Aku merapihkan kamar Suri yang sebelumnya sempat berantakan, menggantung kembali dress-dress kecil yang di belikan daddynya tadi siang. Aku tak menemani Suri mencari gaun untuk pestanya, karena ternyata Mr. Adalson membelikan Suri banyak dress dan membiarkan Suri memilih gaun mana yang akan ia pakai. Ia memang benar benar memanjakan Suri.
Aku tahu uangnya banyak. Namun kurasa ia berlebihan, ia bisa membawa suri pergi dan membiarkan gadis kecil itu memilih gaun yang ingin ia kenakan. Bukan membeli banyak gaun seperti ini. Pakaian yang tak dipakai suri sayang, pakaian itu masih bagus. Dan akhirnya hanya tersimpan di lemari gadis kecil itu.
Aku meraih beberapa boneka dan lalu meletakkannya dengan rapih dan enak untuk dipandang. Pandanganku teralih pada jam wecker kecil di atas meja sampi ranjang Suri. Pukul sepuluh malam. Dan mereka belum pulang. Aku yakin suri akan kelelahan saat pulang nanti.
Aku duduk di sisi ranjang Suri dengan menatap sebuah bingkai foto yang terletak di kamarnya. Foto itu penuh dengan gambar Suri bersama tuan Adalson. Tak ada satupun foto Suri bersama ibunya. Atau mungkin, mereka sengaja menyimpannya dan tak memajangnya seperti foto lainnya? Aku tak tahu pasti, aku bahkan belum pernah melihat ibu Suri sampai sekarang.
Aku menoleh kepintu kamar yang terbuka dengan kasar. Aku memandang Mr. Adalsonyang masuk dengan Suri di dalam gendongannya. Gadis itu telah tertidur dalam dekapan daddynya sendiri. Aku tak mendengar suara mobil mereka datang, jika tau mereka telah pulang, mungkin aku dapat membantu mereka tadi.
Mr. Adalson membaringkan Suri di atas ranjangnya dengan amat perlahan. Menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis itu lalu mengecup puncak kepala anaknya dengan lembut. Ia terlihat ... amat menyayangi Suri dengan tulus. Aku dapat melihat itu dari caranya menatap Suri yang tengah terlelap.
"Leandra, buatkan Suri susu di gelas dan bawa kesini. Ia akan meminumnya jika terbangun nanti." Mr. Adalson berucap dengan melepas jas yang melekat ditubuhnya. Aku bahkan tak menyadari bahwa ia belum mengganti pakaiannya.
"Baik Tuan," ucapku dengan mengangguk dan melangkah keluar dari kamar Suri. Aku menuruni tangga dalam diam, hanya langkah kakiku yang terdengar di seluruh ruangan ini. Semuanya sudah tidur, nyaris semua lampu kamar maid yang dibagian belakang sudah dimatikan.
Ya, ini memang waktunya istirahat karena ini bahkan sudah pukul sebelas lewat. Tapi pekerjaan mereka berbeda denganku, mereka hanya ditugaskan untuk membersihkan rumah atau menghidangkan makanan. Sedangkan tugasku melayani Suri dan Mr. Adalson
Aku menyalakan lampu dapur lalu meraih sebuah gelas yang terpajang dengan rapih. Suri memang selalu mencari susu jika ia terbangun di malam hari. Aku pun begitu saat kecil. Aku sering terbangun di malam hari karena mimpi buruk dan ibu akan membuatkanku susu agar aku lekas tertidur dengan lelap.
Aku menuangkan beberapa sendok susu. Lalu mencampurnya dengan air panas, mengaduknya lalu kembali menambahkan air bersuhu ruangan agar tidak terlalu panas. Selesai. Aku hanya tinggal meletakkan ini dikamar suri dan selanjutnya aku dapat beristirahat.
"Leandra." suara langkah kaki menyadarkanku untuk lekas menoleh, aku tersentak saat sebuah tangan melingkar di pinggangku, memeluk tubuhku dari belakang dengan dagu yang disandarkan pada bahuku.
Aku tahu siapa dia.
Aroma tubuhnya membuatku hafal tanpa perlu Menoleh.
Mr. Adalson.
Itu jelas dirinya. Aku diam mematung dengan meremas sendok yang kini kugenggam. Situasi di sini sedikit remang dan sangat sepi. Semuanya sudah tidur sekarang. Dan aku sedikit takut mengingat apa yang terjadi ketika terakhir kali kami berdua.
