Chereads / Leandra / Chapter 8 - shame on me

Chapter 8 - shame on me

Aku merapihkan kamar Mr. Adalson, lalu mengganti pengharum ruangannya dengan yang baru. Malam ini Mr. Adalson akan pulang setelah perjalanan bisnisnya satu minggu ke London. Dan lebih baik aku merapihkan kamarnya agar ia lebih nyaman dan dapat beristirahat. Perjalanan jauh pasti membuatnya lelah dan ingin beristirahat.

Aku berjalan membuka jendela saat suara mobil yang terparkir di halaman depan menyadarkanku dari lamunanku, itu Mr. Adalson. Aku yakin itu dia.

Aku masuk kedalam kamar mandi di dalam kamarnya lalu bergerak untuk menyiapkan air hangat untuk ia mandi nanti. Mungkin mandi air hangat dapat sedikit menghilangkan rasa lelahnya. Beruntung karena aku sudah mengurus seluruh kebutuhan Suri terlebih dahulu, jadi kini aku dapat menyiapkan keperluan Mr. Adalson dengan baik.

Ceklek!

Aku berbalik, memandang pintu kamar yang terbuka, aroma parfum yang biasa ia kenakan menusuk penciumanku. Aromanya sangat khas, aku bahkan dapat menebak tanpa perlu melihat siapa yang datang.

"Kau di kamarku?" Ia berucap dengan melepas kancing jas yang melekat ditubuhnya. Ia masih sama, tampan dan tegas. Aku fikir beberapa minggu di London merubah sikapnya menjadi sedikit melembut.

"Aku mengganti pengharum ruangan dan menyiapkan air hangat untukmu tuan," ucapku dengan menangkap jas yang ia lemparkan padaku, aku melipat jasnya, lalu memasukkannya kekeranjang pakaian kotor di sudut ruangan.

"Apa gadis kecilku sudah tidur?" Ia melonggarkan dasi yang ia kenakan. Aku meneguk salivaku dengan susah payah. Dia ... dia sangat panas tuhan! Aku menangkap kemejanya saat ia melemparkan benda tersebut padaku, aku heran, seharian ia beraktifitas di luar, namun kemejanya tetap harum.

Aku melipatnya lalu meletakkannya di keranjang sebelumnya. Ia selalu melakukan itu, dan aku berusaha agar tidak canggung.

"Suri sudah tertidur tuan, lebih awal. Ia tertidur sejak pukul tujuh." Ia melepas kaus yang ia kenakan dengan cepat, sial. Aku mengalihkan pandanganku dari tubuhnya yang kembali menggoda, pipiku terasa panas sekarang. Aku tak bisa berbohong, tuan Adalson terlihat panas sekarang.

Aku menggeleng, berusaha menghilangkan fikiran aneh yang berputar di kepalaku.

"Jika sekali lagi pipimu memerah, aku akan menidurimu di ranjangku sekarang juga. " Ia berujar cuek kemudian berlalu ke dalam kamar mandi. Mr. Adalson membanting pintunya dengan keras. Sedangkan aku terdiam. Aku tak bisa, aku tak bisa menahan rona mememerah di pipiku, itu terjadi begitu saja saat berhadapan dengannya.

Lagi pula apa masalahnya? Pipiku hanya memerah, bukan aku bertelanjang bulat di hadapannya. Kurasa itu bukan termaksud godaan? Itu normal dialami manusia. Nafsunya saja yang tinggi.

Aku berlalu untuk keluar dari kamarnya, kurasa tugasku sudah selesai, aku sudah memenuhi kebutuhannya, ia bukan surikan? Yang harus kuusap dan kutemani sebelum tidur? Jadi kurasa pekerjaanku sudah selesai. Aku sudah menyiapkan bajunya, membersihkan kamarnya, menyiapkan air hangat untuknya. Ya, itu cukup. Kurasa itu sudah cukup.

"Leandra." kakiku berhenti melangkah sebelum tanganku dapat meraih knop pintu, aku memutar tubuhku, menatap Mr. Adalson yang tengah mengeluarkan kepalanya dari sisi pintu kamar mandi, rambutnya masih sedikit berbusa, aku tahu ia belum selesai mandi. "Kau akan kemana? Tugasmu belum selesai. Duduk di sana sampai aku selesai mandi," tambahnya lalu kembali menutup pintu kamar mandinya.

Aku menghela nafas lalu melangkah duduk di sofa yang ia maksud tadi. Gosh, aku mengantuk bila hanya duduk dan berdiam, suhu kamarnya yang dingin dan aroma pengharum di kamarnya membuat siapapun akan mudah terlelap di tempat ini. Aku bahkan tak pernah bermimpi untuk mempunyai kamar sebesar ini, perpaduan warna hitam putihnya terlihat elegan dan mewah. Mr. Adalson memang seorang yang perfectionis.

