Chereads / Leandra / Chapter 16 - She's perfect

Chapter 16 - She's perfect

"Daddy! Daddy! Daddy!" Aku menatap Suri yang berlari menuruni tangga dengan cepat, Mengabaikan nasihatku yang memintanya untuk tak berlarian saat berjalan menuruni tangga. Bocah ini sangat senang, ia berlari riang dengan senyuman lebar yang tercetak di bibirnya.

"Ye! ye! Daddy pulang!" celotehnya lagi dengan mengabaikan bahwa kini hari sudah larut, dan ini sudah waktunya ia tertidur.

Aku mendengus dengan menyusulnya turun, aku sudah menidurkannya tadi di dalam kamar, mengingat ini sudah pukul setengah sembilan. Namun ketika ia mendengar suara mobil yang terparkir di luar, ia melompat dari danjang dan berlari turun dengan cepat. Ia tahu daddynya akan pulang malam ini.

Tuhan, kufikir ia sudah tidur. Ternyata ia hanya pura pura tidur.

Aku beranjak bangkit menuruni tangga untuk menemui Mr. Ada—tidak maksudku, aku harus menemui Suri. anak yang seharusnya kuasuh. Gadis itu berlarian dan aku takut ia terjatuh. Aku bisa terkena semprot Mr. Adalson bila anak gadisnya sampai terluka.

"Hei sayang ... "

Aku terdiam memandang sosok lelaki yang berdiri di ambang pintu, kemeja abu-abu masih melekat ditubuhnya, dengan jas hitam yang ia biarkan tersampir secara asal di atas pundaknya. Rambutnya sedikit berantakan, namun aroma parfum yang terpancar dari tubuhnya tetap bisa kurasakan. Aku bahkan merasa ia lebih harum dari diriku sekarang.

"Daddy!"

Mr. Adalson tersenyum menatap Suri yang berlari riang ke arahnya, seakan menumukan sebongkah emas yang membuatnya lekas tersenyum senang. Aku tahu ia sangat lelah dan mengantuk. Namun ia tetap menggendong Suri dan menghujani bocah itu dengan kecupan. Membuat gadis kecil itu tertawa geli.

"Mengapa kau belum tidur gadis nakal?" Ia berucap dengan menyodorkan tas kecil yang ia bawa padaku, memberi isyarat agar aku membawakan tas kerjanya ke atas. Sementara perhatian lelaki itu masih berpusat pada gadis kecilnya, mereka terlihat saling merindukan.

Aku beranjak ke atas dan berjalan memasuki ruang kerjanya, Mr. Adalson selalu meletakkan tas kerjanya di sini, aku meletakkan tas kerjanya di atas meja di ruang kerja lelaki tersebut.

Saat di bawah tadi, aku melihat charlos yang membawa banyak bawaan di kantung belanjaan. Kurasa itu barang yang Mr. Adalson beli saat keluar kota. Aku mendecih, jadi begini rasanya jadi orang kaya? Dapat membeli apapun tanpa berpikir saldo yang mereka milikki dalam tabungannya? Aku benar benar iri. Aku hanya dapat melakukannya pada hari-hari besar, itupun dengan perhitungan yang matang terlebih dahulu.

"Kekamarku Leandra" Aku tersentak saat Mr. Adalson berucap di ambang pintu. Aku bahkan tak menyadari kehadiran lelaki itu di sini sebelumnya. Aku terlalu banyak berspekulasi dengan diriku sendiri.

Aku berlalu keluar dari ruang kerjanya, lalu berjalan membuntuti Mr. Adalson yang tengah berjalan menuju kamarnya, kurasa ia akan memintaku menyiapkan air panas atau semacannya. Untungnya aku sudah menyiapkannya dan merapihkan kamarnya sebelum ia datang. Jadi aku tak perlu repot-repot menyiapkannya lagi.

Dan kini aku tak melihat suri di mana, bocah itu tak mungkin kembali tidur sekarang, suara celotehannya masih terdengar dengan baik di telingaku. Suaranya ... berasal dari kamar Mr. Adalson. ya, kurasa bocah itu ada di kamar daddynya sekarang.

