"Minum obatmu secara teratur, jangan terlalu banyak pikiran, naikkan sedikit berat badanmu....ahhh astaga Arini, sangat sulit menuruti permintaan dari dokter itu. Banyak yang harus ku kerjakan di kantor majalah dan...apa aku tidak usah hamil saja?" entah kenapa tiba-tiba tercetus kata-kata seperti itu. Arini menoleh sahabatnya.
"Baiklah Gea, kamu tidak perlu hamil saja dan aku akan tetap mencintaimu."
Kata Arini menirukan gaya berbicara Randy. Gea tertawa hambar.
"Ah, andai Randy sesimple dirimu. Tapi dia sudah sangat ingin memiliki anak dan dengan malangnya aku harus mulai memikirkannya juga walau pada akhirnya aku tahu aku akan kehilangan beberapa pekerjaan besar."
"Kamu sangat mencintai Randy, Ge?"
Gea menoleh Arini dan tersenyum sangat cantik, seakan dalam senyumnya itu dia berkata, sangat...aku sangat mencintainya.
Mereka sampai di lobi rumah sakit ketika Arini melihat Randy mendekat ke arah mereka. Oh siapapun akan meleleh apabila melihat senyuman pengusaha muda tersebut. Randy sampai dan langsung merangkul Gea.
"Kamu yakin tidak ingin ikut bersama kami?" Tanya Randy. Arini menggeleng dan tersenyum.
"Kalian duluan saja. Aku perlu menemui pihak dekorasi di sekitar sini." Balasnya ramah.
"Ok, terimakasih sudah menemani Gea. Maaf sudah merepotkan."
"Tidak masalah." Kata Arini. Gea memeluk Arini sebentar kemudian pergi bersama Randy.
Arini akan berbalik ketika seseorang memanggil namanya. Gadis itu menoleh dan seketika matanya berbinar. "Bagas?"
Pria itu tersenyum, "kamu mengenaliku sekarang?"
"Jangan begitu,,eh sebentar. Kamu sakit?"
"tidak," Bagas tersenyum, ia mengacungkan parcel buah di tangannya.
"Adikku sakit, jadi aku pergi sebentar untuk membeli buah."
"Adikmu...?"
"Oh, aku belum cerita, adik sepupuku, Alena. Tadi malam dia masuk ke rumah sakit. Bukankah kalian bekerjasama, Kamu mau menjenguknya?"
"Rendra?" entah kenapa tiba-tiba nama itu terucap dari mulut Arini.
"Tentu saja, pria itu menjaga Alena sepanjang malam." Bagas setengah menerawang, "Apakah aku sudah keterlaluan.."
"Apa?"
Bagas melihat Arini, ia menggeleng dan tersenyum singkat. "tidak ada, ayo!"
Arini menyamai langkah Bagas melewati koridor rumah sakit menuju kamar Alena. Cukup lama mereka saling diam hingga Bagas membuka percakapan.
"Alena memiliki penyakit lemah jantung." Kata Bagas. Arini menoleh. "sejak kecil om dan tante – papa dan mama Alena berusaha sangat keras untuk kesembuhan Alena, namun usahanya belum menuai hasil. Untuk itu, demi mengganti perasaan bersalah mereka segala keinginan Alena selalu dipenuhi. Hingga ketika Alena ingin menjadi model. Tekad yang sangat kuat bukan? Aku hampir tidak mempercayai Alena dapat mewujudkan semua mimpi-mimpinya."
Arini masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa. Bagas melanjutkan, "hingga suatu hari kedua orang tua Alena mengalami kecelakaan. Dia menjadi gadis yang sangat kesepian, sebatang kara dan kondisi tubuhnya menjadi tidak stabil. Alena mengalami syok berat dan dia membutuhkan seseorang untuk menopangnya."
Suara Bagas yang lemah membuat Arini merasa bahwa pria ini begitu tidak berdaya, seakan seharusnya Bagas yang menggantikan posisi Rendra. Seharusnya dia berada di samping Alena...tunggu, Arini menatap Bagas, pria itu tersenyum seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran Arini.
Ia mengangkat dagunya ke arah kaca kecil di pintu kamar inap Alena. Arini mengikuti arah pandang Bagas. Seorang pria duduk terpekur di kursi samping tempat tidur Alena, menatap Alena yang tertidur pulas di dalam sana. Pandangannya sayu dan wajahnya tampak lelah. Pria itu tidak tidur semalaman. Dia tidak memejamkan mata sama sekali sebelum memastikan Alena baik-baik saja. Entah kenapa kenyataan itu membuat dada Arini terasa nyeri.
