*Saat Dalam Perjalanan Menuju Apartemenku*
"Hei ngomong-ngomong hari ini kamu tidak bekerjakah?" tanyaku baru sadar jika Lucien tidak bekerja.
"Hari ini hari Minggu sudah sewajarnya aku libur bukan?" katanya membuatku berhasil terlihat bodoh karena lupa hari.
"Oppss iya aku lupa hehehe" ujarku cengengesan. "Eeerrrrr...apakah kamu keberatan jika hari ini membantuku menyelesaikan laporan pengamatan filmku?" tanyanya ragu-ragu.
"Benarkah kamu ingin aku membantu???Ah...tentu aku senang bisa membantumu membuat laporan itu karena aku juga penasaran dengan bagaimana kamu membuatnya" ujarku antusias.
"Oke terimakasih, aku yakin kamu pasti menyukainya" katanya dan kembali fokus menyetir.
Sesampainya di apartemenku, kupersilahkan Lucien masuk. Ini adalah pertama kalinya bagiku membawa laki-laki masuk ke dalam apartemenku yang kecil ini, terlebih laki-laki yang kuijinkan masuk ini adalah orang kaya yang sangat mustahil jika membandingkan rumah mewahnya dengan apartemen kecilku.
"Waaaahhh apartemenmu sangat imut ya Jane, sama seperti penghuninya" celetuk Lucien sambil duduk di atas kasurku dan melihat sekeliling apartemenku.
"Ya....maaf saja rakyat jelata ini hanya mampu menyewa apartemen kecil ini tuan bos besar" kataku merendah dengan nada bergurau.
"Hahaha bukan itu maksudku, menurutku apartemenmu sangat bagus hanya saja ukurannya yang kecil" katanya lagi sambil tertawa.
"Untuk apa aku menyewa apartemen yang besar? lagipula aku hanya tinggal sendiri. Selain itu tidak ada apartemen yang ukurannya besar tetapi harganya murah kan?" jawabku pada Lucien. "Aku akan mandi dulu" imbuhku lagi.
15 menit kemudian aku menyelesaikan urusan mandiku dan berjalan keluar dengan menggunakan hotpants jeans dan t-shirt hitam favoritku.
"Baru kali ini aku melihatmu tanpa pakaian kerja" ujar Lucien tiba-tiba sehingga berhasil membuatku menoleh padanya.
"Kita baru bertemu 2 hari lalu dan itupun hanya saat pulang pergi kerja, jadi bagaimana mungkin kamu melihatku berpakaian rumahan?" jawabku sambil mengoleskan skincare di wajahku.
"Hhheeemmm....ternyata kita baru bertemu 2 hari lalu ya...tetapi aku merasa kita sudah saling mengenal sangat lama" ujarnya keheranan dengan keakraban kilat kami.
"Ya aku juga merasa seperti itu hahahaha, mungkin kita memang ditakdirkan" kataku asal sambil tertawa.
"Bawalah pakaian ganti dan keperluanmu yang lain, mungkin saja hari ini kita akan membuat laporan pengamatannya sampai malam. Jadi daripada bolak-balik ke apartemenmu hanya untuk mandi saja, lebih baik kamu mandi di rumahku saja. Bukankah itu lebih efisien?" ucapnya menyarankanku.
"Baiklah aku ikuti saranmu tuan besar" jawabku sambil terkekeh.
"Ring...Ring..." suara ponselku berdering. Kuambil ponsel yang kuletakkan di meja sebelah kasurku dan melihat nama yang tertera di sana. Mom itulah nama yang tertera di ponselku dan tentu saja aku langsung mengangkatnya dengan mengaktifkan speaker agar aku bisa mendengar suara ibuku tanpa harus meletakkan ponsel di telingaku, karena tanganku masih sibuk memilih pakaian ganti yang akan aku bawa nanti.
"Halo ma..."sapaku kepada mama. "Ya halo Jane, bagaimana kabarmu?" tanya mama padaku.
