"Kamu masih belum bicara sama Arian?" Tanya Sasa. Arini menggeleng. "Terus Rendra?"
Arini menghentikan aktivitas mengetik pada keyboard dan menatap ketiga sahabatnya. Mereka sedang makan siang di café dekat perusahaan tempat Ray bekerja.
"Please gaes, bantu aku. Jangan sebut nama mereka untuk beberapa hari ini…"
"Tapi, Arini…"kata Sherli, Sasa buru-buru menggenggam tangan Sherli. Sherli melihat Sasa dan mengangguk walau sebenarnya ia masih ingin berbicara.
"Hai, gaesss..sorry telat," suara Ray terdengar dari pintu depan café, membuat semua pengunjung melihat ke asal suara. Pria itu menghampiri meja tempat sahabat-sahabatnya duduk.
"Lu nggak pernah berubah ya, Ray." Kata Sasa males, "selalu bikin malu."
"Iya, mana suka telat, udah jam berapa nih…bentar lagi gue harus masuk kantor lagi." Tambah Sherli.
"Ya sorry, tadi gue ada rapat dadakan jadi menyita banyak waktu. Tapi gue tetap datang kan?"
"Udah-udah, makan aja yuk…laper aku. Ray, udah ak pesenin tuh..tinggal makan."
"Ok, manis."kata Ray…"oh ya, tiga hari yang lalu gue ketemu sama Rendra di café dekat hotel cenderawasih." Ujar Ray antusias
Serentak Sasa dan Sherli saling berpandangan.
~Please, Ray. Biarkan aku makan dengan enak siang ini. Aku sudah sangat kelaparan. Arini menyuap sesendok nasi gorengnya.
"Dia terlihat sangat frustasi, bahkan kalau gue nggak nyapa duluan paling dia nggak sadar kalau gue di sana."
"Ni orang nggak peka atau kelewat bego sih.."bisik Sherli.
"dan…"
"A…Ray, bisa pesenin gue air putih nggak?"
"Bentar dulu, Sa…gue masih mau cerita"
Arini meletakkan sendok dan garpunya. Sekarang ia sadar bahwa hidupnya sudah sangat terhubung dengan Rendra bagai rantai yang tidak ada celah satupun untuk terlepas. Rantai yang menyesakkan, rantai yang membelit terlalu erat dan menyakitkan.
***
Arini menutup pintu mobilnya dan berjalan dengan langkah lebar menuju lobi utama hotel. Tidak memperdulikan lagi gerimis yang membasahi tubuhnya dan udara dingin yang menembus cardigannya.
.
.
.
~"frustasi, kenapa?" Tanya Arini dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin. Walaupun ia tahu tidak akan setenang itu.
"Gue juga nggak tahu pasti. Tapi sebagai seseorang yang mengenal dia sejak lama…gue nggak pernah melihat dia seputus asa itu."
"Apa dia ada masalah dengan calon istrinya.."Sherli menimpali.
Ray mengangkat bahu. "entahlah, dia tidak bercerita banyak, lebih tepatnya dia hanya diam kalau tidak ditanya."
.
.
.
Selama perjalanan ia sangat yakin dengan apa yang ia lakukan, namun ketika melihat meja resepsionis ia menjadi ragu. Seolah bertanya kepada diri sendiri apakah yang dilakukannya itu benar?
.
.
.
"Kamu tampak lelah hari ini? Ada apa?"
"Aku sudah mengirim semua dokumen persiapan ke emailmu. Cek lagi apabila ada yang terlewat."
"Hei kurasa kamu terlalu banyak bekerja. Santai saja, makan dulu besok kita bicarakan lagi."
"Kita tidak perlu bertemu lagi."
"Segala persiapan telah selesai. Tidak ada yang perlu dibahas lagi. Jadi kita tidak perlu membuang waktu untuk bertemu, kamu memiliki meeting yang sangat banyak – aku yakin itu."
"Membuang waktu?" - "ada apa denganmu?"
"Pernikahanmu akan berlangsung setelah enam hari. Kalian tidak membutuhkanku lagi, kalian sudah membayar lunas dan…"
"Kamu akan menghilang seperti sebelumnya…"
"Aku akan tetap bertanggung jawab. Kamu tidak perlu khawatir, acara kalian akan berjalan lancar"
"Lupakan saja…kamu sama sekali tidak membantu,"
"Ren…"
.
