Akhirnya, kami kembali menginjakan kaki di tanah kelahiran Kayla, tempat ia dibesarkan, tempat semua kenangan kami dibangun. Tepat pukul 7 pagi kami tiba di bandara, Kris, Alice, dan Abbie datang menjemput kami. Tangis langsung pecah saat itu juga, ketika Alice mendapati Kayla tak mengenalnya dan semua orang yang berada di sekelilingnya. Abbie langsung menarik Alice agar tidak berlali ke arah Kayla, dia langsung memeluknya dan menenangkannya disana. Aku yakin, Abbie mengerti apa yang akan terjadi jika Alice tiba – tiba memeluk tubuh Kayla.
Kris menghampiriku dan langsung memeluku dengan erat, wajah sedih dari mereka tak bisa di tutupi. Aku tahu, aku mengerti, berapa tahun kami tak saling jumpa, dan saat Tuhan mentakdirkan kami untuk bertemu kembali dalam keadaan yang begitu berbeda dari sebelumnya.
"How are you brother?" tanya Kris setelah melepas pelukannya.
"As you can see right now, I'm fine." jawabku sambil memamerkan senyum simpul padanya.
"Siapa mereka?" tanya Kayla pelan seraya memandangi orang – orang di sekelilingnya satu persatu. Tangannya menggenggam tanganku dengan kuat, reaksi ketakutannya mulai muncul kembali. Dengan tenang aku tersenyum ke arahnya.
"Mereka saudara dan teman kita. Itu Alice dan Abbie teman kita sewaktu SMA dan kuliah, itu Kris kakakku, itu ayah dan ibu kita, itu Mrs. Brown, kemudian itu Jean dan Nyle anak kita yang berada dalam pangkuan Jean. Ini aku, suamimu, Dean Finnigan." jelasku sambil menunjuk orang – orang yang ku maksud.
"Hi! Kayla, senang berjumpa lagi denganmu, aku Kris kakak iparmu. Kau tampak semakin cantik bahkan setelah melahirkan Nyle," puji Kris sambil tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Kayla.
"Jangan takut, mereka orang yang baik." bisikku meyakinkan Kayla
"Sekarang, kita pulang dan istirahat. Kau pasti lelah."
Kayla mengangguk dalam diam, raut ketakutannya mulai luntur secara perlahan, Kris tersenyum miris ke arahku, mengerti dengan keadaan Kayla yang selalu membutuhkan pengertian di setiap saat. Dia menepuk pundaku pelan kemudian berjalan duluan bersama orang tua kami menuju mobil yang sudah terparkir tepat di depan pintu keluar bandara.
***
Rumah yang dulu sering ku jadikan tempat menghabiskan akhir pekan bersama Kayla sudah berada di depan mata, lama tak berkunjung tak membuatku lupa pada rumah ini. Tak ada yang berubah sedikitpun, semuanya tetap sama seperti terakhir kali aku melihatnya.
Mama dan papa sengaja memberi kami kamar di lantai bawah, sedangkan Nyle di lantai atas untuk mempermudah semua kebutuhan Kayla dan menghindarkan Nyle dari sesuatu yang tiba – tiba terjadi dan dapat menganggunya.
Aku membantu Kayla untuk kembali beristirahat setelah perjalanan panjang dari Swiss menuju Bandung. Setelah itu, aku merapikan barang – barang dan memasukan semua pakaian kedalam lemari. Aku juga harus memeriksa jagoanku di kamar barunya setelah menyelesaikan ini semua.
"Apa kamarnya cukup nyaman?" mama tiba – tiba datang, dia berdiri di ambang pintu setelah mengetuk pintu kamar kami yang terbuka.
"Terima kasih ma, ini sudah lebih dari cukup untukku dan Kayla," jawabku bersyukur karena mama memberiku kamar di lantai pertama. Dengan begitu, Kayla akan terpantau lebih mudah, resiko jatuh dari tangga juga bisa di hindari, bagaimanapun perempuanku masih si ceroboh seperti yang dulu.
"Syukurlah, mama dan papa sempat khawatir karena memberikan ruangan ini untuk kalian,"
"Tidak apa – apa ma, aku malah senang mama memberiku kamar disini. Mama masih ingat sifat ceroboh Kayla?" tanyaku sambil tersenyum ke arahnya yang mulai masuk ke dalam kamar dan duduk disamping putrinya yang tertidur.