"Baik ma, mama sama yang lain di rumah gimana? sehat-sehat saja kan?" ujarku lagi.
"Ya kami semua sehat-sehat saja kok, kamu ini kalau tidak ditelpon pasti tidak akan menelpon pulang kan?" ujar mamaku mengeluh.
"Bukannya seperti itu ma, hanya saja aku cukup sibuk, jadi lupa menelpon." sahutku beralasan. Apa yang mama lakukan sekarang?" imbuhku.
"Eh...sekarang mama sedang di rumah kakak iparmu Lina karena 4 hari lagi adik laki-lakinya akan menikah. Jadi mama ikut membantu di rumah kakak iparmu" jawab mama.
"Oh begitu, tapi kenapa sepertinya pernikahannya mendadak ya ma?" tanyaku lagi.
"Ya gimana gak mendadak...calon istrinya sudah hamil Jane" jawab mamaku. Sudah bisa kuperkirakan seperti itu karena adik laki-laki dari kakak iparku adalah tipe laki-laki yang gemar bermain perempuan dan usianya jauh lebih muda dariku. Dulu saat dia sedang bermain ke rumah saja dengan terang-terangan berani menggodaku di depan keluargaku, tentu saja itu membuatku jadi memandangnya sebelah mata.
"Oh...itu yang hamil pacarnya atau perempuan mainannya ma?" tanyaku sarkas pada mama.
"Hus!!! jangan ngomong begitu Jane" ujar mamaku. Tiba-tiba dari seberang telpon kudengar seorang wanita sedang berbicara pada mama dan meminta agar memberikan telponnya ke dia dengan alasan ingin berbicara padaku. Suara familiar yang sering membuatku kesal jika mendengarnya karena dalam setiap perkataannya penuh dengan kemunafikan dan kepura-puraan.
"Halo Jane...apa kabar?apakah pekerjaanmu baik-baik saja?" sapa suara itu.
Sambil memutar bola mata, aku menjawab "tentu aku baik-baik saja dan pekerjaanku juga sangat lancar tak ada halangan". Lucien yang memperhatikan wajahku sedikit heran melihat perubahan ekspresi di wajahku.
"4 hari lagi adikku akan menikah, apakah kamu tidak bisa pulang untuk mengucapkan selamat pada adikku?" tanyanya padaku dengan nada sedikit pamer menurutku.
"Tidak tahu lihat sikon saat itu saja" jawabku singkat. "Ya ya baiklah terserah padamu saja Jane. Ngomong-ngomong apakah sekarang kamu sudah mempunyai pacar atau calon suami?" tanyanya lagi dengan meremehkan.
"Oh...tentu saja belum, karena Tuhan belum memberikannya padaku. Nanti jika Tuhan sudah memberikannya, pasti aku akan membawanya pulang dan memperkenalkannya padamu kak" jawabku pada kakak iparku Lina. "Lagipula orang cantik pasti selalu menginginkan yang terbaik" imbuhku.
"Ingat loh Jane rugi juga punya wajah cantik tetapi ujung-ujungnya belum bisa bawa pacar atau calon suami pulang. Apalagi kalau usianya sudah masuk usia menikah tapi belum juga membawa laki-laki pulang" sahutnya menyindirku. Ingin rasanya kusumpal mulut wanita itu agar diam, tetapi tentu saja aku sangat pintar menahan emosiku dan berbalik menyerang lawan dengan tenang.
"Siapa bilang rugi punya wajah cantik?asal kakak tahu ya punya wajah cantik itu adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan pada kaumnya. Buktinya banyak orang yang memiliki wajah jelek tapi berusaha menjadi cantik, bahkan ada juga yang melakukan perawatan mahal-mahal tetapi wajahnya tetap biasa-biasa saja" balasku tenang sambil melirik Lucien yang hanya diam melihatku saling sindir dengan kakak iparku.
