"Hhm ... "
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, menyipit saat sinar matahari yang masuk terasa menyilaukan pandanganku. Kepalaku terasa sakit untuk beberapa menit tubuhku terasa pegal dan perlu beberapa menit bagiku untuk mengembalikan kesadaranku bahwa kini aku tidak terbangun di dalam kamarku. Ranjang ini, ruangan ini, semua ini berbeda.
Pikiranku melayang mengingat malam yang kulalui sebelumnya, aku mengulum senyum, wajahku terasa panas dan aku yakin pipiku telah memerah sekarang. Aku bercinta dengannya. Aku bercinta dengan Justin Adalson, ayah dari anak yang kuasuh.
Aku menoleh kesisi kananku yang ... kosong? Apa Mr. Adalson sudah berangkat? Tapi bukankah Ini hari libur? Aku ingin bangkit dari ranjang, walau rasanya badanku terasa rapuh dan ngilu untuk kugerakkan.
Ah! Aku bahkan melupakan fakta bahwa aku seharusnya sudah mengurus kebutuhan Suri saat ini. Aku tak tahu ini pukul berapa, namun yang pasti sudah lumayan siang mengingat matahari mulai naik meninggi.Dan aku yakin Suri sudah terbangun dari tidurnya sekarang.
"Sial…"
Aku beranjak bangkit walau sebuah ringisan berhasil keluar dari mulutku, bagian bawahku terasa perih, dan kini aku terlihat seperti seorang jalang yang tengah memungut pakaianku yang berserakkan di atas lantai kamar. Bila seseorang melihat ini, mereka sudah pasti memberikan stigma yang buruk padaku.
"Demi Tuhan, aku benar-benar terlihat seperti wanita murahan," bisikku saat menatap tubuhku di depan pantulan cermin. Aku memakai bajuku, mengabaikan banyak bercak merah yang membekas di leher dan dadaku. "Bila semua orang tahu, tamatlah riwayatku," tambahku bergumam.
Aku merapihkan tatanan rambutku, walau aku yakin aku tetap terlihat kusut saat melangkah keluar dari kamar nanti. Bagaimana bila aku berpapasan dengan pekerja lain? Bagaimana bila mereka menemukan aku keluar dari dalam kamar Mr. Adalson dengan keadaan sekacau ini? Lebih buruknya, aku mengabaikan Suri, seharusnya aku sudah mengurus Suri sekarang.
Belum sempat aku meraih gagang pintu, pintu kamar terbuka, menampilkan Mr. Adalson yang kini tengah berdiri dengan kaus polo putih dan celana yang berwarna senada dengan atasannya. Matanya menatapku intens, dengan sorot mata tajam yang dalam.
"Leandra …" ujarnya.
Aku menunduk malu, menyembunyikan wajahku yang memerah dari pandangannya. Kejadian malam tadi terus berputar di kepalaku, aku menemaninya kemarin malam dan lebih dari itu,
Aku bercinta dengannya ..
Aku bercinta dengannya ...
Aku bercinta dengannya ...
"Kau sudah bangun?" Aku terdorong untuk kembali masuk ke dalam kamarnya, Mr. Adalson menutup pintu kamar di belakangnya—membuatku kembali terjebak dalam ruangan ini bersamanya. "Aku berbicara denganmu Leandra," ujarnya lagi, menyentuh daguku untuk menatapnya.
Aku menahan nafasku, ia bisa membuatku mati sekarang. Bagaimana ia bisa terlihat setampan ini? "Kau masih lelah? Kau tidak perlu bekerja, istirahatlah hari ini. Suri sudah diurus oleh Brenda"
Hatiku menghangat mendengar perkataan yang ia lontarkan, setidaknya ia masih peduli dengan keadaanku, aku takut bila Mr.Adalson berubah setelah mendapatkan tubuhku. Sungguh, itu menakutkan.
"Aku ingin membersihkan tubuhku terlebih dahulu tuan," ucapku pelan, belum sempat aku berjalan, suaranya kembali menghentikan langkahku.
