Hal yang ku benci adalah memasuki ruangan dokter. Karena setiap kali masuk kesana, itu artinya terjadi sesuatu pada Kayla. Tak pernah sekali pun aku mendengar ada perbaikan dari kondisi Kayla, semua yang ku dapatkan hanya tentang kondisinya yang semakin memburuk, seperti yang telah dokter katakan tadi di ruangannya.
Segera ku dudukkan tubuhku di atas kursi taman yang berada di rumah sakit. Setelah mendapat kabar dari dokter, aku tidak langsung kembali ke ruang perawatan Kayla, aku tidak ingin dia melihat wajahku yang seperti ini. Ku sandarkan punggungku disini dan menghela nafas dengan berat, menatap kesekitar memandangi seluruh aktivitas orang – orang yang berada disini. Sebuah keluarga terlihat bahagia disana. Istrinya membantu suaminya untuk duduk dengan nyaman walau selang infus tetap tertancap di tangannya, anaknya mendorong tiang infunya untuk berada di sisi kiri ayahnya dimana jarum infusnya tertancap di lengan kiri. Sang ayah tersenyum dan memuji putra kecilnya seraya mengusak ramut halusnya.
Aku selalu berharap ketika Nyle bisa berjalan dan berlari nanti ada Kayla yang menemaninya, menjemputnya saat pulang sekolah seperti ibu pada umumnya. Atau mungkin kami berdua yang menjemputnya kemudian makan siang bersama di luar. Menemani Nyle bermain bersama teman – teman sebayanya. Kurasa itu akan sangat menyenangkan dan akan menjadi ingatan tak terlupakan bagi Nyle, putra kecil kami. Aku selalu berharap bahwa hal itu akan terkabul, walau kecil sekali kemungkinan hal itu akan terjadi dilihat dari kondisi penyakit Kayla yang semakin memburuk.
"What're you doing in here, son?" suara yang amat ku kenal terdengar dari arah samping kiriku. Saat aku menoleh, daddy sudah berdiri disana dan tersenyum padaku, dia melangkah lebih dekat padaku kemudian duduk di sampingku setelah menepuk pelan bahuku. Tatapannya lurus ke arah keluarga yang ku tatap sedari tadi, menghela nafasnya kemudian menoleh ke arahku.
"Aku sudah mendengar semuanya dari dokter, aku menemuinya sesaat setelah aku tiba disini tadi. maafkan aku karena baru bisa mengunjungimu sekarang."
"Tidak apa – apa, dad, aku mengerti." jawabku tak mempermasalahkannya. Kedatangannya sekarang merupakan hal terbaik saat ini, setidaknya ia menyempatkan diri untuk melihat putra dan menantunya disini.
"Kau datang sendiri?" lanjutku saat sadar bahwa ia sendirian sekarang.
"Mommy mu berada di dalam untuk melihat kondisi Kayla. Dia sangat terkejut saat mengetahui kondisi Kayla dari granny mu, makanya kami langsung terbang kesini semalam. Kenapa kau tidak memberi tahu kami?"
"I'm sorry, I don't want to worry you."
"kami akan lebih khawatir saat kau tidak memberi kabar apapun pada kami. Walaupun kau sudah menikah, statusmu sebagai anakku tidak akan pernah berubah Dean. Apapun yang terjadi, katakan pada kami. Terlepas dari bagaimana cara kau menyelesaikannya, kami tidak akan ikut campur."
"Sorry dad."
"It's ok, you're my son. I know what you're like. How about your son? Is he okay?"
"Ya, He is okay dad."
"Dean?" suara lain yang sama ku kenal kini terdengar dari arah belakang. Aku dan daddy langsung menoleh bersamaan ke asal suara. Papa berjalan ke arahku dengan raut sendu di wajahnya.
"Papa," gumamku pelan seraya menatap ke arahnya. Dia tetap berjalan tanpa berkata apapun lagi, kemudian ia duduk di sampingku dan tetap diam. Suasana tiba – tiba menghening setelah kedatangan papa, kami semua diam dan berkutat dengan fikiran masing – masing untuk waktu yang cukup lama, hingga aku mendengar suara desahan nafas papa di sampingku beberapa kali. Beliau terlihat risau dengan raut wajahnya yang demikian, seperti ingin mengatakan sesuatu namun berfikir ulang untuk mengungkapkannya dengan rangkaian kata yang baik.
"Ayo pulang!"
Tiba – tiba papa bergumam dengan pelan namun masih terdengar dengan jelas di telingaku. Aku menoleh ke arahnya dalam diam dan penuh keterkejutan, menunggu kata selanjutnya. Papa menoleh ke arahku dan lagi – lagi menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Aku yakin dengan ucapannya selanjutnya.
"Ayo kembali ke Indonesia, kita rawat Kayla bersama – sama disana." lanjutnya yang kini dengan senyum lebar penuh ketulusan. Tangannya menyentuh pundakku seolah meyakinkanku dengan keputusannya.
"Biarkan papa membantumu merawat Kayla, bagaimanapun Kayla dan kau adalah anak papa. Dean, Ayo kita rawat dia bersama – sama. Papa, mama, kau, dan kedua orang tuamu. Ayo kita rawat Nyle dan Kayla bersama – sama." lanjutnya kembali dengan yakin.
"Pa?" gumamku pelan. Ku alihkan pandanganku pada daddy yang diam di sampingku. Aku bertanya padanya tentang pendapat ini lewat tatapanku.