Di mataku dia adalah wanita yang mencintai kakakku hanya karena uang, penghasilan bulanan kakakku dihabiskan olehnya untuk melakukan perawatan ini itu karena dia sangat terobsesi memiliki wajah putih sepertiku. Untung saja papaku seorang pensiunan dan memiliki sedikit tanah untuk berkebun sehingga kehidupan orang tuaku tidak bergantung pada kakak laki-lakiku. Jadi bisa dikatakankan jika keluargaku bukanlah keluarga yang kaya tetapi cukup berada.
"Apa maksudmu berkata seperti itu Jane?" bentak kakak iparku yang sudah mulai emosi.
"Tidak ada aku hanya mengatakan kenyataan" jawabku santai. "Asal kamu tahu Jane, kamu adalah anak yang memalukan bagi keluarga kita karena sampai usia ini kamu belum juga pernah membawa laki-laki pulang ke rumah" ujarnya penuh emosi.
"Bilang saja itu memang tujuanmu untuk menyingkirkanku dari rumah kan? karena aku adalah satu-satunya penghalang bagimu untuk menguasai harta orang tuaku. Apakah aku salah menebak?" kataku masih dengan nada yang tenang.
"Tidak kamu tidak salah menebak, kamu memang benar-benar pintar Jane" sahutnya dingin dari seberang telpon.
"Oh...sekarang kamu pasti sedang tidak bersama mama kan? jika tidak, mana mungkin kamu berani mengatakan hal ini di depan mama" ucapku tenang.
"Hahahaha kamu memang adik iparku yang paling pintar. Jika kamu tahu tujuanku, kenapa kamu tidak cepat menikah saja dan segera pergi dari rumah?" ujarnya kasar.
"Walaupun aku menikah, aku akan tetap menghalangimu menguasai harta keluargaku" sahutku lalu menutup telpon karena benar-benar merasa kesal.
Ku alihkan pandanganku menatap Lucien ingin memastikan apa yang dia pikirkan tentangku.
"Wwaaahhh kamu memang wanita yang pandai bersilat lidah ya..." ujarnya tiba-tiba.
"Maafkan aku kamu jadi mendengar perdebatanku dengan kakak iparku yang serakah itu" jawabku lesu.
"Ekspresimu benar-benar tenang saat melontarkan kata-kata tajam tadi, aku jadi salut padamu" katanya sambil mengacungkan jempol.
"Itu karena aku sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh kakak iparku, makanya jangan salahkan aku jadi pandai berdebat seperti ini" sahutku memuji diri sendiri.
"Seharusnya kamu beralih profesi saja jadi pengacara, pasti kamu bisa memenangkan banyak kasus" sahutnya lagi dengan nada bercanda.
Aku pun menceritakan semua tentang kakak iparku pada Lucien karena sudah tidak tahan dengan kekesalan yang menumpuk selama ini. Dia mendengarkan dengan seksama dan sangat antusias seperti anak kecil yang sedang mendengarkan dongeng dari ibunya.
"Lalu apa kamu akan datang ke acara pernikahan adiknya?" tanya Lucien padaku.
"Entahlah" sahutku sembari mengangkat bahu. "Jika kamu mau, aku bisa menemanimu ke acara itu" katanya tiba-tiba dan berhasil membuatku tersentak.
"Tapi itu kan hari kerja, terlebih kamu adalah seorang bos besar pasti sangat sibuk dengan pekerjaanmu. Jadi bagaimana mungkin kita bisa pergi ke acara itu?" tanyaku pada Lucien.
"Kamu santai saja, aku bisa menyelesaikan pekerjaanku sendiri karena aku adalah bosnya. Kamu hanya perlu mengurus ijin kerjamu saja" jawabnya berusaha meyakinkanku.
"Benarkah kamu bersedia?" tanyaku lagi untuk memastikan. "Tentu saja" jawabnya lembut sehingga berhasil membuat jantungku berpacu lagi.
Akhirnya aku selesai menyiapkan pakaianku dan kami pun kembali ke rumah Lucien. Sebelum kembali ke rumah Lucien, kami mampir sebentar di mini market untuk membeli beberapa makanan ringan.