Aku menutup bekal yang sudah kusiapkan di dalam wadah. Aku membuatkan sandwich dan daging asap untuknya. Ditambah dengan buah melon yang masih dingin dan segar. Aku tak tahu seperti apa seleranya, namun aku harap ia menyukai ini. Aku rasa aku tak buruk dalam memasak, aku terbiasa membuatkan makanan untuk Suri, dan ia menyukai masakan yang kubuat.
Aku mengenakan mantelku lalu beranjak keluar dari dalam rumah, aku melangkah masuk setelah sebuah taxi kuning berhenti didepan gerbang rumah Mr. Adalson . aku menunjukkan alamat kantornya lalu menyandarkan punggungku dengan nyaman pada kursi penumpang.
Aku memandang jalan disekitar kami dalam diam, kuharap bekal sandwich dan daging asapnya masih hangat saat sampai di kantornya nanti. Bila sudah dingin lezatnya akan berkurang.
Aku jadi berpikir apa yang Suri lakukan sekarang, ia sudah pulang dari sekolahnya sekitar satu jam yang lalu. Mungkin kini gadis itu sedang bersama ibunya. Ia pasti sangat bahagia sekarang, mengingat ia sangat senang sejak tadi pagi. Aku tahu Mr. Adalson selalu memberikan apapun untuk Suri, namun tak ada yang dapat menggantikan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Bagaimanapun, Suri tetap membutuhkan sosok ibunya.
"Sudah sampai Nona" Aku tersadar saat suara supir taxi menyadarkanku dari lamunanku. Aku merogoh dompetku, memberikan beberapa dollar pada lelaki tambun tersebut lalu melangkah turun keluar dari taxi.
Aku menjinjing tas kecil berisi kotak bekal untuk Mr. Adalson , kantor ini sangat besar, lobbynya sangat luas dengan lantai bertingkat yang amat tinggi. aku lupa di mana letak ruangan Mr. Adalson, atau di lantai berapa ruang kerjanya. Yang aku tahu, nama lengkapnya Justin Adalson dan ia adalah CEO perusahaan ini.
Bruk!
"Maaf, maafkan aku!" Aku membungkuk meminta maaf saat tubuhku secara tidak sengaja menabrak seorang lelaki bertubuh tinggi. Aku memandangnya dengan tatapan menyesal dan memohon maaf. Jelas saja, aku membuat berkas yang ia genggam tercecer berantakan di atas lantai. Demi Tuhan Leandra, mengapa kau sangat ceroboh?
"Mmh … ya tak masalah." Ia meraih kembali berkasnya, lalu melangkah dengan santai mendahuluiku. Aku menahan lengannya, membuat lelaki berambut pirang tersebut menghentikan langkahnya.
"Ada yang bisa kubantu nona?" tanyanya dengan menaikkan kedua alisnya keatas. Aku meneguk salivaku gugup. Aku ingin menanyakan letak ruangan Mr. Adalson padanya, aku malas bertanya pada wanita yang ada di meja depan kemarin. Ia terkesan memandangku rendah.
"Aku ... apa kau tau letak ruangan Mr. Adalson ?" Ucapku dengan menurunkan tanganku yang memegang lengannya.
"Mr. Adalson ? CEO itu? Dia di lantai paling atas, lantai dua puluh satu. Hanya ada ruangannya di sana. Masuklah di pintu dengan lebel CEO room. Apa perlu kuantar?" jelasnya dengan menatapku dari atas sampai bawah. Kurasa ia bingung apa urusanku dengan bos besar mereka, mengingat aku kemari hanya mengenakan jeans panjang dan mantel coklat yang sederhana. Aku terlihat seperti perempuan antah berantah yang tersesat dalam gedung sebesar ini.
"Ti—tidak, tidak. Aku mengerti, aku bisa sendiri. Terimakasih!" Jawabku tergagap yang membuatnya tersenyum dan mengangguk.
Aku melangkah pergi dari hadapannya lalu masuk kedalam lift di kantor ini, bersyukur lelaki tadi baik, mungkin bila orang yang kutabrak adalah wanita sosialita, aku akan habis menerima makian.
