dan menggenggamnya lembut. "seandainya aku tidak pergi waktu itu, apakah cintamu akan tetap sama? Seandainya kamu menolak permintaanku satu kali saja…"

"Lena, ada apa ini?' Bagas berdiri dari kursinya. Alena melihat Bagas.

"Aku tahu semuanya, kak. Aku terus menunggu, menunggu…tapi pria bodoh ini selalu menurutiku, tidak pernah menolakku..jika jatuh cinta lakukan dengan benar…" Rendra berdiri ia menarik Alena ke dalam pelukannya. Gadis itu berontak tapi Rendra tidak melepaskannya. Sekarang Alena tidak bisa menghentikan tangisnya. Ia menangis dengan sangat keras membuat Rendra mengeratkan pelukannya.

Ray dan seluruh tamu undangan yang hadir berdiri demi melihat kejadian itu. Suasana menjadi lengang seketika. Ia menghampiri Rian yang sedang kebingungan. Mereka berdiskusi sebentar dan memutuskan untuk mengendalikan acara. Hiruk pikuk suara Rian dan Ray menyadarkan Bagas. Ia menepuk bahu Rendra. pria itu menoleh dan melepaskan pelukannya dari Alena.

"Takdirku adalah tanggung jawabku, kak. Aku baik-baik saja," Alena mengusap wajah Rendra, "aku sudah memutuskan untuk tidak mengingkari kata hatiku, sekarang giliran kakak…" Rendra mengusap tangan Alena lembut.

"Selamanya, kamu bisa mengandalkanku Len…" kata Rendra.

Alena mengusap airmatanya, "aku tahu…untuk itu aku selalu mengabaikan apa yang kamu rasakan, maafkan aku"

Bagas merangkul bahu adiknya, It's okay. Aku bangga kepadamu, bisiknya. Para tamu undangan dapat terkendali dengan tenang, dengan keahliannya Rian berhasil mengatasi para wartawan yang haus akan berita.

Rendra melihat ke sekeliling tempat acara dengan pandangan linglung, masih belum memahami apa yang terjadi hingga seorang pria paruh baya menghampirinya dan mengusap bahunya, Rendra menoleh bingung. "Tidak apa-apa, nak. Tenanglah…" katanya bijak.

***

"Untuk masalah dekorasi kita sudah mendiskusikannya dengan pihak dekor. Yang lain-lain juga bisa kita bicarakan kembali, mbak. Tapi untuk catering, bukan cuma dana, tapi juga berkaitan dengan bahan makanannya, nanti kalau sisa banyak. Kita masih ada jadwal untuk resepsi loh mbak.." ujar Ranti.

"Dekorasi untuk resepsi sudah dihubungi? Mereka sudah tahu?"

"Belum, mbak…masih ceklis satu"

"Ya sudah, nanti biar aku yang ke sana sekalian catering. Biar aku yang bicarakan dengan pihak sana."

"Baik, mbak."

Arini kembali berbicara dengan partner acaranya. Sesekali ia melihat ke arah Alena yang berbicara dengan Bagas. Wajahnya terlihat sangat pucat meski ia mencoba untuk tersenyum. Tidak ada yang memahami apa yang sebenarnya telah terjadi. Arini hanya bergerak sesuai intuisi dan pengalamannya meski pikirannya belum benar-benar jernih setelah menerima telpon dari Ranti.

Takdirku adalah tanggung jawabku,

Aku baik-baik saja

aku sudah memutuskan untuk tidak mengingkari kata hatiku,

sekarang giliran kakak…