"Tu—tuan," ujarku dengan sedikit berbisik. Aku masih diam. Tak dapat berkutik sedikitpun, seakan kakiku terpaku dan tak dapat kugerakkan.
"Hem?" Ia berucap rendah yang membuat sekujur tubuhku meremang. Tubuhku sedikit bergetar saat merasakan kecupannya di daun telingaku, bahkan dengan hembusan nafas kasarnya, kakiku terasa lemas.
"Tuan, ini di dapur ba—"
"Kalau begitu kita ke kamarmu." Aku tersentak saat tubuhku diputar dan aku digendong di atas bahunya. Sendok yang kugenggam terjatuh begitu saja, menimbulkan bunyi benturan antara lantai dan alumunium sendok.
Apa—Apa yang akan terjadi lagi denganku? Aku meronta memukul bahunya dengan menggeliatkan pinggulku, Mr. Adalson meremas bokongku dan memukul bokongku yang masih tertutupi seragam babysitterku. Ia gila. Ia fikir aku bonekanya?
Ia membuka pintu kamarku, menjatuhkanku di atas ranjang lalu mengunci pintu kamarku. Aku mundur ke sudut ranjang dengan menutup sisi tubuhku.
Aku melihat Mr. Adalson yang terseyum nakal ke arahku.
Ia merangkak ke sisi ranjangku lalu mengurung tubuhku dengan tangannya. Aku menatapnya dari bawah, berusaha menahan dada bidangnya ketika ia bergerak mendekat. "Aku tak akan mau melakukan hal itu lagi Mr. Adalson . aku tak—"
"Kau tak akan melakukannya Leandra. Aku yang akan melakukannya." Ia menghujami wajahku dengan kecupan, mengecupi pipiku hidungku, hingga kelopak mataku. Aku menggeliatkan tubuhku dalam kurungan tangannya. Apa yang dilakukan Mr. Adalson padaku sangat mengejutkan, aku tak dapat bergerak karena ia menindih tubuhku.
Mataku terpejam saat bibirnya melumat bibirku rakus. Ia menghisap bibir bawahku dengan menyusupkan lidahnya ke dalam rongga mulutku. Membelitkan lidahnya dengan lidahku. Aku mendesah tertahan, dan meremas rambut halusnya dengan reflek. Aku dapat merasakan Mr. Adalson mengerang dalam ciuman kami. Tidak. Lebih tepatnya, ciuman yang ia lakukan padaku. Karena aku tak menyetujui ciuman ini.
"Tu—tuan," erangku menggeliatkan tubuhku saat ia menghisap kulit leherku. Mengecup beberapa kali-kulit leherku. Gila, katakan aku munafik. Tapi sentuhannya memberikan reaksi yang besar ditubuhku. Ini memang nikmat. Sial.
"What baby ... " desahnya dengan membuka seragamku perlahan. Aku menepis tangannya yang mulai melicuti pakaianku, ia menahan tanganku yang berusaha menepis. Lalu menarik lepas seragam babysitterku sampai membuat kancinga pengaitnya putus dan jatuh diatas kasur.
"Dengar Leandra." Ia menahan kedua tanganku saat tanganku tak berhenti melawan. Ia menatapku lekat. Aku terdiam, menatap matanya yang kini menatapku dengan tajam. Hembusan nafasnya yang hangat menerpa wajahku, membuat aku terpaku dan diam tak berkutik. "Aku tak akan memasukimu malam ini ... belum, aku hanya ingin membuatmu merasakan apa yang kurasakan malam itu"
"A ... apa?" ucapku tergagap, wajah kami kini benar-benar dekat. Bahkan hidung kami sesekali bersentuhan.
"Hanya diam dan rasakan. Jangan banyak bertanya. Kau boleh membuka suaramu untuk mendesah. Jika melawan, aku akan melakukan hal yang kasar padamu bila kumau."
Ia melumat bibirku lalu meremas dadaku dengan jemarinya yang besar. Aku mendesah tertahan, merasakan gejolak aneh yang terpancing dalam diriku. Mr. Adalson masih terus bergerak, membuka pengait bra yang kukenakan lalu memasukkan dadaku ke dalam mulutnya. Membuat aku mengerang dengan membusungkan dadaku.
Sial. Ini sungguh nikmat. Aku tak pernah mendapatkan ini dari Zef, mantan kekasihku. Dan oh, apa yang akan kukatakan bila ia mengetahui aku melakukan hal seperti ini dengan Mr.bieber, majikkanku?