"Tuan…"

Aku mengetuk pintu kamar Mr. Adalson sebelum melangkah masuk. Dari sini, aku dapat melihat kotak demi kotak belanjaan yang berserakan di lantai, dengan Suri yang menggenggam sebuah sepatu berwarna pink di tangannya. Aku yakin barang barang –barang ini yang dibawa charlos tadi.

"Leandra lihat! lucu bukan?" ujar Suri berteriak dengan menunjukkan sepatu yang ia genggam, aku tersenyum kecil, ia terlihat lucu dengan kaca mata hitam yang ia kenakan sekarang. Mr. Adalson benar-benar membelikan banyak hadiah untuk anak gadisnya. Terlihat dari berbagai macam mainan yang berserakan dilantai.

"Sepatu itu terlihat cocok untukmu, dan lihat kaca mata itu, kau terlihat seperti bos kecil," ujarku yang disambut cengiran dari Suri. Ia benar-benar konyol, kaca matanya kebesaran, bahkan lensa kaca mata hitam tersebut menutupi sebagian pipinya.

"Untukmu" Aku tersentak kaget saat Mr. Adalson menyodorkan kotak itu pada diriku. Aku mendongak menatapnya, apa ia membelikan ini juga untuk semua pelayan di rumahnya? Mungkin ia. Uangnya seperti air, ia pasti bebas melakukan apapun yang ia suka.

"Acaranya besok malam. Kenakan semua pemberianku dan jangan banyak membantah"

Acara?

Acara apa?"

"A—aku tak mengerti tuan" Ia menatapku gemas dengan melirik suri yang masih sibuk dengan mainannya melalui ekor matanya. Meyakinkan diri bahwa anak itu tak menatap ke arah kami saat ini.

Aku tak mengerti apa maksudnya, aku bahkan tak tahu apa yang tersimpan dalam kotak ini.

Mr. Adalson berjalan mendekat, meraih pinggangku lalu melumat bibirku lembut. Lembut.

Amat sangat lembut.

Mataku terpejam, menikmati sentuhan bibirnya. Aku menjauhkan dadanya dari tubuhku, aku hampir terbuai, ada Suri di dalam ruangan ini. Kami tidak seharusnya melakukan ini.

"Temani aku esok malam. Kita akan pergi bersama. Dan jangan banyak bertanya padaku, Aku lelah. Aku ingin istirahat"

Aku mengangguk dengan memegang erat kotak yang ia berikan sebelumnya, ia lelah. Tapi masih sempat sempatnya menciumku. Dasar genit.

Aku meletakkan kotak pemberiannya di atas meja. Lalu mulai membereskan kotak demi kotak yang dibuka suri hingga berserakan di lantai kamarnya. Mataku melirik Mr. Adalson yang meletakkan kemejanya di lantai, lelaki ini meraih Suri ke dalam dekapannya. Mengajak gadis kecil itu berbaring di ranjang bersamanya. Entahlah, mungkin mereka akan tidur bersama malam ini.

Aku menyusun rapih kotak itu lalu melangkah keluar dari kamar Mr. Adalson mungkin aku akan memeriksa isi kotak ini dalam kamarku. Mungkin.

.

.

.

.

"Ayo Leandra ... " Aku melangkah memasuki mobil dengan jantung yang masih berdegup kencang. Malam ini aku mengenakan dress hitam panjang polos pemberiannya, dengan kalung berlian mahal yang melingkar di leherku.

Aku masih tak percaya ini.

Aku seorang babysitter yang hanya bekerja sebagai pengasuh anak, kini duduk di dalam sebuah mobil bersama majikanku, datang ke acara pertemuan para pengusaha seperti dirinya.

Ayolah, maksudku. Aku hanya sebuah kentang yang tak berharga bila berada di tengah mereka nanti bukan?

Dan aku tak tahu apa yang dikatakan Michelle nanti. Aku hanya berharap Michelle tak terkena serangan jantung melihat wajahku dan Mr. Adalson dilayar televisi. Bagaimanapun, acara seperti ini akan mengundang banyak perhatian para wartawan.

Aku hanya diam dengan menyandarkan tubuhku disandaran mobil, Mr. Adalson masih sibuk dengan ponselnya. Dan Charlos masih mengemudikan mobilnya dengan gugup. Percayalah, raut wajah charlos seperti melihat mayat yang bangkit dari kubur saat mengetahui aku pergi bersama Mr. Adalson malam ini, bahkan semua pelayan hampir menjatuhkan rahangnya menatapku tadi. Dan kejadian hari ini jelas membuat diriku menjadi pusat pergunjingan para pelayan di dalam rumah nanti.