"Sebentar ... " Mr. Adalson manahan tubuhku yang ingin menuju pintu keluar, lelaki ini menarik tanganku untuk berjalan mengikutinya, aku meringis sakit, merasa intiku terasa perih saat ia menarikku berjalan terlalu cepat. Sebenarnya kakikupun masih lemas, namun tak mungkin aku bermanja manja di atas ranjangnya. Aku harus ingat tugasku di sini.
"Apa masih sakit? Kau baik-baik saja?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk , merasakan hatiku yang kembali menghangat melihat sikapnya. Mr. Adalson mengusap bahuku lalu membuka kotak kecil yang terdapat di atas meja. Aku tak tahu kotak apa itu.
"Minum ini, kita melakukan tanpa pengaman kemarin malam"
Aku terdiam memandang pil kecil yang ia sodorkan padaku, lelaki ini meraih gelas berisi air putih di atas meja. Memberi isyarat agar aku lekas menelan pil tersebut.
Aku baru ingat, kami tak memakai pelindung apapun kemarin malam.
Aku tak mau hamil.
Dan aku tau, ia tak mau mengambil resiko akan hal itu, aku harus sadar siapa diriku. Mr. Adalson pasti akan berpikir dua kali untuk menghamili salah satu pekerjanya.
"Minum Leandra" ujarnya.
Aku mengangguk lalu memasukkan pil kecil tersebut kedalam mulutku. Menenggak satu demi satu tegukan air yang ia sodorkan padaku. Aku dapat merasakan pandangan matanya yang tak beralih dariku. Dan itu membuat pipiku terasa panas, aku gugup diperhatikan lekat olehnya.
Hei?
Sial. Mengapa aku harus gugup sekarang?
Aku meletakkan gelas itu di atas meja. Mr. Adalson menyimpan obat kecil itu dalam kotaknya kembali, memasukkannya ke dalam laci kecil dan mengunci laci tersebur rapat. Dari penglihatanku, kurasa pil pencegah kehamilan yang ia berikan belum lama ... apa ia baru membelikan pil ini untukku?
Atau memang ia meminta setiap wanita yang ia tiduri untuk meminumnya agar tidak hamil?
Aku tak tahu.
Namun aku tak pernah melihat ia membawa seorang wanita akhir-akhir ini.
"Aku akan kembali kekamarku Tuan," ucapku dengan kembali melangkah keluar menuju pintu Mr. Adalson. Aku benar-benar harus membersihkan tubuhku, mengabaikan rasa perih di bagian bawahku sekarang. Aku merasa tak nyaman dan aku benar benar merasa lemas.
"Leandra ... " lagi. Dan lagi. Kakiku berhenti melangkah saat merasakan sebuah tangan yang melingkar di pinggagku, memeluk tubuhku dari belakang.
"Tu—tuan," ujarku tergagap.
Aku terdiam, menikmati hembusan hangat nafasnya yang berhembus di leherku. "Terimakasih untuk kemarin malam," tambahnya dengan mengecup bahuku.
Aku tersenyum dan mengangguk perlahan, Mr. Adalson melepaskan dekapannya pada tubuhku, membuatku kembali melanjutkan langkahku keluar dari dalam kamar.
Aku melangkah menuruni tanpa dapat menahan rona merah di pipiku, semua terjadi dengan sangat cepat, dan aku tak bisa melupakan apa yang kami lakukan kemarin malam.
.
.
.
.
"Apa daddy akan pulang hari ini?" Suri bertanya dengan mendongak menatap diriku, ia tengah bermain sebuah masak masakan dengan beberapa boneka barbie kesukaannya di dalam kamar.
Tiga hari sejak kejadian itu—kejadian saat ia menangis karena perlakuan ibunya, ia mulai ceria kembali, walau sesekali ia masih bertanya tentang ibunya pada Tuan Adalson.
