Karena rasa sakit ini, aku tahu semua yang terjadi bukan mimpi
.
.
.
Suasana sangat cerah siang ini. Ia telah kembali diiringi dengan desing pesawat yang terdengar keras namun menenangkan. Ia melepas kacamata hitamnya dan berjalan diikuti para pengawalnya menuju pintu keluar bandara.
"Alena?" suara ramah seorang pria membuat gadis itu menoleh. Mata Alena menyipit sedikit kemudian langsung membelalak ketika menyadari siapa yang ada dihadapannya.
"Tidak mungkin...Randy??" ia sangat antusias melihat pria bertubuh jakung dan sangat tampan itu, mereka berpelukan sebentar sampai akhirnya kembali berdiri berhadapan. Mereka memiliki hubungan lama. Alena pernah menjadi model dalam peluncuran produk perhiasan terbaru di perusahaan Randy.
"Kamu di sini?"
"Ya...aku baru pulang dari Thailand untuk mengunjungi seseorang di sana."
"Seorang gadis?" selidik Alena. Randy tertawa.
"Bukan, hanya klien.."
"Ohhh, lalu bagaimana dengan gadis-gadismu itu?"
"Hanya ada satu gadis dalam hidupku, Alena."
"Aahh, aku tahu aku tahu..."
Bagi Alena Randy sangat baik. Meski begitu ia terlalu naif. Di dunia yang keras ini kecerdasannya adalah keberuntungannya. Randy tipe pria yang setia dan bila dia sudah menentukan maka ia tidak akan pernah melepaskan gadis itu.
Setelah mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan bertemu kembali maka Alena melanjutkan perjalanan menuju hotel Cenderawasih. Ia sangat merindukan Rendra. Berhari-hari tanpanya terasa menyebalkan. Ia sengaja tidak menghubungi pria itu dengan harapan agar Rendra menghubunginya terlebih dahulu. Tapi selama ini pria itu juga tidak menelponnya. Kerinduannya semakin dalam. Ia tidak bisa melupakan Rendra satu haripun. "bersabarlah Alena, sebentar lagi."
*
Ia membuka pintu ruangan Rendra dan bersiap memberikan kejutan ketika menghadapi ruangan itu kosong. Tidak ada siapapun. Sebentar ia menengok jam tangannya, sudah waktunya makan siang. Sejak kapan Rendra pergi makan siang tepat waktu?
***
"Selesai." Gumam Arini seorang diri. Dekorasi, music, pakaian, gaun, pembawa acara, konsumsi, undangan. Melegakan dalam satu sisi, namun cukup menyesakkan dalam sisi yang lain, tanpa disadari ini project yang terbaik yang pernah ia selesaikan namun jauh dilubuk hatinya ia merasa sangat salah, sangat kalah. Bagaimanapun Alena dan Rendra berhak mendapatkan yang terbaik dari usahanya. Tidak...bagaimana disaat seperti ini nama kedua orang itu sangat serasi?
"Apanya?" Tanya Rendra. Arini terkesiap melihat Rendra masih ada di hadapannya. "apa yang selesai?"
Ia hampir lupa jika mereka sedang makan siang bersama di restoran yang sejak dua minggu yang lalu menjadi markas keduanya untuk bertukar informasi. Melelahkan sekali berpura-pura tidak terjadi apa-apa di depan orang ini.
"Kamu menatapku seperti itu lagi..."
"Apa?"
Rendra menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Menatap pada mata Arini lekat-lekat.
"Jika ada waktu kau selalu menatapku seperti itu, seakan-akan aku akan menguap begitu saja jika melepaskan tatapanmu."
Arini mendengus begitu mendengar pernyataan Rendra. Ia merasa harus berada sangat jauh darinya agar pria itu tidak membaca pikirannya lagi.
"Aku tahu aku bisa menemukan kalian di sini..." suara merdu Alena menembus kabut pikiran Rendra dan Arini. Tanpa diminta gadis itu duduk di kursi kosong samping Arini.
"Heii, kalian bertambah akrab sepeninggalku? Bagaimana kak Arini, Rendra tidak seburuk saat pertama bukan?"
"Apa maksudmu dengan kata buruk?"
"Tenanglah, kak. Tidak seburuk itu.."
Rendra menyipitkan matanya namun dibalas senyuman hangat Alena. "kamu tidak mengabariku jika kamu pulang hari ini."
"Awalnya aku ingin memberikan surprise untuk kakak dengan datang ke hotel. Eh kakak nggak ada, aku pergi ke kantor kak Arini tapi kata karyawan yang ada di sana kalian sedang makan siang, kupikir aku bisa menemukan kalian di sini." Terang Alena. Ia meraih tangan Rendra yang ada dihadapannya dan mengusapnya lembut. "I miss you so much....Rendra Haryakusuma."
" How are you?" Tanya Rendra lembut.
"Like you see...setelah melihatmu aku selalu baik-baik saja."
Perlu waktu lama untuk Arini menyadari kehadiran Alena hingga akhirnya ia hanya bisa tersenyum samar. Arini melihat mereka saling bertukar senyuman. Secepatnya mereka akrab dan melupakan keberadaan orang lain di antara mereka, mereka tampak serasi. Dengan cepat Rendra berubah dewasa bersama Alena. Ya...itu Rendra yang ia lihat pertama kali di kantornya. Rendra yang sama sekali tidak ia kenal, atau mungkin Rendra sepuluh tahun yang lalu.
Saatnya ia mengembalikan Rendra kepada dirinya semula dan saatnya ia kembali pada dirinya sendiri.
***
Rendra harus kembali ke kantor. Kini Arini dan Alena duduk berdua di meja restoran karena Alena belum makan siang dan meminta Arini untuk menemaninya. Awalnya Alena hanya bercerita tentang pengalamannya menjadi model videoklip. Mengasyikkan. Terkenal, cantik dan menawan di depan kamera adalah impian setiap orang. Dan Alena yang mendapatkan semua itu.
