"Selamat pagi!" sapaku pada gadis yang baru saja membukakan pintu rumahnya untukku setelah aku menekan bell sekali. Dia terdiam di depanku, ekspresinya menunjukan kebingungan sekarang. kulayangkan senyuman kepadanya setelah menyapanya tadi.
"Selamat pagi, ada yang bisa ku bantu?" tanyanya masih dengan raut kebingungan.
"Ah! Perkenalkan nama saya Dean, Aunty Susan ada? Beliau memesan bouquet Mawar dan berpesan untuk tidak menitipkanya pada siapapun." kataku sambil menunjuk bouquet mawar dalam pelukanku.
"Mama? Mama baru saja pergi ke pasar dengan bi Sari. Aku tidak tahu jika mama memesan bunga sebanyak ini?" katanya dengan raut terkejut saat melihat dua bouquet Mawar merah dengan jumlah yang berbeda.
"Masuklah, kurasa mama tidak akan lama. Dia hanya membeli beberapa barang saja," katanya seraya membuka lebar pintu rumahnya, membiarkanku masuk dan mengikutinya menuju ruang tamu.
"Duduklah, aku akan menyiapkan minuman terlebih dahulu," titah Kayla seraya menunjuk sofa yang berada di tengah – tengah ruangan.
"Terimakasih." kataku sambil mengangguk sungkan ke arahnya. Ia lekas pergi setelah memastikan tamunya duduk dengan nyaman.
Seperti yang Alice dan aunty Susan katakan, banyak memo tertempel di dinding ruangan. Kayla menempelnya dengan baik, dia mengaturnya di area yang mudah terlihat, Banyak agenda keseharian Kayla yang tertempel disana. Tanpa sadar aku bangkit dari dudukku, berjalan memperhatikan satu persatu memo yang tertempel, bahkan sekarang aku menaiki tangga dan berhenti tepat di depan kamarnya yang tertutup. Lagi-lagi terdapat memo yang tertempel disana.
Kuberanikan masuk ke dalam kamarnya, hal pertama yang ku lihat adalah dinding dekat jendela kamar Kayla. Aku melihat beberapa kertas memo yang tertempel rapih, warnanya berbeda dari yang lainnya. Mereka berderet dengan rapi tertempel didinidng. Hatiku serasa tercubit, rasa bersalah, rindu, menyesal, seluruh perasaanku tercampur aduk sekarang. Saat merasakan perjuangan Kayla untuk tetap mengingatku walau pada akhirnya dia gagal. Rasanya sakit sekali. Semua isi memonya berisikan nama lengkapku, dari atas hingga ke bawah hanya ada namaku yang tertulis disana dengan huruf kapital.
"Apa yang kau lakukan disini?"
Suara Kayla menginterupsiku dari belakang. Saat aku berbalik, Kayla berdiri diambang pintu kamarnya dengan pandangan tertuju ke arahku dan beralih pada memo yang di tempelnya. Aku langsung tersenyum kikuk, menggaruk tengkukku sendiri yang tidak terasa gatal sama sekali. Bak pencuri amatiran yang tertangkap basah oleh sang pemilik rumah sebelum mendapatkan apa yang diinginkan.
"Maaf, saya…" kataku gagap, bingung akan bicara apa untuk menjelaskan kejadian sebenarnya. Kayla seolah mengabaikanku, dia berjalan mendekatiku dan berdiri tegak tepat di hadapan memo yang ditempelnya, menatapnya lekat tanpa berkedip. Tatapan tajam penuh kekesalan karena kelancanganku yang masuk tanpa izin langsung tergantikan oleh tatapan sendu miliknya.
Tampak sedih dan terluka.
"Maaf atas kelancangan saya nona. Saya hanya tidak sengaja melihat pintu ruangan ini terbuka, jadi saya berniat untuk meliahtnya sebentar. Saya kira ini hanya gudang karena cukup gelap," kataku memberi penjelasan yang sepenuhnya adalah bualan semata.