Dan soal Tuan Adalson, ia pergi keluar kota sejak dua hari yang lalu, aku tak menanyakan untuk kepentingan apa karena itu bukan urusanku, aku hanya tau ia mengurus pembukaan cabang barunya di sana, itu pun hanya melalui perbincangan para pelayan yang tertangkap oleh pendengaranku.
"Aku tidak tahu sayang, tapi daddymu akan pulang secepatnya, ia sangat menyayangimu," ucapku tersenyum menatap Suri yang masih mendongak menatapku.
"Apa aku boleh menelfon daddy sekarang?" Aku menggigit bibir bawahku untuk berpikir, Mr. Adalson memang tak pernah marah bila Suri ingin bicara dengannya, namun ini masih siang, Suri biasa menghubungi daddynya di malam hari. Aku takut Mr. Adalson tengah sibuk sekarang.
"Daddymu sedang bekerja. Kita akan menelfonnya nanti malam ya? Kau dapat bicara sepuasnya de—"
"Aku rindu daddy ... " gumamnya dengan menunduk.
Aku tersenyum maklum dan mengusap helaian rambutnya dengan lembut. Mr. Adalson yang selalu menemani Suri, Mr. Adalson yang memenuhi semua kebutuhan Suri, maklum bila gadis ini merindukan daddynya walau hanya ditinggal dua hari.
"Baik, aku coba hubungi daddymu oke"
Aku melangkah beranjak dari dudukku, mungkin mencoba untuk menghubungi Mr. Adalson tak buruk. Aku tak tega melihat Suri sedih. Aku melangkah menuruni tangga, meraih gagang telepon dan memasukkan nomor Mr. Adalson yang tertulis di buku kecil di atas meja.
Beruntung karena banyak nomor yang terdaftar di buku ini, jadi aku tak perlu repot-repot menanyakan nomor ponsel Mr. Adalson.
Aku menunggu sambungan agar terhubung, sejujurnya. Ada rasa kecil dalam hatiku juga yang sedikit merindukannya. Ya, aku memang merindukan lelaki itu. Aku jarang berbicara dengannya melalui telepon, hanya Suri. Itupun tak lama karena memang sudah larut dan Suri mengantuk.
Namun entah mengapa aku merindukuannya. aku merindukan aroma tubuhnya. Sial. Aku menggelengkan kepalaku untuk menyingkirkan berbagai hal aneh berputar dalam pikiranku.
"Halo?"
Ya tuhan suaranya, serak dan berat. Walau dapat tersirat kelelahan dari balik suaranya, tetapi suaranya tetap menggoda. Kurasa ia benar-benar disibukkan oleh pekerjaannya di sana.
"Tu ... tuan, ini aku Leandra" Aku menggigit bawah bibirku gugup, namun beruntung karena Mr. Adalson tak ada disini sehingga ia tidak dapat melihat raut wajahku sekarang.
"Ada apa? Apa Suri membutuhkan sesuatu?" Suri tidak membutuhkan apapun, namun Suri merindukannya.
"Ti ... tidak, maksudku ya—"
"Katakan cepat Leandra, apa semuanya baik baik saja?"
"Aku merindukanmu," Aku menggeleng dengan cepat. Sial, mengapa aku mengatakan hal ini? Aku meneguk salivaku dengan cepat, lalu kembali membuka mulutku untuk mengeluarkan suaraku. "Maksudku, Suri, Suri merindukanmu. Aku salah bicara, aku bersumpah. Maaf tu—"
"Kau? Atau Suri?" Pipiku terasa panas mendengar pernyataan yang ia lontarkan. Aku tahu seperti apa raut wajahnya sekarang, seringai nakalnya dapat terbayang dalam pikiranku.
Aku merenas jemariku untuk menahan senyumku, aku berdeham kecil, mencoba terdengar tak tergoda dan bersikap biasa saja.
"Tuan sungguh, Suri merindukanmu, apa kau bisa bicara dengannya?"