Jemariku menekan angka 21, lalu menunggu dalam diam saat Lift ini mulai bergerak, ada dua orang yang naik saat lift ini berhenti sejenak, aku melangkahkan kakiku keluar saat Lift yang kutumpangi tertera di lantai dua puluh satu. Aku berjalan di lorong panjang dengan karpet merah di sepanjang lantaI. Pandanganku terjatuh pada seorang wanita berambut pirang yang tengah duduk dimeja kerjanya. Mungkin ini sekretaris Mr. Adalson , aku tak mengenalnya, karena saat pertama kali aku kesini, ia tak ada.
"Aku ingin bertemu Mr. Adalson," ucapku pada gadis di hadapanku yang duduk dengan menatap laptopnya. Ia membetulkan letak kaca mata di hidungnya, lalu menatapku dalam pandangan matanya yang meneliti.
"Apa kau sudah membuat janji?"
"Ya, ia memintaku datang. Apa aku bisa masuk sekarang?"
Ia mengangguk lalu kembali membuang wajahnya acuh. Cih, mengapa gadis di kantor ini sangat sombong? Mereka cantik dan memiliki karir yang bagus, namun buruk dalam beretika.
Aku berlalu dari hadapannya tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku mengetuk pintu ruangan Mr. Adalson, membiarkan sebuah suara yang mengizinkanku masuk sebelum aku membuka knop pintu diruangan ini.
"Leandra... " Aku tersentak saat pintu ruangannya dibuka dengan kasar. Mr. Adalson menatapku dengan alis yang bertaut erat, pancaran matanya memancarkan keseriusan, seakan ada suatu hal yang mengganggu pikirannya.
"Ikut aku"
Ia berucap dengan menghembuskan nafasnya kasar lalu menarik tanganku berjalan dengannya memasuki lift. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, aku baru sampai dan Mr. Adalson tampak sangat emosi sekarang.
Dan aku tak berani bertanya, lebih baik aku diam. Aku akan semakin memusingkannya bila aku banyak berceloteh sekarang
Kami berjalan keluar dengan mengabaikan pandangan wajah beberapa orang yang menatap kami heran, aku tahu, aku akan menjadi buah bibir akibat Mr. Adalson yang berjalan cepat dengan menggandeng tanganku
Di kantornya sendiri. Dan mungkin akan semakin heboh bila mengetahui bahwa statusku yang hanya seorang babysitter. Perawat putri kecilnya
"Cepat masuk!"
Aku menuruti perkataannya dengan berlari kecil memasuki mobilnya dan duduk di kurso depan. Aku menatap Mr. Adalson yang mengambil alih kemudi dan mengendarai mobil dengan kelajuan diatas rata rata. Ayolah, apa tak ada satupun yang memberi tahuku apa yang sebenarnya terjadi?
"Tuan, apa—"
"Wanita itu tak datang Leandra, ia tak menemui Suri!" ucapanku terpotong saat mendengar perkataan yang ia lontarkan. Jemarinya meremas stir kemudi, ia dilanda emosi. Bahkan amarahnya kali ini benar benar tampak menakutkan.
Wanita itu ... ? Apa yang ia maksud adalah mantan istrinya? Alias ibunda Suri?
Aku terdiam dengan meremas tas berisi kotak bekal yang kubawa, Mr. Adalson mengusap dagunya dengan sebelah tangannya, seakan berfikir keras akan sesuatu yang tidak aku mengerti. Aku takut ia tak fokus karena ia membagi konsentrasi antara mengemudi dan memikirkan Suri.
"Wanita keparat ... " desisnya pelan namun masih dapat kudengar, tubuhku menegang mendengar perkataan yang ia lontarkan. Ia marah. Itu artinya apa yang dilakukan ibunda Suri memang keterlaluan.
"Dia pergi begitu saja tanpa memikirkan putrinya! Dan kini ia memberi harapan seorang gadis kecil untuk bertemu ibunya, namun ia membatalkannya, katakan padaku Leandra, Ibu macam apa dia? Katakan!"