Aku mengalihkan pandanganku pada pintu kamar mandi saat pintu itu terbuka dan menampilkan Mr. Adalson yang berdiri diambang pintu dengan

Handuk putih yang melilit pinggangnya. Aku mengalihkan pandanganku darinya, aku tak mau ia memergokkiku yang memerhatikan tubuhnya dengan wajah memerah.

Ia menyebalkan, ia mengerti seperti apa reaksiku saat melihatnya seperti ini, namun ia masih melakukannya. Apa ia sengaja?

Mr. Adalsaon mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut di kamar. Aku memandang tatto di tubuhnya dengan meneguk ludah. Tatto itu terlihat cocok di tubuhnya. Apalagi tatto sayap pada lehernya, semua itu semakin menambah kesan misterius dan kharisma menguat dari dirinya.

"Kemarilah Leandra." Ia duduk di sisi tempat tidur dengan menepuk sisi yang lain guna mengisyaratkan padaku agar berjalan ke arahnya. Aku menunduk, lalu berjalan mendekat saat beberapa perasaan bercampur aduk dalam dadaku. Ayolah, kami berdua di dalam kamar, dengan keadaan ia hanya mengenakan sehelai handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

Aku tahu, disatu sisi aku takut. Aku tahu tatapannya padaku seakan ia menelaah kebalik seragam yang kukenakan. Aku tau ia dingin dan kasar. Namun aku tak bisa menjauh, seakan ada tarikan yang membuatku menuruti semua permintaannya.

"Aku lelah, pijat punggungku," ucapnya dengan berbaring telungkup di atas ranjang. Aku tertegun, apa ... apa ia sengaja menggodaku? Maksudku, bisakah ia memakai celananya terlebih dahulu? Ia hanya memakai handuk, dan mungkin akan terbuka bila ia bergerak dengan tak beraturan.

"Aku memintamu memijatku, bukan memandangi tubuhku"

Aku tersentak, lalu memulai menyentuh kulit punggungnya dengan telapak tangaku. Keras. Tuhan, entah sudah berapa kali aku memujinya, ia benar benar sosok lelaki yang menjaga lekuk tubuhnya, badannya sangat kekar. Aku yakin ia rajin berolahraga.

Jemariku bergerak untuk memijat punggung Mr. Adalson dengan perlahan. Aku tak pernah belajar memijat, namun setidaknya aku sering melakukannya pada Michelle untuk meredakan lelahnya karena bekerja. Aku memandang wajahnya dari samping saat ia memejamkan matanya, ia terlihat menikmatnya walau aku tahu ia tak tertidur.

"Pundakku Leandra, ya ... di sana," ujar Mr.Adalson

Aku menahan senyum menatapnya yang tengah berucap dengan memejamkan matanya. Ia pasti lelah, jelas sekali dari wajahnya yang menikmati pijattanku, padahal aku sama sekali tak mahir dalam memijat.

Aku tertegun saat ia memutar tubuhnya menghadapku, aku menarik tanganku yang sempat menyentuh dada kekarnya. Mencoba menarik tanganku agar tidak menyentuh tubuhnya. Ia menatapku tajam, lalu menatap lekat pada seragam yang kini kukenakan. Aku tak nyaman, aku kembali merasa takut dengan posisi ini.

"Aku butuh pelepasan ... " gumamnya dengan menarik tubuhku dan menindih tubuhku dengan tubuhnya yang kekar, tangannya mengurung tubuhku untuk bergerak. Aku memekik, mendorong dadanya walau aku tahu tenagaku tak sebanding bila melawan dirinya. Aku hanya terus meronta, walau sepertinya itu sama sekali tak berdampak apapun baginya.

Aku mengalihkan pandanganku ke lain arah saat aku tahu handuk yang ia kenakan terlepas. Aku tak mau melihat benda itu . Tuhan, ia benar benar telanjang sekarang.

"Saat itu aku gagal. Namun tidak untuk sekarang" Ia berucap cepat lalu melumat bibirku dengan rakus, aku mengerang, berusaha mendorong dadanya yang mati matian mengurung tubuhku. Lidahnya melesak masuk ke mulutku, membelit lidahku dan menghisap lidahku dengan kuat.

"A..ahh... tuan" Aku mendesah saat kecupannya jatuh keleherku, ia menggigit kupingku sekali sebelum kembali menghisap area leherku denga liar. aku mengerang, meremas lengan kekarnya yang melepas tali seragamku dengan cepat.

