Kayla, kami langsung melarikannya ke rumah sakit saat ia tiba – tiba tak sadarkan diri setelah pulang dari piknik sore tadi. Tubuhnya memucat dan terkulai di pangkuanku saat aku membawanya untuk segera pergi ke rumah sakit.
Sekarang, dia dalam penanganan dokter. Semua menunggu disini, bahkan Abbie dan Alice datang setelah mendapat kabar tentang kondisi Kayla sore ini. Semuanya menunggu dengan kecemasan, mama bahkan menangis sedari tadi dalam pelukan papa. Kris berdiri di sampingku, menepuk bahuku pelan seolah memberi tahuku bahwa Kayla akan baik – baik saja.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, fikiranku terbagi dua antara Kayla dan Nyle. Nyle langsung menangis kencang saat melihat ibunya tiba – tiba terjatuh dan tak sadarkan diri. Tangisnya begitu kencang dan aku yakin Jean belum bisa menenangkannya hingga saat ini, aku khawatir dia akan sakit lagi seperti tempo hari dimana ia tahu bahwa terjadi sesuatu pada ibunya.
"Aku mohon, berjuanglah untuk Nyle." batinku meminta seraya memandangi lekat pintu ruang tindakan dimana didalamnya berada Kayla dengan para tenaga medis.
"Tenanglah, percaya padaku bahwa Kayla akan baik – baik saja." ucap Abbie meyakinkan Alice yang masih tak tenang di posisinya, tangannya bertaut dan saling meremas kuat hingga Abbie harus memeganginya agar tangan Alice tak terluka.
4 jam berlalu, pintu ruangan masih tertutup, tak ada tanda – tanda seseorang akan keluar dari sana dan memberi kabar pada kami terkait kondisi Kayla selanjutnya. Aku benar – benar dirundung kecemasan yang amat dalam. Dadaku seolah bergejolak tak menentu, jantungku berdegup lebih kencang tak berirama. Rasanya kacau dan aku tidak tahu harus berbuat apa selain berdo'a dan menunggu.
Akhirnya, dokter Zee keluar bersama rekannya dari sana. Aku lekas menghampirinya dan menuntut sebuah penjelasan dari mereka. Semua menunggu dalam diam. Namun hanya gelengan dan permohonan maaf yang terlontar jelas dari mulut mereka.
"Maafkan kami, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Kami turut berduka atas kepergiannya."
Sontak tangis pecah dalam seketika, tubuh lemah kedua ibuku langsung ambruk jika saja tidak ada ayah yang memegangi mereka. Bahkan Alice pingsan hingga Abbie terkejut dan langsung mengangkat tubuhnya, membawanya pergi bersama seorang perawat di sampingya.
Kris mendampingiku, dia berdiri disampingku saat dokter Zee dan parternya menjelaskan kronologis kejadian selama tindakan di dalam dan kondisi terakhir Kayla saat ia masuk ke ruang tindakan. Kris langsung memeluku setelah mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Dia terisak disana cukup lama. Aku tahu, Kris amat menyayangi Kayla. Luka seolah menggores hatinya saat tahu jika Kayla telah meninggalkan kami.
Ku lebarkan kedua sudut bibirku membentuk segaris senyum ke arahnya. Aku tidak tahu senyum seperti apa yang sedang terukir di bibirku saat ini. Aku hanya mengingat jika wanitaku selalu tersenyum disaat apapun.
Aku melangkah memasuki ruang tindakan. Disana, Kaylaku berbaring dengan selembar kain yang menutupi tubuhnya. Wajahya begitu pucat, bibirnya membiru, matanya tertutup begitu damai. Bahkan bibir pucatnya itu menggariskan senyum lebar yang selalu kurindukan. Aku mulai mendudukkan diri disampingnya, merapikan letak kain yang menyelimuti tubuh ringkihnya.
"Apa kau begitu lelah?" tanyaku pelan dengan suara tenang. Aku tetap berusaha menggaris senyum di hadapannya, aku telah berjanji bahwa aku akan melepasnya ketika ia memang lelah dan memilih berhenti. Aku tidak ingin mengecewakannya dan menagis terisak di hadapannya. Dia begitu kuat melebihi aku yang berdiri sebagai pria baginya.
"Kau sudah berjung sangat keras. Aku tahu semua usahamu. Nyle pasti mengerti, dia anak yang cerdas, dia tidak akan marah. Dia dan aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun." lanjutku lagi seraya meraih tangannya yang mendingin dan begitu lemas.
"Aku tidak akan memaksamu, beristirahatlah, tidurlah yang nyenyak. Maafkan aku karena terlalu egois untuk selalu memaksamu sampai aku tidak sadar jika kau sudah begitu lelah dan penat. Maafkan aku karena terlambat menyadarinya."
Ku kecup tangan dinginnya, kembali memandang wajahnya yang berkilau walau pucat di kulitnya yang lebih mendominasi. Aku bangkit berdiri dan memeluk tubuhnya dengan erat sebagai pelukan terakhirku. Mengusak pipinya dengan pipiku, merasakan dingin yang menguar dari kulitnya.