"A- aah .... tu-tuan..." aku meracau dengan menekan kepalanya agar terbenam semakin dalam di leherku. Membiarkan lidahnya bermain di dadaku.
"Nikmat sayang?"
Aku memalingkan wajahku mendengar perkataan yang ia lontarakan. Wajahku terasa panas dan aku yakin pipiku memerah. Ya. Aku menikmatinya. Aku menikmati sentuhannya, tapi aku tak akan mengatakan hal itu sedikitpun. Aku tak mau dicap sebagai jalang.
Aku mengerang saat rokku disingkap, jemari Mr. Adalsonmengusap underwearku dengan lembut, namun itu tak lama. Karena ia lekas menarik lepas pakaian dalamku dengan kasar, membuat bagian bawahku terpampang dengan jelas. Aku malu. Sungguh, ini pertama kalinya milikku dilihat oleh seorang lelaki sepertinya.
Aku menghempitkan kedua kakiku untuk menutupi milikku yang tak tertutupi apapun. Wajahku memerah, sial. Aku benar benar malu. Aku dapat melihat Mr. Adalsonyang menatap tubuhku lekat.
"Mengesankan," ucapnya dengan menjilat permukaan bibirnya.
"Kau benar benar belum pernah bercinta?" tambahnya dengan mengusap pahaku lembut.
Aku menggeleng pelan tanpa berucap sepatah katapun. Ia menunduk, menghujammi perutku dengan kecupan hangat. Aku menggeliat, ini terasa ... geli, namun menggairahkan disaat yang bersamaan. Ya, aku mengerti, ia seorang duda. Pastinya ia berpengalaman dalam hal ini.
"Ahhh .... " aku mengerang saat permukaan intiku diusap dengan lembut, Mr. Adalsonmenunduk, menarik kedua betisku agar bersandar di atas bahunya, aku memejamkan mataku. Menunggu apa yang akan ia lakukan di bawah sana.
Aku menggeliatkan tubuhku tak tahan saat lidahnya menyapu permukaan milikku dengan lembut, mengusap perlahan dengan memainkan jemarinya untuk mengusap paha bagian dalamku.
Ini ... nikmat. Sungguh.
"A... arghhh tuann" aku mendesah dan meracau dengan menjambak rambutnya tanpa sadar. Aku benar benar tak tahan, permainannya benar benar menggairahkan. Maksudku, ini hanya sebuah rangsangankan? aku yakin ia permainannya akan jauh lebih memabukkan dibanding apa yang ia lakukan saat ini.
Satu jarinya masuk ke dalam milikku. Itu tak terlalu perih karena intiku sudah basah, ini memang benar benar memalukan. Aku mengatakam tidak, tapi milikku sudah basah karena ulahnya.
"Kau masih bisa mengatakan tidak?" Ia berucap dengan menyeringai di bawah sana. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Berusaha mengabaikannya yang kini mulai menambah jarinya di bawah sana. Tak dalam, karena ia tahu aku belum pernah melakukan hal ini, aku masih perawan. "Kau banjir gadis nakal," tambahnya dengan memasukkan dadaku ke dalam mulutnya.
Aku mendesah, aku benar benar tak dapat menahannya lagi. Ini sungguh nikmat dan aku tak peduli apapun saat ini. "I... i wanna cum," bisikku dengan memejamkan mataku.
Aku tahu, aku tahu ia pasti puas melihat reaksiku yang seperti ini, sial Justin adalson. Kau menang sekarang.
"Lepaskan. Bayangkan diriku. Bayangkan diriku memasukimu Leandra, " ucapnya dengan seduktif.
Aku tak dapat berfikir jernih sekarang. Perkataan kotor yang ia lontarkan seakan menjadi cambuk yang meningkatkan gairahku. Aku benar benar butuh pelepasan. Jemariku bergerak menenggelamkan kepala Mr. Adalson semakin dalam. Mengapit kepalanya dengan kedua pahaku saat aku mendapat pelepasanku.
Aku mengerang saat mendapatkan pelepasan, tubuhku melengkung dan jemariku meremas sprei ranjang kamarku. aku memejamkan mataku, menyadari bahwa Mr. Adalson tersenyum penuh kemenangan di bawah sana.
.
.
.
.
.
.
.
Vote
Comment
Much comment
So much comment
Really long much Comment
So far, wanna ask something?