Bagas keluar dari kamar inap Alena ketika melihat Arini berdiri bersandar di dinding rumah sakit. Rendra sudah di dalam jadi ia bisa berangkat ke kantor sekarang. Rendra sudah mengambil jatah cuti tahun ini untuk menjaga Alena, akan diperpanjang apabila memang diperlukan. Ia termenung sebentar sebelum akhirnya mengajak gadis itu berjalan keluar rumah sakit.
"Bagaimana kamu bisa dekat dengan Rendra?"
"Apa?" Arini menoleh, kinerja otaknya sangat lambat hari ini. Semua gara-gara Rendra yang mencekokinya dengan pertanyaan tidak bermutu selama makan tadi.
"Kamu dan Rendra?"
"Kami terlihat dekat? Syukurlah...pekerjaanku menuntut itu, aku membutuhkan dia suatu saat nanti untuk kelangsungan bisnisku. Minimal jadi investor, ya mungkin saat dia tua dan tidak sanggup menjadi manager hotel." Arini tidak ingin berpura-pura, ia lelah melakukan penyangkalan jadi ia putuskan untuk mengalir saja.
Bagas tertawa, "dia akan marah apabila mendengar perkataanmu barusan, dia tipe sahabat yang tulus."
"Bukan masalah, dia sudah terlalu sering memarahiku untuk hal-hal kecil."
"Dia memarahimu?" Bagas berhenti sejenak dan menyadari mereka sudah ada di pintu lobi rumah sakit. Arini mengangguk.
"Gara-gara aku tidak pernah sarapan, gara-gara aku tidak professional di depannya...padahal semua klien sebelum dia sangat memuji cara kerjaku, dia marah hanya karena aku tidak bisa memasakkan bubur untuknya, ah...dia juga marah hanya karena aku sedang bersamamu atau Rian adiknya. Dia aneh sekali." Arini menggelengkan kepala heran.
Banyak sekali yang hadir di kepala Bagas ketika mendengar pengakuan Arini, keningnya berkerut samar. Mengherankan karena ia merasa itu bukan cerita baru untuknya...
.
.
.
"Bukankah kamu bilang sedang sakit kemarin?"
"Ya, seseorang memaksaku memasak kemarin."
"Memasak?"
"Ya, dia tidak bisa membuat bubur yang layak dimakan untuk orang sakit, jadi kami memasak untuk makan siang."
.
"Astaga, kapan dia akan belajar untuk sarapan?" Rendra melempar ponselnya ke meja.
.
"Fotomodel itu sedang berada di luar kota untuk syuting videoklip."
"Pantas...satu minggu lebih dia belum memberiku tempat yang layak."
"Hei...ini kamar terbaik di seluruh hotel di dunia."
"Tetap saja. Ok, lupakan. Bagaimana gadis itu, dia sudah berubah?" katanya, kali ini ia menoleh Rendra.
"Dia?"... "dia masih pendiam, tetapi saat dia mulai berbicara aku tidak ingin membuatnya berhenti. Dia sudah bisa merasa kesal dengan seseorang, dan rasanya menyenangkan. Di usianya yang sekarang dia masih belum bisa memasak dengan benar."
"Alena seperti itu?"
"Apa?"
.
"Kalian?"
"Ren,,,ini Arini.."
"Pak Bagas, kami sudah saling mengenal."
"Begitu? Oh...jadi kamu yang mengurus pernikahan Alena, sepupuku itu?"
"Alena sepupu anda?" Arini terkejut.
"Iya, dia tidak cerita kepadamu ya.. Ren, kamu mengenal Arini ternyata."
"Iya"
"Kalau kita bertiga saling mengenal bagaimana jika kita makan siang bersama?"
"Tidak perlu, aku ada rapat pukul satu, aku bisa terlambat nanti..."
"Tapi ini baru..."
"Permisi"
Perlahan kerutan di kening Bagas memudar. Ia menatap punggung Arini yang berjalan menjauhinya. Sekali lagi pikiran itu terlintas dibenaknya. Apakah aku telah memberikan beban berat untuk Rendra? Apakah benar permintaannya untuk memenuhi semua keinginan Alena itu benar, apakah benar membuat Rendra menyetujui pernikahan ini. Apakah keputusan yang tepat ketika membuat sepupunya menikah dengan orang yang sudah tidak mencintainya lagi, yang sudah mencintai orang lain.
***
Arian memaksanya hadir malam ini. Arini berusaha menjelaskan bahwa ia sangat sibuk tapi Arian berjanji jika Arini menolak datang ia tak akan pernah mau bertemu dengan gadis itu lagi. Tidak ada pilihan lain, Arini tidak bisa hidup tanpa sahabatnya itu.