.
.
Mungkin saja dirinya yang keterlaluan. Ia hanya melihat semua dari sudut pandangnya sendiri. ia tidak mencoba bertanya apa yang Rendra mau dan memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan. Bagaimana jika Rendra hanya ingin berteman. Pria itu tidak tahu apa yang Arini rasakan dan ia memutuskan hubungan begitu saja tanpa memberi penjelasan.
"Bisa saya bertemu dengan Bapak Rendra Haryakusuma, manager di hotel ini?"
"Maaf, ini dengan ibu siapa?" Tanya sang resepsionis.
"Arini," Bagas muncul dari pintu hotel. Arini menoleh dan tersenyum ke arah pria itu. "Kamu di sini? Ada keperluan apa?"
"Ada perlu sebentar…Pak Bagas apa kabar?"
"Baik, perlu aku temani? Tenang…hotel ini sudah seperti rumahku sendiri jadi aku tahu seluk beluk tempat ini."
Arini tertawa, "tidak perlu, aku tahu kamu sibuk."
Bagas mengayun-ayunkan berkas ditangannya, "kamu benar…ada yang tertinggal di kamarku dan setelah ini aku harus pergi, maaf ya"
"Jangan meminta maaf…"
***
"Pengunjung vip sangat puas dengan pelayanan kita. Mereka juga memuji bapak berkali-kali" keduanya berbincang di dalam lift menuju lantai dasar.
"Bagaimana dengan persiapan untuk para peserta workshop?"
"Semuanya telah siap, Pak. Oh ya bagaimana dengan berkas yang akan saya revisi, pak?"
Ting. Pintu lift terbuka. Mereka keluar.
"Iya, setelah selesai letakkan saja berkasnya di ruangan saya" kata Rendra kepada bagian Humas. Orang itu mengangguk dan meninggalkan Rendra yang berjalan menuju meja resepsionis. Langkahnya terhenti dan hanya bisa menghela napas menatap dua orang dihadapannya.
.
.
.
~Kurindu disayangi
Sepenuh hati
Sedalam cintaku
Setulus Hatiku
Kuingin memiliki
Kekasih Hati
Tanpa air mata
Tanpa Kesalahan~
"Mas, ini sosial medianya mbak Arini ya...?" tanya Rian sambil memainkan kursor komputernya. Rendra yang tiduran di sofa ruangn tengah menoleh sedikit ke arah adiknya.
"Berhenti kepo dan selesaikan saja tugasmu."
"Tenang saja, deadline masih panjang. Tapi selama kita deket gue nggak pernah lihat dia sama cowok lain kecuali Bagas. Mereka juga sering makan siang bersama. Musuh aja kalau sering-sering ketemu bisa jadi patner setia...apalagi..."
"Boring." Rendra beranjak dari sofa dan berjalan masuk ke kamar. Brakkk, Rian menoleh kaget mendengar suara pintu dibanting.
.
.
.
"Eh, Ndra.." Bagas menepuk bahu Rendra. "gue duluan ya Arini, lain kali kita ngobrol lagi"katanya sambil berlalu.
Rendra ikut berbalik,
"Rendra tunggu…" sahut Arini. Rendra berhenti, Arini mendekatinya.
"Ada apa?" katanya dingin. Arini menundukkan pandangan.
"Maafkan aku."
"Untuk apa?"
"Kata-kataku beberapa hari yang lalu. Aku tahu hari itu terdengar sangat…"
"Aku tidak mengerti," potong Rendra sambil menatap ke arah lain. Arini terkesiap. "apa yang kamu bicarakan?" lanjutnya ketus.
Arini menghela napas, tangannya menjadi dingin "aku membicarakan tentang betapa bodohnya aku selama ini dari caraku untuk memetakan suatu hubungan. Selama ini aku terlalu takut untuk membuka diri hanya karena aku tidak ingin tersakiti lagi. Rasa sakit akibat mencintai sangat mempengaruhiku hingga tidak pernah terpikir olehku bahwa mungkin saja hubungan lain bisa terjadi. Aku tidak pernah berpikir bahwa sahabat bisa menjadi kekasih, atau klien bisa menjadi seorang teman."