Aku melirik Mr. Adalson yang tampak sempurna malam ini, dengan tatanan rambut rapih dan jas mahal yang melekat di tubuhnya, sorot matanya tajam, dengan garis rahang tegas yang menambah kesan maskulin dari lelaki itu. Aku tak berani menatapnya sedari tadi, aku menghindari kontak mata dengannya, aku bisa salah tingkah karena terpikat dalam karisma yang ia tampilkan.

Aku merasa mobil yang kami tumpangi memelankan lajunya, Mr. Adalson mendongak menyimpan ponselnya dalam saku celananya, lalu menyodorkan lengannya agar aku berlekas meraih lengannya.

"Ayo Leandra," ujarnya.

Kami melangkah turun dengan beberapa jepretan dari kamera yang terarah pada kami. Aku menunduk malu, berusaha menetralkan degup jantungku ketika sadar kini kami menjadi pusat perhatian. Sumpah. Aku pasti akan mendapat telepon dari Michelle besok.

Kami memasuki ballroom dalam diam, melangkah semakin dalam di tempat ini. Gila, ini pesta termewah yang pernah aku kunjungi, ruang pertemuan sangat luas, dengan permadani mewah yang terpasang di seluruh penjuru ruangan. Aku dapat melihat berbagai hidangan yang tertata di seluruh penjuru ruangan, juga alunan orchestra yang memainkan iringan musik di sudut sebelah kiri ruang pertemuan.

"Tuan, aku ... "

"Tak masalah Leandra, tetap di sampingku" ucapnya dengan berjalan menghampiri sekumpulan orang dengan jas mewah di tubuh mereka, Mr. Adalson meraih dua gelas anggur, menyodorkan satu gelas padaku.

"Tidak, aku tak suka ... " ucapku sedikit berbohong yang membuatnya lekas mengangguk dan meletakkan gelas itu kembali di atas meja hidangan.

Aku bukannya tak suka, namun aku belum pernah mencobanya, dan aku tak akan mau mencobanya, itu minuman keras. Aku takut aku tak kuat mengendalikan diriku dan berakhir memalukan di tempat ini.

"Justin Adalson! kau datang!"

"Selamat malam Austin!" Mr. Adalson menyapa rekan kerjanya, melakukan jabat tangan satu sama lain.

Aku hanya diam ketika Mr. Adalson mulai berbincang dengan beberapa lelaki paruh baya yang mengenakan jas hitam di tubuh mereka. Mayoritas lelaki disini sudah tua, walau masih ada dari beberapa mereka yang masih muda. Dan mungkin, aku tak akan pernah menghadiri acara ini bila bukan karena Mr. Adalson. acara ini hanya untuk orang kaya dan terpandang, bukan orang sepertiku.

Dan aku benar-benar akan memperjuangkan cita citaku kelak. Aku harus berkuliah agar dapat kerja dan membiayai semua kebutuhanku sendiri. Aku harus menjadi orang sukses seperti orang orang ini.

"Justin ... "

Pandanganku teralih menatap seorang wanita berambut hitam panjang yang berjalan dengan dress merah satin di tubuhnya. Aku meneguk salivaku susah payah, ia sangat sexy, tubuhnya benar-benar proporsional, dengan bibir sensual yang dipolesi lipstik merah yang terlihat kontras dengan kulitnya yang putih.

Aku merasakan jemari Mr. Adalson yang meremas pinggulku, lelaki itu nampak kaget, itu tersirat dari wajahnya meski ia mencoba menutupi hal itu. Aku menatap rahanya yang mengeras dengan mata tajam yang terjatuh pada wanit di hadapanku saat ini. Seakan kehadiran wanita ini mengusik ketenangannya.

"Kau datang rupanya, "ucapnya sekali lagi dengan mengulurkan tangannya pada Mr. Adalson , aku tak tahu ia siapa. Namun dari penampilannya, ia pasti wanita sosialita yang kaya. Ia cantik. Sialnya aku harus mengakui itu.