"Aku berjanji, sampai kapanpun kau akan menjadi wanita pertama dan terakhir kali yang aku cintai." bisikku di telinganya.
"Aku akan selalu mencintaimu." bisikku kembali dengan teramat pelan di telinganya.
Ku tatap lekat – lekat wajahnya, menyimpan sebanyak yang aku bisa dalam memoriku sehingga aku tak akan pernah melupakan wajah perempuanku yang sudah berjuang bersamaku sampai titik terakhirnya. Ku kecup lama keningnya, membiarkan bibirku meraskan dan mengingat dinginnya kulit wanitaku untuk yang terakhir kalinya.
"Aku mencintaimu." sekali lagi aku berbisik di depan wajahnya dan memasang senyum dengan lebar dihadapannya. Aku tidak akan pernah melupakanmu batinku kembali berkata, mengikat sebuah janji yang tak akan pernah bisa ku ingkari untuk selamanya.
***
Pagi ini, setelah semua kerabat dan sahabat datang melayat, tubuh Kayla akan di kebumikan. Aku sebagai suami berdiri tegak di dekat liang lahat, mengikuti serangkaian upacara pemakaman dengan hati yang tegar, mengikhlaskan Kayla, mengantar dan mendapinginya sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Tangis tak henti kudengar dari segelintir orang yang datang menghadiri upacara pemakaman. Bakhan Alice tak berhenti menangis setelah ia kembali sadar dari pingsannya. Mama berada di rumah karena kondisi kesehatannya tiba – tiba menurun drastis sehingga mommy harus tetap tinggal untuk menemaninya disana bersama Jean dan Nyle. Radit datang dengan raut mendung di wajahya. Setelah mendapat kabar duka dari kami, Radit langsung ke Bandung dan tiba malam kemarin di rumah kami.
Dia tidak menangis, dia berdiri disampingku, menemaniku dan berusaha menguatkanku dengan Nyle yang semalaman berada di pangkuanku karena tangisnya tak bisa dihentikan oleh siapapun kecuali aku. Aku masih mengingat dengan jelas mata bengkak dan hidung memerahnya yang belum menghilang hingga pagi tadi saat dia masih tidur sebelum aku berangkat ke pemakaman.
"Kayla! Kayla!" teriak Alice kencang saat tanah mulai mengubur tubuh tak bernyawa wanitaku. Teriakannya begitu histeris hingga Abbie harus ekstra kuat menahan tubuh Alice yang meronta disana.
"Kayla!" teriaknya kembali dalam tangisnya.
"Sudah sayang, jangan seperti ini." ucap Abbie menengangkan seraya tetap memeluk tubuh lemah Alice yang tak berhenti menangis histeris melihat sahabat dekatnya lebih dulu meninggalkannya.
Saat pemakaman selesai, dengan berat hati kami harus kembali ke rumah. Semua orang menunggu disana, terutama kedua ibuku. Aku khawatir terjadi sesuatu pada mereka selama kami meninggalkannya.
Nyle, tangisnya terdengar sampai keluar ketika aku baru menginjakkan kaki dilantai marmer teras rumah ini. Tangisnya terdengar pilu dan begitu menyakitkan. Aku segera masuk dan lekas menghampiri Nyle yang berada dalam gendongan mommy. Tubuhnya meronta kencang dari pangkuannya, berteriak sejadinya sampai sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah. Aku segera mengambil alih tubuh Nyle dan mulai menimangnya, menenangkannya agar segera berhenti menangis. Aku tak kuasa melihat tangisnya yang begitu menyakitkan.
"Dean?" panggil mommy pelan dengan raut penuh duka mendalam.
"Tidak apa mom, aku baik – baik saja. Nyle memang sulit di hentikan saat seperti ini." jawabku seraya memamerkan senyum ke arahnya.
"Bagaimana keadaan mama sekarang?" tanyaku, berusaha menghentikan tangis yang mungkin akan segera hadir meliputi matanya yang mulai memerah dan berkaca – kaca.
"Dia sedang beristirahat didalam. Tadi pagi sempat pingsan lagi, tapi dokter sudah menanganinya. Dia baik – baik saja." jawabnya dengan suara bergetar solah menahan tangis di bibirnya.
"Beristirahatlah. Sekarang giliranku untuk menjaga Nyle. Biarkan Mrs. Brown yang menjaga mama. Keshatanmu juga sempat menurun, aku tidak mau terjadi sesuatu padamu." pintaku agar dia segera kembali ke kamar dan beristirahat. Kondisinya hampir seperti mama, mereka sempat pingsan semalam dan kondisi kesehatannya memburuk secara bersamaan. Namun, mommy lebih cepat pulih dan tetap membutuhkan beberapa pengobatan untuk berjaga – jaga.
Belum lama kakiku melangkah membawa Nyle dalam pelukanku, pandanganku mulai samar, semua objek yang kuliat membayang. Tubuhku terasa ringan seolah melayang, hingga semuanya menggelap, hanya suara tangisan Nyle dan teriakan mommy yang terakhir kali ku dengar.