"Dia selalu ada di samping Alena, aku tidak bisa terus menerus berada di kota ini jadi aku meminta Rendra menjaga Alena. Apakah aku keterlaluan membuat Rendra menggantikan tugasku, aku tahu Rendra dapat diandalkan, dia bisa sangat bertanggung jawab bila diperlukan."
Dering ponsel menyentakkan Arini. "maaf Arini, kamu masuklah dulu. Aku harus menjawab telpon ini." Dengan cepat parcel buah yang cukup besar itu berpindah ke tangan Arini sementara Bagas sudah berjalan menjauh. Arini kembali menghadap kaca pintu, sedetik kemudian mengulurkan tangan membuka pintu. Ia berjalan masuk dan tepat di belakang Rendra, baru saja ia ingin mengatakan sesuatu ketika pria di depannya bergerak... "lama sekali, Gas? Aku sangat lelah. Aku tidak tidur semalam.." Rendra beranjak dan berbalik. Pandangannya berubah nanar melihat Arini dihadapannya.
Dia menatap Arini tanpa suara ketika wanita itu meletakkan parcel buah di meja.
"Aku tadi bertemu Bagas di depan, dia mengajakku kemari dan sekarang dia sedang menjawab telpon. Dia...apa baik-baik saja?"
"Dia yang mana?" Rendra masih menatap ke arah Arini membuat gadis itu gugup.
"Apa?"
"Kamu menyebut kata 'dia' sebanyak tiga kali dalam satu kalimat."
Kenapa otak anak ini bisa sangat tajam, gumam Arini. Entah sejak kapan ia merindukan kepintaran Rendra yang satu ini hingga dulu membuat mereka terseret dalam obrolan yang sangat mengasyikkan.
"Maksudku apakah keadaan Alena sudah membaik?"
Rendra menoleh ke arah Alena. Astaga, pria itu menatap Alena kembali, apa yang harus ia lakukan dengan rasa cemburu ini.
"Alena akan baik-baik saja, harus." Katanya tanpa melepaskan tatapan dari Alena.
Aku tahu Rendra dapat diandalkan, dia bisa sangat bertanggung jawab bila diperlukan
"Maaf Arini tadi klien penting, tapi sekarang tidak apa-apa." Bagas masuk ke ruang kamar dan langsung berhambur ke dekat tempat tidur Alena, ia mengecup kening Alena sebentar kemudian mengelus kepala gadis itu. "bagaimana keadaannya, Ndra?"
"Sudah mendingan, dia tidak pingsan lagi. Tadi pagi dia sarapan dengan makanan yang disiapkan rumah sakit lalu minum obat dan tidur."
"Syukurlah," Bagas melihat Rendra.
"Kamu makanlah dulu, ajak Arini." Kata Bagas, Arini terkejut sebentar.
"Tidak perlu...aku bisa.."
"Ayolah, kamu tega membiarkanku makan sendirian di kantin rumah sakit?" kata Rendra sambil menyambar jaketnya. Tunggu bukankah dia akan makan di kantin rumah sakit, lalu kenapa harus memakai jaket?
"Iya Arini, aku bisa menjaga Alena sementara kalian makan." Kata Bagas, Arini akan membuka mulutnya ketika Bagas melanjutkan. "Aku sudah makan tadi kalau kamu meminta aku yang menemani Rendra makan."
Arini duduk di sofa sudut ruangan.
"Aku akan duduk di sini, menemanimu menjaga Alena. Aku tidak lapar!"
Tepat saat kata-kata terakhirnya, tiba-tiba perut Arini berbunyi pelan. Pernyataan yang telah sempurna dirancang oleh Arini menguap seketika. Bagas dan Rendra serentak tertawa namun hanya sebentar menyadari ada Alena disamping mereka.
"Ayolah, jangan membuat drama. Tidak ada gunanya kamu disini. Bagas tidak akan menyukaimu, kamu bukan tipenya." Rendra mengambil kunci mobil dan dompetnya di meja. Arini menyipitkan mata, Siapa yang suka menonton drama sebenarnya?
*
"Rendra, kantin ada di sebelah sana, aku baru lewat sana tadi..."
Arini menoleh ke belakang sementara Rendra terus berjalan ke depan.
"Siapa bilang kita akan makan di kantin? Aku tidak bisa makan di sini, terlalu banyak bau obat. Aku bisa kehilangan selera makanku."
"Tapi tadi..."
"Kamu dari mana?"