"Baiklah Leandra, aku sedang makan siang. Berikan telepon ini pada anakku"
"Tunggu sebentar"
Aku membawa gagang telepon ini bersamaku, melangkah menaiki tangga menuju kamar Suri, beruntung karena telepon rumah di tempat ini tak terhubung dengan kabel. Suri mendongak ketika aku menunujukkan gagang telepon ini padanya. Ia tahu apa yang aku maksud.
Suri tersenyum lebar dengan berlari menghampiriku.
"Halo daddy? Kapan daddy pulang? Aku merindukanmu!"
Bersyukur karena Suri mengatakan hal itu. Setidaknya Mr. Adalson dapat benar benar berpikir bahwa Suri memang merindukannya, bukan aku. Gadis ini melompat berbaring di atas tempat tidurnya, ia berguling dengan senyum bahagia di wajahnya, Suri seperti seorang gadis yang ditelpon orang yang ia cintai melalui ponsel.
Aku duduk berdiam di sisi ranjang Suri, menatap gadis kecil ini yang tampak amat riang sekarang. Hanya dengan mendengar suara orang yang dua hari tak bertemu dengannya ia sesenang ini, aku tak tahu bagaimana reaksinya bila ibunya datang mengunjungi Suri.
"... "
"Benarkah? Kalau begitu besok bawakan aku hadiah ya?" Aku hanya diam dan tersenyum mendengar celotehan Suri. Aku yakin Mr. Adalson tak akan keberatan membelikan apa yang Suri mau.
"... "
"Ya daddy, apa daddy sudah makan? Tadi Leandra membuatkanku puding cokelat, itu enak. Tapi sudah habis olehku"
"... "
Aku tersenyum memandang mereka. Suri tertawa sesekali dalam percakapan yang ia bangun bersama daddynya. Tak ada yang mengetahui, bahkan tak ada yang menyangka jika sosok Justin Adalson, lelaki yang berwibawa, tegas, dan mengintimidasi dapat sehangat ini pada anak gadisnya.
Bahkan bila aku bertanya pada kakakku Michelle, ia pasti akan mengatakan 'Jauhi Mr.Adalson!.', 'Awas Leandra, ia lelaki berengsek!'. Bla bla bla. Apa yang mereka lihat, terkadang tak sama dengan apa yang aku lihat.
"Leandra, daddy ingin bicara denganmu"
Aku menjulurkan tanganku dan meraih gagang telepon yang disodorkan Suri tadi, menempelkannya di kupingku untuk mendengar Mr. Adalson agar lekas berucap.
"Leandra, aku akan pulang besok"
Ada jeda diantara kalimatnya, aku dapat mendengar suara air yang dituang ke dalam gelas, aku ingat. Mr. Adalson sedang makan siang sekarang.
"Siapkan keperluanku mommy"
Mommy?
Aku terkekeh dan menggeleng. Apa-apaan yang ia katakan. Aku mendesah dan memutar bola mataku dalam diam. "Apa yang harus kusiapkan tuan?"
"Aku akan sampai esok malam. Bersihkan kamarku, dan jangan lupa temani Suri selagi aku tak di sana"
"Ada lagi?"
"Jangan tidur sebelum aku datang."
"Ba—baiklah, apa kau ingin berbicara lagi tuan?"
"Nope, sampaikan salamku pada suri. Aku merindukan kalian"
Aku merindukan kalian. Aku tersenyum lalu mematikan sambungan telepon yang sebelumnya menghubungkan kami dengan Mr.Adalson. Aku jadi seperti orang gila, terus tersenyum tanpa aku ketahui apa yang menjadi penyebab dari senyumku kali ini.
"Leandra, kau seperti tomat lagi"
Aku terhenyak saat suara Suri menyadarkanku dari bayanganku. Pipiku terasa panas, dan aku dapat mendengar suara cekikikan bocah kecil di sampingku kini. Aku menggeleng, lalu beranjak bangkit dari dudukku sekarang.
Aku malu, sungguh.
Bersambung...