"Betulkan letak bantalnya Leandra"
Aku mengikuti permintaannya lalu membiarakan Mr. Adalson membaringkan Suri di atas ranjang kamarnya. Gadis kecil itu terlelap usai terisak menangis sepanjang perjalanan pulang kami. Mungkin ia lelah karena terlalu lama menangis, aku paham, aku pernah mengalami hal itu saat kecil.
Mr. Adalson mengusap pipi suri yang sedikit lengket karena air mata yang mulai mengering. Mengecup gadis kecilnya lembut sebelum menyelinuti tubuh Suri dengan selimut diatas ranjang.
Ia terlihat lelah dan banyak pikiran. Aku memandangnya yang kini beranjak dari ranjang. "Apa kau mau secangkir kopi tuan?" tanyaku.
Ia mendongak kemudian mengangguk, "Antar kekamarku," jawabnya dengan melepas jam tangan yang melingkar di tangannya.
Aku mengangguk, lalu melangkah keluar dari kamar, berjalan menuruni tangga dalam diam. Aku tak tahu apa yang dapat aku lakukan untuknya, maksudku, pikirannya pasti sangat terbebani dengan kejadian yang baru saja terjadi pada Suri saat ini. Aku paham, Mr. Adalson amat menyayangi dan menjaga Suri. Itu terlihat dengan jelas.
Aku meraih sebuah cangkir lalu mulai membuat kopi hangat untuk Mr.Adalson. Aku tak menyangka kehidupan dalam rumah megah ini akan serumit ini. Sejak awal aku masuk, aku berpikir bahwa Mr. Adalson adalah lelaki bajingan, dingin dan terlalu memanjakan anaknya. Walau kini aku tahu, ia memanjakan Suri untuk membuat Suri sedikit melupakan apa yang tak dapat gadis itu milikki, cinta seorang ibu.
Aku meraih sebuah nampan untuk membawa kopi hangat yang Mr. Adalson inginkan. Kakiku melangkah menaiki tangga satu demi satu pijakkan, menimbulkan suara langkah kaki kecil yang terdengar.
"Tuan ... "
Aku membuka pintu kamarnya perlahan, menemukan sosok dirinya yang tengah berdiri memunggungiku dengan menghadap ke jendela. Tubuhnya benar benar ideal. Dengan tato sayap yang melekat indah di lehernya.
"Letakkan diatas meja Leandra" Aku mengangguk dalam diam, meletakkan nampan yang kubawa diatas meja. Lalu melangkah mundur untuk meraih knop pintu dan keluar dari kamar Mr. Adalson, kurasa tugasku sudah selesai? Aku sudah memebuhi kebutuhan Mr. Adalson bukan?
"Aku tak memintamu untuk pergi," tambahnya dengan berbalik menghadap diriku yang masih diam mematung di hadapannya. "Duduklah." titahnya yang membuatku lekas menapakkan bokongku di atas kursi kamar ini.
Aku terdiam di tempatku, menghirup aroma tubuhnya yang membuat lututku lemas. Ia melepas jas yang ia kenakan, berjalan ke arahku dengan menyingkirkan dasi di lehernya dengan mudah. Tuhan. Ia bisa membuatku mati lemas. Ia benar-benar terlihat sexy dan menggoda.
Mr. Adalson menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Berbaring dengan menyandarkan tubuhnya di sofa besar berwarna abu-abu miliknya. Pandangannya kosong dan lurus, seakan banyak hal yang masih mengganggu pikirannya.
"Aku pernah berfikir untuk mencarikan Suri seorang ibu ... " Mr. Adalson berucap setelah keheningan yang membentang diantara kami. Aku masih terdiam, tak berniat sekalipun bergerak karena memang aku tak tahu apa yang harus kulakukan. "Namun ... aku tak bisa, aku tak akan mengulangi sebuah kesalahan dua kali. Aku tak membutuhkan seorang istri. Aku tak membutuhkan ikatan."
Aku mengernyitkan alisku saat mendengar perkataannya. Ia tak menginginkan pernikahan? Mengapa? Tak mungkin bila lelaki sepertinya tak didekati wanita. Bahkan dengan mendengar namanya, pasti banyak wanita yang sudi menikah dengannya. Lalu apa masalahnya?
Dengan pernikahan, Suri dapat memiliki ibu. Dan dapat merasakan kasih sayang seorang ibu. Kehidupan mereka akan sempurna.
"Apa ada sesuatu yang membuatmu khawatir tuan?"
"Tidak, maksudku. Aku tak mau melakukan hal itu. Aku bisa membesarkan Suri tanpa bantuan orang lain. Aku ... aku hanya ingin kau memberikan kasih sayang yang tak dapat suri dapatkan"
Memberikan kasih sayang? Aku tak selalu memberikan kasih sayang pada Suri caraku dan Mr. Adalson dalam mendidik Suri berbeda. Aku tak memanjakan Suri karena aku tak mau Suri memiliki sifat yang tidak baik.