"Sekali lagi saya minta maaf. Kebiasaan saya yang buruk ini memang sulit untuk dikontrol, saya sangat bodoh. Maafkan saya. Saya tidak akan mengulanginya lagi." kataku kembali dengan raut menyesal. Lebih kepada takut sebenarnya. Kayla tidak bereaksi sama sekali, dia tak bergeming dari tempatnya, telinganya seolah ditulikan untuk sekedar mendengar penjelasanku.
"Ini nama pacarku, 4 tahun lalu dia pulang ke negaranya, Swiss. Untuk pekerjaan dan pendidikannya. Selama 4 tahun itu, kami saling bertukar pesan dan tetap berhubungan dengan baik. Dia pria yang baik, menyenangkan. Terlebih saat ekspresinya dapat berubah dalam sepersekian detik dan itu jarang terjadi. Dia memiliki raut wajah yang datar dan tenang," katanya bercerita tanpa mengalihkan pandangan dari memo didepannya.
"Aku menderita suatu penyakit yang membuatku melupakan banyak hal, awalnya hanya lupa biasa. Namun, seiring waktu berjalan aku akan melupakan segalanya bahkan mungkin dia," lanjutnya dengan suara yang mulai bergetar.
"Dan sekarang, kurasa aku mulai melupakan wajahnya. Aku sengaja menempel memo sebanyak ini dengan namanya. Aku berusaha untuk tetap mengingat bahkan jika hanya nama yang tertinggal, setidaknya ada satu hal yang ku ingat tentangnya."
"Apa nona mulai mengingatnya dengan jelas saat melihat nama itu?" tanyaku seraya menatap punggungnya yang sempit.
"Selalu, nama dan kasih sayang yang diberikannya masih melekat dalam ingatanku. Aku selalu merasa ada yang kosong setiap kali aku bangun dari tidurku, tapi aku tidak tahu itu apa."
"Apa menurutmu dia akan melupakan nona juga?" tanyaku lagi.
"Aku yakin dengan hatinya. Tapi, hatiku mulai ragu, aku tidak tahu apa yang akan dikatakannya setelah melihat keadaanku sekarang ini."
"Janji yang telah dibuat 4 tahun lalu tak sama sekali dilupakan. Selama 4 tahun itu, janji yang dibuatnya tetap melekat dalam ingatannya. Setiap waktu dia selalu berharap, berdo'a agar tuhan memberikan cukup ruang untuknya kembali ke Indonesia dan memenuhi janjinya segera," kataku dengan tatapan lurus ke arahnya.
"Tak sedetikpun ia melupakan wajah wanita terkasihnya. Hal pertama yang dilakukannya dipagi hari saat ia bangun tidur adalah mengucap rindu yang mendalam pada sebingkai photo gadis cantik yang berhasil memenuhi hati dan fikirannya selama lebih dari 7 tahun," lanjutku.
"Dia, Dean Finnigan, bersumpah dihadapan Tuhan bahwa ia tidak akan melupakan gadisnya apapun yang terjadi. Dia bersumpah untuk selalu mencintainya bahkan jika suatu saat nanti gadisnya akan melupakannya sepenuhnya!" sumpahku dengan seirus.
Saat itu juga, bahu Kayla bergetar hebat di ikuti isakan tangis di bibirnya. Aku mendekat, membawanya dalam rengkuhan penuh rindu yang ku miliki. Mengecup puncak kepalanya dengan lembut dan berbisik betapa aku sangat merindukannya.
"Kenapa tidak mengatakan dari awal bahwa kau?" isaknya berbisik di dekatku.
"Aku tidak ingin membebanimu dengan berusaha keras mengingatku. Karena aku tahu, kau tiak akan pernah melupakanku. Kita sudah terikat satu sama lain." kataku memberi alasan. Kayla semakin terisak kencang setelah mendengar alasanku. Dia berbalik dan memeluk ku dengan erat, memukulku pelan dan menuturkan kata maaf terus menerus.