Keadaan yang lengang membuatnya sedikit heran, apakah ia terlambat? Ia berdiri di depan restoran Arian yang tampak lengang dan gelap. Ia membuka pintu restoran dengan perlahan. "Ar, restoranmu tutup lebih cep..." Arini menahan napas setelah menyadari semuanya tertata rapi dan terdapat banyak lilin-lilin indah di setiap inci ruangan. Hanya ada satu meja yang terdapat diruangan itu. Seperti sudah dirancang bahwa itulah satu-satunya meja yang menjadi pusat ruangan itu.
Ia menggeleng kemudian melangkah kembali menuju pintu keluar.
"Arini..." suara seorang pria menghentikan langkahnya. Ya...Arini sangat mengenal suara khas dan lembut itu, dengan enggan Arini membalikkan badan. Arian masih mengenakan jas cooknya yang sangat match dengan tubuhnya, penampilan yang selalu Arini sukai. Singkatnya dia chef yang paling tampan yang pernah Arini kenal.
"Duduklah" pria itu menarik satu kursi di meja yang Arini lihat tadi.
"Arian, aku.."
"Please..."
Mereka saling menatap, sekali lagi Arian menatapnya dengan tulus membuat Arini tidak tega menolak. Baiklah ia harus kembali bernapas jika ingin tetap hidup. Setelah Arini duduk pria itu berjalan ke tempat duduknya. Dua orang pelayan datang dan langsung memenuhi meja bundar itu dengan aneka jenis ice cream. Bermacam-macam warna ada di sana. Kini Arini dan Arian kembali bertatap. Arini mengalihkan pandangan di meja. Warna-warni ice cream berpendar dan bercampur dengan cahaya lilin. Arini sangat gugup menerima tatapan Arian. Bagaimana ini?
"Kamu ingat nggak pertama kali kita bertemu?"
Arini terdiam sejenak. Arian membuatnya kembali mengingatnya. Malam itu hujan deras dan saat itu Arian masih menjadi asisten koki di restoran ayahnya. Arini memaksa memesan ice cream dalam cuaca dingin. Padahal pelayan restoran sudah menawarkan menu yang lebih hangat.
Setelah beberapa lama ice cream dihidangkan gadis itu memanggil pelayan restoran dan langsung marah-marah. Pertama kali ia marah-marah di depan semua orang. Semua pengunjung melihatnya. Arini berkata bahwa ice cream yang disajikan sama sekali tidak enak. Akhirnya Arian keluar dan duduk di hadapan Arini. Mereka saling diam, perlahan Arian menggenggam telapak tangan Arini dan pria itu dapat melihat dengan jelas airmata gadis itu mengalir. Ia melepas genggaman tangan Arian dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Saat itu satu hari setelah kelulusan. Perasaan Arini kacau karena Rendra. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia tidak dapat melihat Rendra lagi. Sejak saat itu, Arian lah yang menjadi sahabat Arini, mengerti gadis itu dan selalu memberikannya ice cream saat Arini membutuhkannya. Dengan ice cream yang dibuat pria itu perasaan Arini menjadi lebih tenang.
Kembali pada ruangan itu. Arini masih merasa gugup dan membiarkan Arian melanjutkan kalimatnya.
"Sejak saat itu pelan-pelan aku mengenal kamu, pelan-pelan aku mengerti kamu, aku berusaha keras membuat ice cream yang membuatmu bahagia setelah keluar dari sini, karena aku tidak tahan melihatmu pergi dengan raut terluka." Kata Arian.
Arini membelalakkan mata, pria itu mengetahui hingga detail sekecil itu. Ya..Arini memang datang kemari saat sedang sedih, tapi dia selalu berusaha baik-baik saja saat datang. Apakah kesedihan itu masih terlihat?
Arian meminta Arini memilih salah satu ice cream di meja. Tidak ada penawaran, jika ia tidak bisa mendapatkan semuanya maka ia akan memilih ice cream warna cokelat. Arini menyendokkan pada ice cream itu. Tuk. Arini terkesiap mendengar suara benturan di dalam gelas. Detak jantung Arini bergemuruh. Luruhan air mata gadis itu mengalir cepat. Penglihatannya tidak salah, ia mengambil benda itu. Sebuah cincin berwarna perak dengan satu berlian kecil ditengahnya dengan kilau putih, indah...sangat indah. Ia memandang Arian.
"Percaya padaku, Arian menyukaimu."
Pria itu berdiri dan mengambil bucket bunga kertas warna magenta di pinggir ruangan...Arini tidak menyadari keberadaan bunga itu sebelumnya, itu...indah sekali. Favorit Arini.
Belum selesai Arini mengagumi bunga kertas itu ketika tiba-tiba Arian bersimpuh dihadapannya. Arini terkejut, lelehan air mata Arini menetes dari dagunya, pria itu menghapusnya lembut membuat gadis itu tersentak.