Suasana mendadak hening, Alena meletakkan garpu dan pisaunya. Ia menatap Arini yang asyik dengan ice creamnya walaupun sama sekali belum menyuapkan ke mulutnya.
"Kalian sering seperti ini?"
"Apa?" Arini mengangkat wajahnya.
"Makan siang berdua,,,"
Arini tidak langsung menjawab.
"Astaga..." Alena tertawa, "apa aku sedang menjadi kekasih yang membosankan dengan menyelidiki apa yang dilakukan kak Rendra?"
"Aku rasa itu wajar." Kata Arini. Alena mengangguk-angguk.
"Iya...hal yang wajar bukan jika aku memastikan bahwa kak Rendra akan selalu bersamaku?"
***
Arian menyandarkan setengah tubuhnya di depan mobil sambil melihat Arini mengunci pintu kantornya kemudian berjalan ke arah Arian. Entah bagaimana ia bisa berpikir Arini menjadi sebuah lukisan yang indah di bawah sinar rembulan dan ditengah pepohonan yang seakan mengantarnya kepada dirinya.
"Teman-teman tidak ikut makan?"
"Hm, mereka sangat sibuk." Katanya sambil membukakan pintu untuk Arini, gadis itu mengangkat bahu kemudian masuk ke dalam mobil. Arian memutari mobil kemudian ikut masuk. Beberapa detik kemudian mobil melaju ke jalan raya.
"Bagaimana Rendra?" sesekali Arian melihat Arini dan jalanan bergantian.
"Jangan sebut nama itu Yan."
"Ok, jadi malam ini untuk kita berdua?" tanyanya santai. Arini tertawa.
"Kamu mengajakku nge date?"
Arian mengangkat bahu. "kalau kau mau.."
"Mmm..." Arini berpura-pura berpikir namun cukup membuat Arian merasa tegang.
"Oh ayolah, jangan buat aku menunggu." Kataya tidak sabar.
Sekali lagi Arini tertawa. "baiklah, aku akan dimarahi fansmu jika membuat cheff paling menawan ini terlihat kusut di restoran besok pagi."
"Kenapa?"
"Karena patah hati." Jawab Arini sekenanya kemudian menurunkan kaca dari atas dasbornya dan memastikan penampilanya sempurna. Arian tersenyum samar kemudian membelok ke kanan pada tikungan selanjutnya.
"Kurasa kamu benar."
"Hmm?" Arini menoleh ke arah Arian. Pria itu tersenyum masam dan menggeleng.
"Tidak pa-pa"
*
"Setelah kembali dia berubah menjadi wanita yang sempurna bukan?" kata Rian. Rendra hanya menolehnya tanpa arti dengan tidak melepaskan ponsel dari telinganya seolah menunggu seseorang di seberang sana mengangkat telpon.
"Ada apa dengannya?" kata Rendra kesal. Ia menekan beberapa tombol kembali.
"Entahlah...tidak ada yang tahu." Celetuk Rian sambil memeriksa kameranya.
Rendra melempar ponselnya di atas meja.
"Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan..." Rendra frustasi. Ia menyandarkan tubuhnya pada sofa ruang tengah.
"Aku memasak pudding untukmu." Kata Alena sambil meletakkan pudding di meja. "Aku harap rasanya tidak terlalu mengerikan mengingat seleramu sangat tinggi dalam hal makanan."
"Seharusnya kamu istirahat, kamu baru kembali dari luar kota." Kata Rendra. "tidak perlu repot seperti ini, aku bisa memasak sendiri."
"Tidak repot, lagipula..."
Bruukkkkk
Alena terjatuh pingsan di lantai, apapun di dunia ini tidak akan membuat Rendra siap menghadapi peristiwa apa yang ada dihadapannya. Rian yang terlebih dahulu bertindak sebelum akhirnya Rendra sadar dan membopong Alena menuju mobil. Rian melompati tanaman hias di hadapannya dan berlari untuk membuka pagar. Mereka bergegas menuju rumah sakit.
*
Rian melihat jelas kepanikan di wajah Rendra, pria itu terus memeluk Alena dan mengusap kepala gadis itu sambil membisikkan sesuatu yang sangat sulit ia dengar dari balik kemudi, sementara mereka duduk di kursi belakang. Rendra hampir menangis dan Rian tahu sebabnya. Rendra sangat menyayangi Alena, meski rasa sayangnya berbeda. Terlepas dari sikap kekanak-kanakan gadis itu Rendra tidak akan bisa meninggalkan Alena sendiri.
.
.
"Dia emang kayak gini, Ndra!" sahut sepupu Alena. "sejak kecelakaan yang dialami om dan tante setahun yang lalu Alena jadi sering pingsan. Kondisi tubuhnya kurang stabil karena syok yang ia terima." Dokter keluar dari kamar hotel dan berbicara banyak hal kepada sepupu Alena kemudian berlalu pergi. Ia menghampiri Rendra yang menatap ke dalam kamar. ia menepuk bahu Rendra. "saya nggak bisa selalu ada di Jogja, Ndra. Kamu tahu kerjaan saya. Titip Alena ya, Ndra."
.
.
Sekali lagi ia merasakan ketakutan terbesarnya, ketika melihat Alena pingsan di depan matanya, seakan dirinya juga ikut roboh. Ia yakin sudah melakukan segala cara untuk melindungi Alena tapi tetap saja hal ini masih bisa terjadi. Apa yang ada dipikiran Alena hingga gadis itu merasa tertekan?
"bangunlah Alena, aku disini..." bisiknya kemudian mencium puncak kepala Alena.