***
"Bagaimana ini, kau tetap cantik dengan mata dan hidung memerah. Rasanya aku ingin segera menciummu." godaku membuat Kayla tersipu dalam sekejap dan memukulku pelan dengan bibir mencebik kesal dan mata beralih memandang ke arah lain.
"Sudah, jangan menangis. Kau akan semakin cantik jika tersenyum seperti biasanya,"
"Dean, maaf, aku..."
"Sudah, aku mengerti. Mari untuk tidak membahas ini. Aku tidak apa – apa, sungguh." kataku cepat memotong ucapan Kayla yang aku yakini akan berakhir dengan permohonan maaf yang panjang dan rasa penyesalan darinya. Sudah cukup melihatnya terluka karena ia sempat melupakanku, aku tidak ingin melihat tangisannya lagi karena ini.
Kami beralih ke sofa dan memilih untuk duduk bersama setelah Kayla lebih tenang dari sebelumnya, melepas rindu satu sama lain dengan bertaya kabar dan sebagainya, mengesampingkan keadaan buruk diantara kami, bahkan aku berkali – kali mengalihkan pembicaraan Kayla yang mengarah pada penyakitnya yang entah sampai kapan Kayla akan bertahan menahannya.
"Kay, jangan buat aku menjadi orang jahat hanya karena ini. Aku tidak ingin meninggalkanmu. Kita sudah sepakat untuk tidak membahas ini bukan?" kataku memohon agar Kayla berhenti membahasnya. Sedari tadi Kayla mengulang – ngulang kata yang sama dan itu menyakitiku.
"Tapi, Dean..."
"Sstt... sudah, aku tidak apa – apa, aku tidak melakukan ini hanya karena janji yang kubuat, aku mencintaimu dan akan tetap seperti itu sampai kapanpun." potongku seraya membawa Kayla dalam pelukanku lagi.
"Kay, biarkan aku menepati janjiku, mari kita kesampingkan masalah ini dan kita lalui bersama – sama. Aku bersungguh – sungguh untuk tetap berada disampingmu apapun yang terjadi." ucapku serius seraya menatapnya dalam, memegang kedua tangannya untuk meyakinkan bahwa aku yakin dengan keputusanku saat ini.
"Tapi..." aku langsung menggeleng pelan dan memintanya untuk tidak mengatakan hal yang sama lagi, ku sunggingkan seulas senyum penuh keyakinan padanya.
"Ayo berjuang bersama. Aku akan berada disampingmu dan mendukungmu."
Kuraih tangan kiri Kayla dan mengelusnya sesaat, mengeluarkan cincin dari saku celanaku dan menatapnya sesaat. Ku sematkan kembali cincin yang satu bulan lalu berada di genggamanku. Ku kembalikan barang yang harusanya menjadi miliki Kayla dari awal aku membelinya. Kemudian ku kecup pelan tangannya dan kembali memamerkan senyum cerah ke arahnya.
"Hadiah lain dariku. Kejutan, dan tanda bahwa aku sudah menepati janjiku padamu." kataku sambal mengambil dua bouquet bunga mawar merah yang sempat kami lupakan tadi. Aku segera memberikannya pada Kayla. Duduk tegak menghadap ke arahnya, mengangkat kedua tanganku dan menggerakannya, membuat sebuah kata melalui bahasa isyarat yang selalu kami gunakan dari dulu untuk mengungkapkan perasaan kami.
"Aku, menicntaimu dari dasar hati yang terdalam!" itu adalah arti dari bouquet bunga pertama, 33 tangkai mawar merah.
"Jadikan aku pasangan hidupmu!" itu adalah arti dari bouquet bunga kedua, 108 tangkai mawar merah. Bisa disebut juga sebagai tanda lamaran, atau ajakan menikah.
"Dean," gumam Kayla terkejut dengan apa yang kulakukan. Dia menatapku dan bunga dalam pelukannya bergantian. Kembali ku layangkan senyum ke arahnya, tanpa mengucapkan apapun.
"Aku bersedia!" katanya cepat dengan lelehan air mata yang kembali menghiasi wajahnya yang sudah memerah. Dia beralih memeluku dengan erat.
END