"Kamu tahu," Rendra berbalik menghadap Arini. "mungkin saja semua yang kamu katakan dahulu itu benar. Kita tidak bisa menjadi teman, hanya sebatas klien. Bahkan tidak ada apapun dari masa lalu yang tersisa bukan? Bahkan masa lalu itu tidak pernah terjadi. Hanya karena rasa penasaranmu saja yang membuatmu melakukan hal sejauh itu."
Arini tertawa hambar, airmatanya mengalir cepat dipipinya, ia menghapusnya dengan punggung tangan. "kamu sangat marah kepadaku?"
Rendra menggeleng, "aku kecewa."
Arini mengangguk dan bongkahan kaca di matanya pecah kembali, "ternyata sudah sangat terlambat, aku harap kamu akan selalu bahagia" ia menggumamkan maaf yang mungkin tidak terdengar oleh pria itu dan berbalik keluar dari hotel.
Rendra melangkah sebentar dan menuju meja resepsionis, memegang erat meja tersebut guna menyangga tubuhnya yang hampir roboh. Hingga telapak tangannya menyentuh sesuatu.
aku membicarakan tentang betapa bodohnya aku selama ini
dari caraku untuk memetakan suatu hubungan
Selama ini aku terlalu takut untuk membuka diri hanya karena aku tidak ingin tersakiti lagi
Rasa sakit akibat mencintai
sangat mempengaruhiku hingga tidak pernah terpikir olehku bahwa mungkin saja hubungan lain bisa terjadi
Aku tidak pernah berpikir bahwa sahabat bisa menjadi kekasih,
atau klien bisa menjadi seorang teman
"Syitttt, kenapa kata-katanya begitu sulit dipahami?" Rendra berlari keluar hotel, pandangannya menyapu sekeliling dan terhenti pada wanita yang berdiri di samping mobil berwarna merah. Perasaaan lega mengalir dalam tubuh Rendra.
Segala yang berkaitan dengan air, kolam, ikan, sungai, air terjun, hujan...tidak semua hujan, hanya saja beberapa hujan memiliki cerita yang tidak terlalu menyenangkan.
"Mana sih…" gumamnya.
"Kamu akan terus berada di sini, bermain hujan dan membongkar-bongkar isi tasmu tanpa henti?"
"Aku juga sedang tidak ingin bermain hujan, tapi kunci mobilku belum ketemu."
"Maksudmu yang ini,"
Arini berbalik dan melihat kuncinya, "oh, terimakasih…" ia hendak mengambil kuncinya ketika Rendra menggerakkan tangannya.
"Kau meninggalkannya di meja resepsionis."
"Ya,,,sekarang berikan padaku." Kata Arini
"Tidak, sebelum kamu menjawab pertanyaanku"
"Apa-apaan…"
"Terserah, jika kamu ingin terus bermain hujan disini."
Mereka bertatapan.
"Ini hanya gerimis…"
"Sama saja."
"Ok, baiklah. Apa?" kata Arini kesal. Renda mengulurkan sebelah tangannya, namun dengan cepat kesadarannya pulih. Ia menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menyentuh wajah Arini, menahan diri walau ia sangat ingin, walau ia sangat merindukannya.
"Apakah terlalu menyakitkan berada terlalu dekat denganku?"
Arini terhenyak. Ia tidak mengatakan apapun untuk waktu yang lama, hanya bisa menatap Rendra yang kini ada di hadapannya.
"Pertanyaan macam apa itu?" akhirnya Arini menemukan suaranya walau sedikit parau.
"Jawab saja."
"Aku baik-baik saja berada di dekatmu." Arini membuang pandangannya, ia memeluk tubuhnya yang mulai kedinginan. Rendra memaksakan sebuah senyuman.
"Kalau begitu jangan menahanku untuk menemuimu."
"Terserah," Arini merebut kunci mobil dari tangan Rendra dengan mudah saat pria itu tidak melakukan perlawanan, wanita itu pergi dengan mobilnya.
.
.
.