Mr. Adalson membalas uluran tangan wanita itu singkat lalu kembali meletakkan tangannya di pinggangku. Wanita di hadapan kami tersenyum menatap Mr. Adalson, sedangkan raut wajah Mr. Adalson masih datar dan dingin, wanita itu beralih menjatuhkan pandangan matanya padaku. Seakan meneliti diriku saat ini.

Aku gugup, pandangan matanya mengintimidasi. Wanita ini mengangkat dagunya perlahan, menunjukan perangai yang sangat elegan dan tenang.

"Dan nona, Aku Kylie, Kylie Madison. Mantan istri Justin Adalson"

Aku tertegun, ia menekan kata katanya yang menyatakan bahwa ia mantan istri Adalson. mantan istri Adalson? Benarkah? Aku terdiam dan merasa gugup. Berarti ini ibunda suri kan? Aku menatap wajahnya lekat lekat. Ia benar benar mengagumkan, badannya seperti model dengan paras yang cantik.

Tak heran memang, Mr. Adalson lelaki kaya dan tampan. Wajar bila ia memiliki istri yang cantik dan sexy sepertinya.

"Dan kau? siapa dirimu?" Ia kembali berucap dengan suara lembut yang terlontar dari mulutnya. Tangannya terulur guna berjabat tangan padaku. Apa yang harus aku katakan? Aku akan membuat Mr. Adalson malu bila aku hanya seorang babysitter yang bekerja untuknya.

"Ia gadisku, kami mohon pamit, aku dan Leandra akan kembali duduk." Mr. Adalson menarik tanganku menjauhi ibunda Suri yang masih berdiri terdiam memandang kami. Bahkan aku tak sempat membalas uluran tangan yang ia berikan tadi.

Dan ... apa Mr. Adalson baru saja mengatakan bahwa aku "gadisnya"? Tidak. Aku yakin itu hanya pengalihan, mungkin Mr. Adalson pasti malu bila mantan istrinya mengetahui ia datang bersama seorang babysitter. Mungkin.

Bila dipikir -pikir, seharusnya Suri ada di sini bukan? Aku yakin bocah itu senang bila melihat ibunya disini. Aku bahkan masih terdiam dan tak dapat mengucapkan kata kataku. Sungguh, ibunda Suri cantik.

"Tuan, bukankah seharusnya kita mengajaknya menemui Suri?" aku berucap berbisik dengan duduk mengikutinya di meja sudut ruangan. Hanya kami yang berada di meja ini, mengingat meja ini cukup jauh dari hiruk pikuk pesta.

Mr. Adalson memejamkan matanya sejenak, dadanya naik turun seiring dengan emosi yang masih melanda dirinya. Ia tak membalas perkataanku, ia hanya diam dengan menatap lurus.

"Ia bilang ia sibuk. Dan itu kesibukannya selama ini? Datang keseluruh pesta yang menurutnya jauh lebih penting dengan waktu bersama putrinya?" Ia meraih gelas berisi anggur lalu menenggaknya hingga kandas. Mengabaikan bahwa ia sudah menghabiskan dua gelas minuman saat ini.

Seharusnya tidak begini, ia selalu beralih pada minuman beralkohol saat kesal.

"Kau baik-baik saja Tuan?" bisikku dengan lembut, jelas ia terlihat tidak baik-baik saja. Gelagatnya menunjukkan bahwa ia sedang kesal sekarang.

"Kita pulang sekarang Leandra" Aku terlonjak kaget saat ia menarik tanganku beranjak bangkit dari tempat yang kami tempati, membawa diriku untuk berjalan meninggalkan ruang pertemuan. Aku tak tahu bahwa ia akan semarah ini. Ia masih marah, bahkan kami meninggalkan ruang pertemuan ketika kami belum genap berada satu jam dalam acara ini.

Dari sudut mataku, aku masih dapat melihat raut wajah kylie yang kini tengah berdiri dengan segelas anggur dalam genggaman tangannya, aku tak dapat membaca apa yang ia pikirkan tentang aku dan Mr. Adalson. yang jelas matanya tak beralih pada kami.

Lebih tepatnya pada Mr. Adalson. mantan suaminya. Mengapa semua menjadi rumit?

.

.

.

To be continue....