Aku hanya diam tanpa berucap sepatah katapun sejak kami meninggalkan gedung pesta, memilih menutup bibirku rapat dengan memandang pada hamparan gedung bertingkat yang kami lewati sepanjang perjalanan pulang. Mr, Adalson lebih memilih melayangkan pandangannya lurus kedepan, dinginnya suasana malam tak sebanding dengan dinginnya lelaki di sampingku sekarang. Ia hanya diam dengan raut wajah yang datar, namun siapapun dapat mengerti bila moodnya sedang tidak baik sekarang.
Aku tahu ia masih kesal, jadi dibanding aku membuka suara dan mengatakan sesuatu yang salah—lebih baik aku diam. Mengabaikan fakta bahwa kami meninggalkan pesta malam ini hanya kurang dari tiga puluh menit sejak pertama kali kami sampai di sana.
Aku menatap hamparan jalan dengan larut dalam pemikiranku. Bila aku bisa berkata jujur, apa yang dilakukan ibunda Suri memang keterlaluan, ia tidak bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarganya. Seharusnya seorang Ibu lebih peduli terhadap putrinya dibanding hal apapun di dunia ini, bahkan bila mereka bercerai biasanya sang anak akan ikut dengan ibunya, namun kini ia justru dibesarkan oleh Mr, Adalson, ayahnya.
Apa ini yang membuat Mr.Adalson menceraikannya? Karena ia tak bisa mementingkan Suri—putri semata wayangnya sendiri? Entahlah, aku tak mau menduga duga saat ini. Tapi kurasa, tak mungkin mereka bercerai hanya karena Mr. Adalson tak menyukainya lagi. Aku tak akan berkilah, ia wanita yang amat cantik, aku sedikit merasa insecure saat berhadapan dengannya tadi.
Aku melirik ponsel Mr. Adalson yang bergetar, lelaki ini merogoh saku celananya dalam dalam, mengeluarkan ponselnya dan mengangkat panggilan telefon yang ia terima. Aku tak tahu panggilan masuk dari siapa, namun yang pasti pandangan mata Mr. Adalson saat menatap layar ponselnya tadi kesal. Rahangnya kembali mengeras, dan alisnya ditekuk dengan rapat.
"Ada apa?" Suaranya dingin. Ketus. Dan penuh kebencian.
"....."
"Aku pulang, aku tak ada di dalam pesta. Jika kau masih penasaran dengan gadis yang kubawa tadi, ia kekasihku sekarang."
Aku menegang di tempat mendengar perkataannya. Apa yang ia maksud diriku? Tidak tidak, mungkin aku salah paham. Aku menatap ke arah kaca mobil di depan, Charlos bahkan sangat terkejut saat mendengar perkataan Mr. Adalson sebelumnya. Ia sama terkejutnya dengan diriku. Jelas, bagaimana bisa Mr. Adalson mengatakan bahwa aku kekasihnya tanpa berpikir panjang?
"...."
"Aku tak peduli, dan itu bukan urusanmu. Acara itu tak penting bagiku. Selamat malam" Mr. Adalson berucap cepat lalu mematikan panggilan ponselnya. Meletakkan ponselnya kembali dalam saku celana yang kenakan.
Aku masih heran, sebenarnya siapa yang menelfon lelaki ini? Mengapa Mr. Adalson terdengar sangat marah?
Suasana kembali hening. Amarah Mr.Adalson dalam diam membuatku tak nyaman dan kikuk. Aku tak berani membuka suara, dan situasi saat ini terasa menyebalkan. Tak ada yang dapat kulakukan selain memandang lurus kaca jendela disampingku. Memandang jalan raya yang sudah mulai sepi karena memang hari mulai larut.
"Charlos, hentikan Mobilnya di depan sana. Aku akan pergi ke sana," ujarnya membuka suara.
Charlos mengangguk, sedangkan aku memusatkan pandanganku pada tempat yang Mr. Adalson maksud.
Club? Lelaki ini ingin pergi ke sebuah club? Aku memandangnya dari samping, raut wajahnya datar, masih dengan pandangan dingin yang ia layangkan. Apa ia akan mabuk lagi?
Mr. Adalson menoleh padaku, memandang diriku yang masih duduk di sampingnya dengan raut wajah yang belum dapat kutebak.
"Kau pulang terlebih dahulu bersama Charlos Leandra, istirahatlah dan tidur dengan nyenyak malam ini, aku akan pulang menggunakan taxi," ucapnya saat mobil kami berhenti.
"Ta—tapi Tuan"
Mr. Adalson mengabaikan perkataanku, membuka pintu mobil lalu melangkah keluar tanpa berucap beberapa kata lagi.
"Tuan!"
Aku memandang punggungnya yang mulau berjalan menjauh, Lelaki ini masuk kedalam club dengan santai, sementara Charlos mulai menjalankan mobilnya dengan pelan, mengabaikan diriku yang masih dipenuhi rasa bingung.
"Charlos"
Aku menatap Charlos dari kaca mobil, dari gerak geriknya, ia seakan tak terkejut dan tak menahan Mr. Adalson tadi. Atau memang ia tak pernah membantah perkataan Mr. Adalson? Yang jelas Charlos sama sekali tak keberatan atas permintaan tuannya.