"Tuan tenang, kumohon tenang ... " Aku mengusap bahunya dengan lembut, berharap ia dapat menurunkan sedikit emosinya saat ini. "Yang terpenting saat ini kita harus menemui Su—"
"Ia menangis di sekolahnya Leandra! Ia menangis dan tak mau diantar pulang sebelum ibunya datang! Kau tahu sudah berapa lama ia menunggu? Dua jam, dan wanita sialan itu tak juga datang".
Aku terdiam mendengar perkataan yang ia lontarkan, itu memang terdengar kejam. Membiarkan seorang anak kecil menunggu harapan yang palsu selama dua jam. Mematahkan harapan gadis polos seperti Suri. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh ibunda Suri?
Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah sekolah yang tak asing bagiku, ini sekolah Suri. Aku mengikuti Mr. Adalson yang bergegas turun dengan cepat dari mobilnya lalu berlari menghampiri Suri yang tengah menangis di sebuah kursi tunggu. Gadis kecil itu nampak sangat kusut, wajahnya memerah dan rambutnya acak acakan. Aku yakin ia pasti ingin ibunya.
"No daddy! I want mommy!"
Mr. Adalson menggendong Suri dan memeluk gadis mungil itu di dalam dekapannya, mengecup pipi Suri yang basah oleh air mata. Aku melihat pancaran sayang yang tersirat dari mata lelaki itu. Aku melihat sosok lelaki dan sosok ayah yang hebat dari dalam dirinya.
"Hiks ... daddy!" Suri terisak dengan menyembunyikan wajahnya di leher Mr. Adalson . Aku bergerak mendekat lalu mengusap punggung Suri dengan lembut. Mencoba menenangkan gadis di hadapanku saat ini. Aku tahu rasanya kecewa, ketika kita sudah berharap suatu hal yang kita dambakan dan itu hanya tinggal harapan. Tanpa sebuah kenyataan yang terwujud. Apalagi Suri hanya gadis kecil yang polos, rasanya tak tega mempermainkan perasaan bocah sepertinya.
"Suri, tenang sayang ... kita pulang sekarang ok? Apa kau mau pergi jalan jalan? Kau mau membeli cotton candy? " Mr. Adalson berucap lembut dengan terus mengusap rambut Suri, aku tahu lelaki itu mencoba menenangkan putrinya. Ia mencoba melakukan apapun agar Suri senang.
"Can we meet mommy now?" Suri berucap mendongak dengan pipi yang memerah dan mata yang berlinang air mata. Aku dapat melihat pancaran keputusasaan dari netra mata Mr. Adalson . ia terlihat bingung, ia tahu apa yang sebenarnya terjadi namun ia tak mau menyakiti hati Suri lebih dalam lagi. Ia tak menjawab pertanyaan Suri, ia hanya mendekap suri erat dengan mengecup pipi gadis itu berkali-kali.
"Tolong Leandra ... " Mr. Adalson memberikan Suri kepadaku, aku meraih gadis itu dan masuk ke dalam mobil, membiarkan Mr. Adalson menyelesaikan urusannya terlebih dahulu,
Aku duduk di dalam mobil dengan mendekap Suri yang masih terisak, dari sini, aku dapat melihat pancaran emosi yang terlontar dari bibirnya.
Aku memang tak dapat mendengar apa yang ia katakan, namun dari mimik dan gerak bibirnya ia terlihat amat marah. Kurasa ia menghubungi ibunda Suri.
"Leandra ... " Suri mendekapku dengan bahu yang masih berguncang, tangisnya memang sudah mereda, namun ia masih sedikit sesenggukkan.
Aku terhentak saat pintu samping terbuka dengan kasar, Mr. Adalson masuk lalu memasang sabuk pengamannya. Ia diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia masih marah. Atau mungkin, ia terlalu marah hingga ia memilih diam dan tidak mengucapkan sepatah katapun sekarang.
Namun dari sikap dan perilaku yang ia lakukan, aku tahu ia lelaki yang baik. Ia mencoba menjadi ayah sekaligus ibu disaat yang bersamaan. Mencoba memberi Suri hal lain saat Suri tak dapat memiliki apa yang anak lain milikki.
.
.
.
.
.
To be continued…