"Kau yang lebih tahu. Daddy yakin kau tahu mana yang terbaik untuk keluarga kecilmu sekarang. Yang jelas, kami selalu mendukungmu. Kami percaya padamu Dean." jawab daddy yang secara terang – terangan ia menyerahkan segala keputusan padaku. Ku lihat papa ikut mengangguk setuju dengan ucapan daddy, mereka langsung pergi meninggalkanku sendirian seolah memberiku ruang untuk berfikir dengan baik.
Ku usap kasar wajahku beberapa kali dan menghembuskan nafas berat entah untuk yang keberapa kalinya dari semenjak aku duduk disini sendirian. Ini terasa berat bagiku, aku tidak tahu pilihan yang ku ambil akan berakibat baik atau malah sebaliknya. Jika difikirkan kembali, aku tidak perlu memilih lagi, mereka sudah mengulurkan tangan dengan jelas untuk membantuku. Tapi, rasanya berat bagiku untuk memutuskan mengatakan Ya, aku merasa sangat tidak berguna, janjiku seolah sia – sia dan hanya menjadi ucapan belaka saat kenyataan mengatakan bahwa aku melibatkan kedua pasang orang tuaku untuk membantuku merawat istri dan anakku. Aku tidak pernah membayangkan ini sebelumnya. Dulu, aku berjanji untuk menjaga Kayla apapun yang terjadi hingga akhir hayat nanti. Namun, sudah berkali – kali aku melakukan kesalahan yang berakibat fatal pada anak Kayla.
Ku putuskan untuk kembali ke ruangan Kayla sekarang, orang tuaku pasti disana dan menungguku. Sebelum bangkit, kembali kutarik nafasku dalam – dalam dan menghembuskannya secara perlahan, kurasa akan lebih baik setelah ini. aku tidak mungkin menemui mereka dengan tampang kusut dan lelah bukan? aku tidak boleh membuat mereka khawatir dengan ekspresi di wajahku yang seperti ini.
***
"Aku menyuruhmu untuk mengemasi barang, dear. Dan apa yang terjadi disini?" tanya mommy menyadarkanku dari alam bawah sadarku.
"Mom," gumamku pelan seraya menoleh ke arahnya. Menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, menggelengkan kepalaku untuk membawa diri ke alam sadarku kemudian mengusap wajahku dengan kasar dan kembali menghembuskan nafas panjang. Mommy tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, dia melangkah ke arahku kemudian duduk di sampingku setelah sebelumnya ia menegurku dari ambang pintu.
"Apa yang membuatmu selalu melamun di setiap menitnya?" tanya mommy dengan tatapan yang langsung tertuju pada retinaku bak menyelami sesuatu yang bergelantungan di fikiranku.
"Bahumu terlihat begitu berat sekarang, dia tidak setegap seperti yang pertama kali aku lihat saat kau berjanji pada kami untuk menjaga Kayla." ucapnya tanpa mengalihkan tatapannya dariku.
"I'm your mom, you grew up with me, I know you more than anyone, even Kris more know how you. He don't know better than me. Because I'm your mom."
"Berhenti memikirkan ini lagi, tugasmu sebagai kepala keluarga tidak akan pernah berubah walaupun kami ikut merawat istrimu, janjimu tidak teringkari walaupun kami berkumpul disini untuk menjaga Kayla. Kau akan tetap menjadi suami yang baik untuk Kayla dan ayah yang sempurna untuk Niel. Kau memenuhi tugasmu sebagai suami dan ayah untuk mereka. Jangan jadikan ini beban bagimu, dear." lanjutnya menasehati, mengerti akan apa yang masih menjadi ganjalan dalam hati dan fikiranku.
"Thanks mom." gumamku seraya tersenyum padanya.
"Anything for you." jawabnya kemudian membawaku dalam pelukan hangatnya. Ini lebih baik dari sebelumnya. Aku selalu senang saat mendapat pelukan darinya. walaupun aku tak pernah bercerita panjang lebar padanya, dia selalu mengerti diriku. Masalah yang kuhadapai seolah berkurang setiap kali mendapat pelukan hangat darinya.
"Sekarang, kemasi barang – barangmu. Jangan biarkan Kayla menunggumu lama disana." ujarnya kembali memintaku untuk melanjutkan pekerjaanku seraya menepuk kedua bahuku dan mengelusnya.
Segera setelah kepergiannya, aku kembali melanjutkan pekerjaanku mengemasi barang – barang yang ku butuhkan, sejumlah pakaianan untukku dan Kayla. Dan semua keperluan Niel yang lebih banyak dari kami. Sisanya, akan aku beli setibanya disana. Setelah selesai mengemasi barang dan membawa semua koperku ke dekat pintu keluar. Aku segera menghampiri mommy dan Jean yang sedang berada di ruang tengah, mengajak Nyle bermain dengan semua mainan yang dimilikinya, tidak terlalu banyak, hanya beberapa mainan yang ku belikan untuk menunjang masa pertumbuhan dan perkembangannya, sisanya aku yang berperan sebagai ayah harus memenuhi semua kebutuhan tumbuh kembang Nyle. Menemaninya dan memahami semua keingiinannya di usia yang masih sangat muda adalah tugas terberat untukku, karena jika aku salah sedikit, aku takut akan berdampak buruk bagi putraku.