"Ia ... ia selalu mabuk ketika marah?" tanyaku pada Charlos yang melirikku dari sudut matanya. Lelaki ini mengangguk acuh, seakan hal itu sudah tak asing baginya.
"Ya, tepatnya setiap ia ada masalah," jelas Charlos. setiap ada masalah?
"Ia akan bersenang-senang di dalam club dan melakukan hal-hal bodoh yang membuat namanya akan masuk pada surat kabar esok hari. Bila ia pergi ke club, itu artinya ia akan pulang babak belur karena berke—"
"CHARLOS, HENTIKAN MOBILNYA!" Aku berteriak kencang tanpa peduli bahwa aku baru saja membuat Charlos terkejut dengan tindakan yang aku lakukan. Mobil yang kami tumpangi berhenti dengan cepat. Lebih tepatnya mendadak—karena tubuhku hampir menabrak seat bagian depan.
"Ada apa Leandra? tanyanya.
Charlos memandangku dengan bingung, sorot matanya memancarkan keterkejutan akan reaksiku yang tiba tiba. Aku tak mengindahkan raut pertanyaan di wajahnya. Aku tau aku terlalu tiba tiba, namun kasian Mr. Adalson. Maksudku, aku—Entahlah—Aku tak tega membayangkan bila Mr.Adalson akan pulang dalam keadaan kacau. Bukan ini yang seharusnya ia lakukan, pelarian seperti ini hanya akan membuat hidupnya semakin berantakan.
"Leandra,ada apa?"
"A—aku akan menyusul Tuan Adalson!" ujarku
Aku untuk membuka pintu mobil dan keluar dari sini, aku mungkin akan dapat amarah Mr. Adalson atau ia akan menganggapku pengusik. Aku tak peduli. Lelaki itu tak berfikir jernih sekarang.
"Jangan lakukan hal bodoh Leandra, ia akan mengusirmu bila kau sampai di sana, kembalilah ke dalam mobil sekarang!" Charlos menolehkan kepalanya ke belakang. Menyeringit heran atas tindakan yang aku lakukan.
"Aku akan menyusulnya, kau pulang saja duluan!" ujarku
"Leandra! Kau gila? Hei ja—"
Aku berlari kecil tanpa mengindahkan perkataan Charlos sebelumnya. Aku harus menyusul Mr. Adalson ke dalam Club itu. Oke, aku tahu ini bukan urusanku, namun aku hanya tak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Aku, aku hanya tak habis pikir dengannya. Ia kaya, tampan dan memiliki segalanya, tak seharusnya bila ia bermasalah ia lari ke minuman beralkohol. Pantas saja Michelle sering mengatakan Mr. Adalson bukan lelaki baik - baik. Ia sering keluar masuk club dengan keadaan babak belur, mabuk-mabukan,dan berakhir dengan pemberitaan negatif di surat kabar. Hal itu membuat pandangan orang padanya buruk. Sekalipun mereka tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dari kaca mata orang awam, reputasinya pasti buruk.
Aku memasuki Club itu dalam diam, euforia pesta dan alkohol tertangkap oleh penglihatanku. Sepinya jalan di luar berbanding terbalik dengan situasi di dalam sini. Suara musik diputar dengan kencang, sorot lampu yang di pasang di lantai dansa membuat tempat ini semakin terasa memusingkan.
Bermacam macam orang mabuk hingga jalang yang berkeliaran dengan bikini terasa memenuhi tempat ini. Ugh. Aku benci tempat ini, tempat yang dipenuhi makhluk menjijikan yang hanya mengenakan underwear di atas meja. Menari meliuk seperti cacing yang ditaburi garam.
"Demi Tuhan, tempat ini menjijikan,"rutukku jengkel.
Aku berusaha menahan rasa muakku dan beralih memandang tempat ini dengan seksama, menyelidik kesegala arah yang belum kulihat sebelumnya. Aku mencari Mr. Adalson, mencari lelaki sepertinya di tempat initidak semudah yang aku kira, aku harus menahan amarahku saat beberapa pasang mata lelaki nakal justru terjatuh padaku.
"Singkirkan tanganmu sialan!" ujarku saat seorang pria menyentuh pinggangku.
Aku berjalan cepat, pandanganku terjatuh menatap seorang lelaki yang tengah duduk di sudut meja dengan segelas minuman beralkohol di tangannya. Itu dia. Itu Justin Adalson. Lelaki bodoh yang sedari tadi kucari di tempat ini.
Lelaki itu sudah tak mengenakan jas yang sebelumnya melekat di tubuhnya, dengan bagian atas kemeja yang sudah terbuka beberapa kancing. Mulutnya mengeluarkan asap dari cerutu yang ia hisap. Gila. Ia terlihat seperti berandal, namun anehnya, ia terlihat panas disaat yang bersamaan.
Aku berjalan mendekat. Mengbaikan tatapan mesum yang diberikan seorang lelaki yang duduk dimeja bar. Aku berjalan mendekat pada Mr. Adalson, menatap lelaki itu yang masih diam tanpa menyadari kedatanganku.
"Tuan ... " bisikku pelan yang membuatnya lekas mendongak. Ia menghentikan hisapan cerutu pada mulutnya, memandangku dengan pandangan mata yang menyiratkan keterkejutan.
"Holy fuck" rutuknya, "Leandra, apa yang kau lakukan di tempat ini?
.
.
.
.
Bersambung…