~Tolonglah aku
Dari kehampaan ini
Selamatkan cintaku dari hancurnya hatiku
Hempaskan kesendirian yang tak pernah berakhir
Bebaskan aku
Dari keadaan ini
Sempurnakan hidupku dari rapuhnya jiwaku
Adakah seseorang yang melepaskanku dari kesepian ini~...Dygta~Kesepian~
"Kalau begitu jangan menahanku untuk menemuimu"
Angin setelah hujan deras berhembus ringan. Sejuk karena aroma basah berkat hujan tadi malam. Rasanya sangat menyegarkan. Rendra menghadap taman di tengah teras. Namun ada sesuatu yang hilang, entah apa.
Alena keluar dari ruang kecil di samping ruang tamu. Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih. Cantik sekali, lalu apa? Rendra sudah terlalu sering melihatnya tampil cantik. Walaupun begitu Ranti dan Naura bersikeras membuat fotomodel itu melayang dengan memuji wanita itu tanpa henti. Rendra hanya tersenyum melihat ketiganya.
Ekor mata Rendra menangkap seorang wanita yang muncul dari pintu masuk. Pandangannya nanar karena berbagai macam emosi berkecamuk di dalam dirinya. Takdir yang membawanya sampai sejauh ini, memberinya kekuatan untuk menembus masa lalu, hingga kini segala kerumitan itu perlahan menjadi terang. Jangan bersedih jika sekiranya waktu tak berpihak kepada kita.
"Apakah terlihat bagus…sepertinya ada yang kurang." Alena memantaskan dirinya di depan cermin.
"Itu sudah sangat sempurna, mbak. Mau ditambah apalagi?" timpal Naura.
Arini memandang Naura penuh isyarat. Ia menghampiri Alena dan merapikan beberapa detail gaun putih itu. Ia memandang Alena melalui cermin.
"Payetnya sudah terlalu banyak pada bagian tepi, kalau dipaksakan lagi malah berlebihan. Bagaimana kalau ditambah mutiara kecil-kecil di tengah-tengah." Kata Arini.
"Mutiara seperti apa?"
Arini berpikir, "tunggu sebentar…" ia menuju laci di sebelah kanan mereka dan mengeluarkan kotak kecil melamin. "ini, seperti ini. Kebetulan masih ada sample, gimana?"
Alena mengangguk-angguk, "lumayan. Ok aku setuju. Yakin bisa selesai. Acaranya besok lusa lho…" Alena tidak mencoba menyembunyikan nada dinginnya, Arini mengangguk. Kedua wanita itu saling bertatapan. Entah bagaimana keadaan beku itu membuat Rendra tidak enak hati. Ia berdeham sebentar dan melonggarkan dasinya. Alena dan Arini menoleh Rendra sebentar kemudian melanjutkan aktivitas mereka.
*
"Aku sangat lapar, kak. Kita makan di restoran biasa ya." Kata Alena setelah mereka selesai berkemas.
"Aku harus kembali ke hotel sekarang."
"Sebentar saja. Aku sudah menuruti kakak untuk tidak mengambil cuti minggu kemarin. Jadi tolong turuti aku untuk hal-hal kecil semacam ini. Setidaknya biarkan aku membuatmu menjadi Rendra yang aku kenal. Dan kamu tahu, nggak ada jalan untukmu pergi."
Rendra melihat sekeliling. Berharap tidak ada satu orang pun yang mendengar kata-kata Alena barusan. Ia memandang Alena kembali setelah memastikan keadaan sepi.
"Aku tidak akan mencari jalan untuk pergi, jadi jangan pernah memikirkan hal itu lagi, tolong jangan mencemaskan sesuatu yang tidak akan aku lakukan" Rendra mengusap kepala Alena.
Kedua sudut mata Alena mengeluarkan air mata. Ia membuang pandangannya. "kenapa kakak seperti ini? Tidak bisakah kamu marah kepadaku, membuatku menyadari keegoisanku?"
"Mbak Alena, ada teh di ruang tamu. Kita bisa minum bersama…"
Alena dan Rendra mengusap airmata mereka. Ranti merasa sedikit canggung melihat adegan itu tapi ia memutuskan untuk diam.
"Ok, thanks Ranti…" kata Alena. Ranti mengangguk