"Aku selalu menyayangi Suri tu—"
"Kasih sayang seorang ibu Leandra" potong Mr. Adalson dengan cepat.
Aku terdiam merasakan tatapan Mr. Adalson yang tak berpaling dariku. Ia menatapku dalam, dengan raut wajah yang selalu tak dapat kutebak.
"Berikan Suri kasih sayang seorang ibu, ajari Suri hal yang tak dapat kuajarkan, buat gadis kecilku merasa bahwa ia menjadi seorang gadis yang beruntung" Mr. Adalsonmenggeser tubuhnya, meregup kedua bahuku dengan genggaman tangannya. "Dan layani aku layaknya suamimu," bisiknya dengan meremas kedua bahuku lembut.
Layani aku layaknya suamimu.
Aku menahan nafasku, merasakan pipiku yang kini terasa memanas. Mr. Adalson melangkah mendekat, ia mengusap pipiku lembut. Menatap bibirku lekat dengan jari jempol yang mulai mengusap permukaan bibir bawahku. Aku tak tahu apa yang ia lakukan. Namun apa yang ia lakukan berhasil membuat desiran aneh di dalam diriku.
Ini begitu aneh, aku yang biasanya melawan, yang biasanya berteriak dan mengelak. Kini seakan diam tak berkutik. Dan aku tak tahu wajahku sudah semerah apa.
"Tolong aku ... " bisiknya tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
"Aku membutuhkanmu malam ini," tambahnya dengan permukaan bibir yang menempel di bibirku. Aku memejamkan mataku tanpa dapat kucegah. Membiarkan bibirnya mengecup dan menghisap bibirku dengan lembut. Kali ini aku tak melawan, aku bahkan membalas ciumannya sedikit demi sedikit.
Mengalir begitu saja. Seakan dengan hal.ini aku dapat meringankan bebannya.
Aku benar-benar tak mengerti, pertahanan yang kubangun selama ini runtuh, apa yang kujaga kini tak dapat kutahan lagi. Aku hanya menikmati bibirnya. Mengikuti pagutan bibir kami yang bersatu.
"Ngghhh, " erangku saat ciumannya berpindah pada leherku. Aku mendesah dengan meremas rambutnya. Aku menghirup aroma tubuhnya dalam diam. Ia menggairahkan. Wangi tubuhnya sangat nyaman dan memikat.
"Tuan!"
Aku memekik kecil saat tubuhku dibopong ke atas ranjangnya. Mr. Adalson membaringkanku di atas ranjangnya. Membiarkan tubuhku merasakan ranjang kamarnya yang lembut dan empuk. Ini jauh lebih nyaman dari ranjangku. Dan sayang sekali ranjang sebesar ini hanya diisi olehnya sendiri.
Namun ... Apa aku benar benar siap melakukannya? Apa aku merelakan keperawananku padanya? Aku tak tahu. Aku hanya mengikuti permainan yang akan ia berikan.
Mr. Adalson melepas baju yang melekat di tubuhku, melepas bra yang kukenakan dengan gerakkan yang terlampau cepat. Ia sudah dialanda nafsunya. Dan aku tak akan bisa keluar sekarang. Aku sudah masuk terlalu jauh dan aku merasa tak berdaya untuk menghentikannya.
"Aarghhh " Aku mengejang saat bagian dadaku ia masukkan ke dalam mulutnya. Aku menatap Mr. Adalson dari tempatku sekarang. Ia memejamkan matanya tanpa menghentikan apa yang sedang ia lakukan. Sedangkan aku menggigit bibirku, berusaha menahan eranganku agar tak terdengar dengan kencang.
Mata Mr. Adalson terbuka, kini mata emas itu memandang lekat wajahku yang masih terbuai dalam permainannya.
Persetan dengan perkataan Michelle nanti, sentuhan Mr. Adalson benar benar membuatku tak berdaya. Aku meremas sisi ranjang, menahan jeritan kecilku saat aku menahan nafsuku yang kini bergejolak hebat.
Mr. Adalson melepaskan hisapannya dari bagian atas tubuhku. Ia melepas celana panjang yang kukenakan, lalu menarik lepas celana dalamku dengan cepat. Aku tak menyangka kami akan sejauh ini, maksudku siapapun tak menyangka bahwa seorang babysitter sepertiku bisa berada di atas ranjang Mr. Adalson, duda kaya mempesona yang dapat membuat banyak gadis bertekuk lutut di luar sana.
Mr. Adalson menjilat permukaan bibir bawahnya perlahan, Nafasnya benar benar memburu. Dengan bagian bawah yang terlihat menonjol dari balik celana hitamnya.
Demi apapun ia sangat sexy dari sini.
Aku mengalihkan pandanganku saat Mr. Adalsonmelucuti pakaian yang ia kenakan. Aku tahu, aku pernah melihat tubuhnya secara utuh. Bahkan kami pernah saling melihat. Namun berbeda dengan sekarang. Tak ada elakan sedikitpun dari diriku. Kami melakukannya begitu saja, tanpa ada perlawanan dari sebelah pihak.