"Apa?" Arini tidak mengerti.
"Kamu bilang kamu bertemu dengan Bagas di depan rumah sakit, kamu dari mana?" Rendra melihat Arini.
"Oh, dari dokter kandungan..."
"Apaaa????" Rendra terkejut dan menghentikan langkahnya. Entah kenapa Arini juga ikut berhenti. Sekilas ia melihat kilatan terkejut di wajah Rendra. Ia segera menyadari kesalahpahaman itu.
"Tidak, bukan aku. Aku menemani temanku tadi, dia dan suaminya ingin mempunyai anak jadi dia ke sini untuk memeriksa keadaannya, suaminya tidak bisa hadir karena harus datang ke pertemuan bisnisnya pagi tadi dan aku tidak tega membiarkan temanku mati bosan sendirian di rumah sakit."
Arini melihat Rendra menghela napas lega. Apa yang dipikirkan pria itu? Sebelum ia bertanya Rendra melanjutkan langkahnya. Arini mengikuti.
"Tunggu, kenapa aku harus menjelaskan semua ini kepadamu?"
Rendra mengangkat bahu, "entahlah, mungkin karena kau ingin selalu tampil sempurna di depan relasimu, itukan aku? Sebagai relasi, koneksi, atau apalah itu di dalam hidupmu."
"Aku tidak pernah mencoba tampil sempurna di depan siapapun..."
"Oh ya?" Rendra menghentikan langkahnya kemudian berbalik, membuat Arini hampir menabraknya jika ia tidak berhenti pada saat yang tepat. Mereka bertatapan sebentar. Rendra melihat Arini dari ujung bawah sampai atas. "lalu kenapa aku merasa, kamu selalu tampil sempurna di hadapanku?"
Entah bagaimana caranya bisa terjadi, tiba-tiba saja waktu seakan berhenti dan Arini tidak bisa melepaskan pandangan dari Rendra. Ia yakin sudah berusaha membuat otaknya bekerja tetapi ia tetap tidak bergeming hingga akhirnya Rendra mengangguk pelan dan mulai mengalihkan pandangan. Mereka melanjutkan perjalanan keluar rumah sakit.
***
Arini melihat jam ditangannya, ya..kurang dari lima belas menit untuk sampai di café ini. Dan Rendra membuat Arini kembali mengingat segala hal yang terjadi selama minggu - minggu terakhir. Sesaat ia menyadari hubungan ini sudah terlalu dalam menyeretnya hingga ia tidak tahu apa yang akan terjadi disaat Rendra tidak bersamanya lagi karena selama ini Arini memang tidak pernah berpikir sejauh itu. Tidak ada yang tahu bagaimana caranya ia akan melepaskan diri dan kembali ke kehidupan sebelum Rendra datang kembali.
Rendra melepaskan sabuk pengaman dan melihat Arini yang masih mematung. "ayo keluar,,,kamu sudah lapar kan?"
Arini menoleh dan mulai bergerak ketika melihat Rendra sudah keluar dari mobil. Mereka memasuki pintu café dan mulai memilih tempat duduk, baru saja Rendra hendak menggeserkan kursi untuk Arini ketika seseorang memanggil nama gadis itu.
"Arinii??" suara nyaring itu terdengar senang, Rendra dan Arini melihat ke asal suara. Ada seorang wanita yang berjalan menghampirinya disusul dua orang lainnya. Reflex Arini tersenyum melihat mereka.
"Sherli,,,sedang apa di sini?"tanyanya, "Ray, Sasa?"
"Kami baru selesai makan disini..kebetulan saja, hanya berkirim pesan dan kami sama-sama memiliki waktu makan yang cukup banyak."
"Dan tidak mengajakku..?" Arini cemberut.
"Hei, aku sudah menelponmu ribuan kali," timpal Sasa. Ketiganya tertawa.
Arini memeriksa ponselnya,
"Ya...mungkin battery nya habis."
"Ehem..."kali ini Ray bersuara, Sherli dan Sasa juga tersenyum penuh arti, Arini bingung.
"Ada apa?"
"Setelah pergi berdua dengan Arian tadi malam apa kamu lupa mengisi battery ponselmu?" lanjut Ray. Tiba-tiba pipi Arini memanas, terlebih ketika Rendra yang dari tadi ada disampingnya menatapnya lekat.
"Oh...Rendra?" ujar Sasa ketika menyadari keberadaannya, kali ini semua pandangan tertuju pada pria itu. Rendra tersenyum dan menyalami mereka satu persatu.