"Lepaskan aku tuan! Sialan!" Aku meronta sekuat tenaga, menjauhkan tangannya yang berusaha melepas bra yang kukenakan. Namun terlambat, ia berhasil menariknya dan membuat bagian atas dadaku terbuka dengan lepas.

Aku menutupi dadaku dengan kedua tanganku, Mr. Adalson menyeringai, ia terlihat menikmati pemandangannya dari atas sana.

"Dengarkan aku Leandra. Kau melayaniku, itu artinya kau juga harus memenuhi kebutuhanku, aku butuh pelepasan sekarang. im i clear?" ucapnya dengan menahan kedua pergelangan tanganku.

"Nope tuan, kumohon ... aku akan melakukan apapun asal jangan keperawananku, aku tak mau kehilangan itu, aku bukan jalang!"

Aku menangis dan mendorong tubuhnya sekuat tenaga, ia menarik seragamku lepas yang membuatku hanya menyisakan underwear hitamku. Aku tak mau, aku takut, aku tak ingin kehilanghan keperawananku sekarang. Aku takut, aku belum siap.

"Kumohon tuan, aku takut," isakku dengan menutup wajahku dengan telapak tanganku. Aku menangis terisak, aku ... aku tak bisa, aku takut.

Ia menggeram lalu melangkah mundur dan bangkit dari tubuhku, aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku, aku menangis sedangkan ia menatapku tanpa menghilangkan pandangan matanya yang dipenuhi gairah. Aku rasa ia sedang bimbang akan melanjutkannya atau tidak. Namun kurasa matanya ditutupi oleh nafsu.

Aku tahu ia tak akan berhenti. Ia butuh pelepasan dan ia tak akan sudi melepasku walau aku menangis darah sekalipun.

"Aku akan memuaskanmu tuan, bagaimanapun caranya, namun jangan ambil keperawananku, aku belum siap," ucapku disela tangisanku. Ia menaikkan sebelah alisnya. Seakan berfikir akan apa yang akan kulakukan. Aku hanya terus diam dengan memeluk tubuhku, menutupi dadaku yang masih terbuka.

"Mainkan milikku, dengan ini," ucapnya dengan jemari yang mengusap bagian bawah bibirku. Aku menatapnya miliknya dalam diam, aku tak pernah melakukannya, namun menolak dan tidak menuruti keinginannya bukan pilihan.

Bagaimana bila ia justru kembali mengubah fikirannya dengan berniat meniduriku?

Aku tak mau, aku belum siap.

Aku meneguk salivaku gugup, aku bangkit beringsut mendekatinya. Ia duduk disisi ranjang, sedangkan aku mencoba duduk berlutut di atas lantai. Ia menatapku dengan pandangan menuntut, sementara aku mulai menggenggam kemaluannya dengan jemariku. Ini pertama kalinya bagiku, aku terkesan seperti seorang pelacur saat melakukannya.

"Cepat Leandra, sebelum aku berubah fikiran untuk menggunakan tubuhmu lagi" Ia menarik kepalaku agar mendekat. Aku melakukan apa yang ia inginkan, tubuhnya bergetar, ia memejamkan matanya lalu menarik kepalaku agar semakin dalam melakukannya.,

"Right, just like that ... " desahnya dengan meremas rambutku. Aku memejamkan mataku dan berfikir bahwa semuanya akan baik baik saja. Setelah ini, aku bersumpah tak akan sudi memijat Mr. Adalson lagi.

"Aahh ... good Leandra." Ia mengerang dengan mata terpejam, aku mengusap pahanya dengan lembut, mencoba memberinya kenyamanan agar ia mendapat pelepasan dengan cepat.

Aku mengerang tertahan saat merasakan ia mendapat pelepasannya. Mr.adalson menatapku dengan tajam, merasa puas dengan apa yang aku lakukan padanya saat ini. Ia berhasil mengendalikanku, sorot matanya menunjukkan seakan ia memegang kendali atas diriku.

"Kemarilah," ucapnya dengan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, aku terdiam, masih berlutut dil antai dengan menutupi bagian depan tubuhku. "Aku bilang kemari Leandra, apa kau masih mau melakukannya lagi?"

Aku menggeleng keras lalu beringsut naik ke atas ranjang, ia menyeringai, mengusap punggungku yang tak terlapisi apapun dengan jemarinya yang kekar. Aku merasa malu, aku baru saja melakukan hal itu padanya.

"Kau memerah," ucapnya dengan suara rendah.

.

.

.

.

UDAH AH SEGINI DULU WKWK

Dont forget to leave Vote and Comment.

With Love - Bielovez