Ia merangkak menaiki tubuhku, aku dapat melihat miliknya yang mengacung tegak di bawah sana. Apa mungkin aku benar-benar siap untuk melakukan hal ini dengannya?
"Tu–tuan... "
"Hem?"
"A—aku, aku tak yakin."
Ia meraih daguku, mengusap pipiku dengan lembut kemudian mengecup bibirku. Dari perlakuan yang ia lakukan, ia mencoba menenangkanku dengan sikapnya. "Nikmati saja Leandra. Diam dan rasakan"
Aku memejamkan mataku saat aku merasa sebuah benda mencoba masuk ke milikku. Shit. Ini sangat sakit. Aku tak pernah melakukan hal ini sebelumnya, dan aku tak tahu bila akan sesakit ini. Aku meremas lengan Mr. Adalson dengan erat. Melampiaskan rasa sakit yang kurasakan saat ini.
"Shit Leandra!"
"Tu .. tuan" erangku semakin kencang saat benda itu menerobos masuk kedalam milikku. Merobek selaput dara yang sebelumnya kumiliki.
Keperawanku hilang.
Ditangan majikanku sendiri, Mr. Adalson.
Tuhan, apa kata Michelle bila ia mengetahui hal ini? Seorang babysitter bercinta dengan majikannya? Dan bagaimana bila ada pelayan lain yang mengetahui apa yang kami lakukan?
Aku menghilangkan semua kemungkinan buruk yang berputar di kepalaku. Aku sudah membuat keputusan. Dan aku tak boleh menyesal.
"Sakit ... oh Mr. Adalson! please dont move!"
Ia memeluk tubuhku dengan erat. Mengecupi daun telingaku untuk mengalihkanku dari rasa sakitku. Ia tahu cara memperlakuakan seorang wanita di atas ranjang. Dari gerak geriknya, ia hebat diatas ranjang. Dan kini, ia membuktikan hal itu.
Aku melenguh saat Mr. Adalsonbergerak dengan teratur, menekan pinggulnya semakin dalam pada milikku. Lenguhan kami bercampur, kini bukan hanya diriku, namun Mr. Adalson tak kuasa menahan erangan yang sedari tadi ia tahan.
"Ahhh tuan ..." desahku saat gerakkan Mr. Adalson semakin cepat. Perlahan rasa perih yang kurasakan mulai hilang, berganti dengan suatu gejolak aneh yang membuatku merasakan hal yang lain. Ini terasa nikmat. Aku baru tahu seperti ini rasanya bercinta.
Ia menatapku lekat. Melihat dengan puas desahanku di bawah permainannya. Aku mulai meliar. Aku mendesah dan mengerang setiap hentakkan yang ia berikan padaku.
"Fuck Justin Adalson … arghhh!"
Mr. Adalson memasukkan tiga jarinya kedalam mulutku. Membuatku mengerang tertahan. Aku menghisap jemarinya yang berada di dalam mulutku. Seakan apa yang kami lakukan adalah sesuatu yang amat menggairahkan.
Aku mengejang saat kurasa aku akan sampai. Aku hanya dapat mendesah dan berteriak kecil Sementara Mr. Adalson bergerak dengan liar, tanpa berhenti menghujani wajahku dengan kecupan lembut.
Mr. Adalson menarik kakiku agar terbuka semakin lebar. Aku menatap pinggulnya yang bergerak mendorong miliknya semakin dalam. Ia bergerak cepat dengan menarik kepalaku agar menatap wajahnya lekat.
"Tatap mataku Leandra!"
Aku mendesah keras saat aku rasa orgasmeku akan sampai. Aku memeluk tubuh Mr. Adalson, meremas rambutnya dengan menggigit bahunya kecil saat aku benar benar sampai.
"Arghh tuan! Aarhhhh ... ah!"
"Im close." Mr. Adalson masih terus bergerak cepat dan liar. Pinggulnya bergerak semakin tidak teratur. Nafasnya kini memburu dan aku dapat merasakan keringat yang membasahi sekujur tubuh kami. Aku tahu ia akan segera keluar.
Dan ....
Apa ia memakai pengaman tadi?
"Tuan kau tak memakai kondom," bisikku sekuat tenaga, aku sudah lelah, aku sudah mendapat pelepasanku dan Mr. Adalson masih terus bergerak.
"Persetan dengan pengaman" Desisnya berat dengan merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Tubuhnya menegang dengan gerakkan yang semakin liar.
"Great! Ohhh ... shit Lenadra"
Satu
Dua ...
Tiga ...
Empat...
Aku merasakan pelepasan yang ia dapatkan, Mr. Adalson masih menindih tubuhku dan memelukku dalam dekapannya. Aku mengecup bahunya. Tubuh kami basah oleh keringat, namun bukan penghalang untuk melepas penyatuan yang kami lakukan.
Aku jatuh dalam pelukannya. Dan aku tak menyesal, mungkin untuk saat ini.
.
.
.
.
Cie di update cie :)
Leave comment and vote ok?