"Aku sudah bilang aku mengenalmu, aku tahu kamu akan memilih ice cream coklat jika kamu tidak mendapatkan semuanya, untuk itu aku menaruh cincin itu di sana." Arian mengangkat bunga itu ke hadapan gadis itu.
"Aku mencintaimu,. Arian mencintai Arini..."
Arini mengerjapkan matanya. Ia berharap yang ia dengar bukanlah suara Arian sahabatnya. Adakah yang bisa menjelaskan semua ini? Kemana lagi ia harus berlari dari dunia ini...semuanya tidak akan sama lagi.
***
Arini mendorong pintu etalase kantornya. Ia melihat ke tengah teras. Sejak kantor ini berdiri ia membiarkan bunga itu hidup dengan indah. Ia menghampiri taman itu, melompat ke dalam parit kecil yang mengelilingi taman itu, ia mencabut tanaman bunga kertas di tengah taman dan melemparnya sejauh yang ia bisa. Langkahnya terseok dan ia terjatuh. Seluruh badannya basah dan tiba-tiba bahunya berguncang, di saat seperti ini ia mengingat Rendra, ingin menyuarakan nama pria itu namun tidak bisa, ada yang menahannya, suaranya tercekat oleh kesedihan yang menyelubunginya. Buliran demi buliran airmata menetes. Ia merengkuh tubuhnya sendiri dan mulai merasakan dingin malam ini. Sepatunya rusak karena kebasahan dan telapak kakinya mati rasa, berbeda dengan dadanya yang terasa sakit sekali.
*
Satu jam berlalu namun Arian masih bersimpuh di tempatnya. Perlahan ia meletakkan bucket bunga kertas di kursi. Ia berdiri tegap dan mencoba menenangkan diri. Tidak berhasil. Brakkk...krompyang. Kakinya menendang meja hingga meja itu terbalik. Seluruh gelas jatuh dan pecah berserakan di lantai, ice cream warna-warni tumpah di lantai. Ia mengacak rambutnya kesal. Sedikit buliran air mata mengalir cepat dari kelopak matanya. Ia menggapai punggung kursi demi menahan tubuhnya. Kisah yang selama ini ia jalin, cinta yang selama ini ia rangkai, hancur berserakan. Lebih hancur daripada suasana ruangan ini sekarang.
"Kamu mengenalku Ar...dan kamu tahu aku nggak akan pernah bisa melupakan dia. Sekarang aku tidak bisa menikmati ice creammu lagi, aku bahkan membenci bunga itu sekarang. Bunga itu hanya mengingatkanku pada luka, pada Rendra, pada kamu..."
Arian tidak sanggup mengingat apa yang Arini katakan. Ia menggenggam punggung kursi itu kuat-kuat kemudian melemparnya, terdengar suara gebrakan keras.
.
.
"Sepertinya acaraku sudah selesai sejak satu jam yang lalu, siapa pria yang bersamamu itu?"
Arini mengangkat bahu. "seorang kenalan, sudahlah jangan menginterogasi lagi. Gara-gara ulang tahunmu ini aku harus meminta Naura untuk menggantikanku menemui klien."
"Aku kan hanya bertanya."
*
"Indah ya, Ar," kata Arini ikut memegang besi pembatas jalan.
"Rin,,kamu di sini?" Arian tampak terkejut dan dengan refleks melepas jaketnya dan memakaikannya pada tubuh Arini.
"Ar...nggak dingin,"
"Suutt..orang udara sudah kayak es gini kok" katanya sambil memakaikan tudung jaket di kepala Arini. Arini sewot sebentar namun ceria kembali.
"Tutup mata"
"Apa?"
*
"Ada apa?"
Arini mengangkat alis, "apa?"
"Kamu terlihat bingung."
Arini tersenyum dan melupakan pikirannya yang melantur tadi.
"Yan, kerjasama yuk...ada artis yang mau pakai jasa WO ku.."
"Kau datang kemari hanya untuk mengatakan itu?"
"Tentu tidak, aku hanya sedikit merindukanmu..."
*
"Oh ayolah, jangan buat aku menunggu."
Sekali lagi Arini tertawa. "baiklah, aku akan dimarahi fansmu jika membuat cheff paling menawan ini terlihat kusut di restoran besok pagi."
"Kenapa?"
"Karena patah hati."
"Kurasa kau benar"
.
.
.
Next chapter
Beberapa orang menganggap bahwa berjabat tangan adalah hal yang berarti baginya. Mungkin kau tidak tahu tapi aku telah menciptakan ilusi yang indah untuk kita. Aku hanya ingin duduk tenang bersamamu, meskipun itu terasa sulit.