"Sudah lama sekali, Ndra. Bagaimana kabarmu?" Tanya Ray.
"Baik,,,aku tidak tahu kalian berteman dengan Arini"
"Ya, sejak SMA kita bersahabat, kita satu ekskul jika kamu bertanya bagaimana bisa bertemu mengingat kami berbeda kelas." Jelas Sasa. Rendra mengangguk.
"Kalian bisa bersama, setahuku dulu kalian tidak saling mengenal?" tambah Sasa sembari mengerlingkan matanya pada Arini.
"Saya kliennya Arini," Rendra melihat Arini yang masih mematung. "dan ya...aku masih tidak percaya kami bisa sedekat ini sekarang."
"Ahhh,,begitu?"Ray tersenyum.
Arini tidak ingat sebagian besar kejadian perpisahan mereka tadi karena ia terlalu gugup. Ia seperti sudah tertangkap basah dengan teman-temannya, terlebih pembicaraan tentang Arian. Ia tidak tahu apakah Rendra sudah lupa dengan kata-kata Ray atau belum, ini berbahaya karena dulu Rendra sangat akrab dengan Arian.
Pelayan datang dan membawakan pesanan mereka berdua. Arini menoleh pelayan itu sebentar kemudian melihat Rendra dan terkejut ketika bola mata hitam itu menatapnya lekat. Sejak kapan Rendra melihatnya dengan tatapan seperti itu? Namun Rendra kemudian melepaskan pandangan dan mulai mengambil sendok dan garpu.
"Banyak hal yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir...Ray semakin keren, Sherli, kudengar dia sudah memiliki dua orang anak. Aku ingat ketika dia bercerita bahwa dia akan menikah muda." Rendra bercerita, "oh ya, temanmu yang satu tadi..."
"Sasa..
"Iya, Sasa." Rendra kembali melihat Arini. "dulu aku satu ekskul dengannya, kamu tahu?"
Arini menelan ludah dengan susah payah. Jujur atau tidak? "oh ya?" hanya itu yang bisa ia katakan.
Rendra tersenyum mendengar jawaban Arini.
"Ponselmu mati?" Tanya Rendra, Arini mengangkat kepala.
"Oh..,iya. Aku lupa mengisi battery. Pagi ini aku tidak memperhatikan ponselku. Tapi aku masih bisa menghubungi Diva pagi tadi...kurasa ponselku mati setelah itu"
"Kamu sudah punya pacar?"
Arini menahan napas. Berapa kali Rendra akan mengejutkannya dengan pertanyaan yang tidak saling berhubungan seperti ini.
"Tidak"
"Tapi Ray tadi bilang kamu pergi bersama pria..ah Arian, anak osis itu bukan?"
"Ya aku pergi dengannya tapi kami tidak berpacaran."
"Tapi kalian pergi berdua"
"Lalu apa? Kami sudah sering pergi berdua. Itu bukan sesuatu yang baru."
"Kamu menyukainya?"
Arini meletakkan sendok dan garpunya dengan tidak sabar. Ia semakin frustasi dengan sikap Rendra belakangan ini. Ada apa dengan pria ini, bersikaplah wajar dan buatlah hidupnya tenang.
"Lupakan saja. Kenapa hari ini kamu banyak sekali bertanya. Itu urusan pribadiku, jangan tanya lagi. Aku mohon. Aku sangat pusing hari ini."
"Aku hanya ingin tahu..." Rendra masih bersikap tenang.
Arini menghela napas. "banyak yang terjadi sebelum kita bertemu Rendra, itu wajar dan bukanlah sesuatu yang aneh. Aku punya privasi, aku juga tidak akan bertanya bagaimana hubungan kamu dan Alena meski aku yang mengurus pernikahan kalian. Aku menghargai privasi kalian jadi tolong hargai privasiku."
Rendra merenung sejenak, kemudian tersenyum. "baiklah, maafkan aku. Sekarang makanlah!"
Arini mengangguk canggung. Walaupun banyak bertanya tetapi ia menuruti kata-kata Arini dengan mudah, itu membuatnya heran. Tetapi pada akhirnya mereka memakan pesanan mereka dan melupakan masalah yang tadi. Mengganti dengan topik yang lebih santai.
Di dalam hati, Rendra mengakui bahwa ketegangannya sedikit hilang ketika ia keluar dari rumah sakit. Ia tidak yakin tapi ternyata ia bisa sedikit bersantai. Entah itu karena suasana yang baru ia dapatkan selama dua belas jam terakhir atau karena wanita di hadapannya sekarang.