"Tentu saja, anak perempuan mama yang paling ceroboh. Dia bisa jatuh dimana saja," sahut mama menimpali, sangat hafal dengan sifat ceroboh yang dimiliki putrinya itu.
"Kayla nampak bahagia hidup denganmu. Terimakasih Dean." gumam mama sambil tersenyum ke arahku dengan tatapan teduh yang dimilikinya. Lantas aku membalas senyumannya dan mengangguk pelan, menyambut dengan baik ucapan terimakasihnya. Bagaimanapun aku tidak akan pernah menjadi suaminya tanpa persetujuan orang tua Kayla. Semua bisa kulakukan karena mereka menyimpan banyak kepercayaan padaku. semua berkat dukungan mereka, keluarga besarku.
"Kalau begitu mama kembali lagi, segeralah keluar setelah menyelesaikan pekerjaanmu. Kita berkumpul bersama di ruang keluarga. Kurasa Nyle juga merindukan daddynya. Dia terus memanggilmu Dean."
"Baik ma, aku akan segera kesana setelah menyelesaikan semuanya." jawabku sambil mengangguk dengan cepat.
"Papapa... eung...ahahaha.. dad...dy..." belum lama mama pergi, suara kesukaanku tiba – tiba terdengar dari arah pintu. Saat aku menoleh, Nyle merangkak dengan cepat dan riang, suara telapak tangan yang berbenturan dengan lantai terdengar begitu jelas, senyumnya mengembang lebar diiringi celotehan – celotehan tak beraturan. Kata yang paling sering jelas terdengar adalah mama dan papa, terkadang dia akan berteriak memanggilku daddy saat dia marah, merajuk, dan membujuk. Panggilan itu akan terdengar keras dan sangat jelas.
"Nyle!" panggilku senang saat ia tak menyerah untuk tetap merangkak menghampiriku, tubuhnya beberapa kali terjatuh, namun kedua tangan mungilnya berhasil menahan wajahnya agar tidak tersungkur dan kembali merangkak.
"Come here sweetheart, get big hug from daddy!" ucapku menyemangatinya seraya melebarkan kedua tanganku bersiap menangkap tubuhnya yang semakin mendekati ku. Dengan semangat Nyle merangkak lebih cepat, keceriaan benar – benar tergambar di wajahnya.
"Dad...dy!" celotehnya kembali saat tangannya berhasil menggapai lenganku. Dengan bangga aku mengangkat tubuhnya ke pangkuanku dan menciumi wajahnya. Memujinya atas keberhasilannya merangkak ke arahku dengan penuh perjuangan.
"Clever boy, dad's son is great." pujiku seraya memberikan ciuman bertubi – tubi di pipi tembamnya sebagai hadiah atas keberhasilannya. Nyle yang seolah mengerti dengan ucapanku bertepuk tangan ria, tertawa riang dengan mata berbinar dan mulut terbuka memperlihatkan gusi merah mudanya yang belum menunjukan akan tumbuhnya tulang – tulang putih yang nantinya akan berderet rapi disana.
"Mama..." tawanya hilang saat melihat ibunya sedang tertidur di atas ranjang. Aku mengikuti arah pandangnya, dan kembali memperhatikannya yang melongo menatapi ibunya yang sedang tidur.
"Do You wanna sleep with mommy?" tawarku dengan suara pelan di sampingnya. Nyle beralih menatap ke arahku dan terdiam untuk beberapa saat sebelum ia kembali memandangi ibunya. Aku lekas bangkit dari dudukku di atas lantai sebelumnya, membawa Nyle yang masih dalam pangkuanku untuk berbaring di bagian kasur yang masih kosong.
Nyle langsung berguling ke arah ibunya, tangannya di rentangkan untuk memeluk tubuh kecil ibunya, kepalanya ia sandarkan di punggung Kayla dan mulai memejamkan matanya dengan tenang, aku lekas mendekatinya dan memeluk kedua tubuh orang yang ku sayangi. Nyle semakin nyaman berada di posisinya setelah aku mendekat dan ikut memeluk Kayla dari belakang tubuh kecilnya. Aku ikut memejamkan mata dan tertidur bersama mereka. Satu momment lagi yang mengharukan ku dapatkan, Nyle dengan tingkahnya di usia yang masih sangat muda. Memahami posisi kami, seolah mengerti dengan apa yang di hadapai ibunya, sekarang dia memeluknya seolah mengatakan bawha Nyle mendukung ibunya dan mengatakan untuk tetap sehat. Putraku yang tampan. Terimakasih sweetheart.